SURABAYA(Realita)–Fakultas Hukum Universitas Surabaya (Ubaya) menggelar seminar nasional dan mengajak peserta untuk sadar atas Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) di era disrupsi. Kegiatan ini menjadi Closing Ceremony Ubaya Law Fair Vol. 2 Tahun 2021 yang diselenggarakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Hukum dan Kelompok Studi Mahasiswa (KSM) Fakultas Hukum Universitas Surabaya (Ubaya).
Seminar nasional ini bertema “Quo Vadis Penegakan Hukum ITE : Patroli Siber Hingga Reformulasi Aturan” diikuti oleh ratusan mahasiswa Fakultas Hukum dari berbagai Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan Perguruan Tinggi Swasta (PTS) ternama di Indonesia secara daring.
Baca juga: Wadah Ekspresi Anak, Wali Kota Eri : Saya Yakin Pemimpin Surabaya Lahir dari Cak dan Ning Cilik
Ubaya Law Fair merupakan ajang kompetisi bergengsi terbesar berskala nasional yang diadakan setiap tahun oleh Fakultas Hukum Ubaya. Tema besar yang diusung Ubaya Law Fair Vol. 2 Tahun 2021 yakni “Membentuk Generai Intelektual Hukum Indonesia di Era Disrupsi”. Ada tiga kategori bidang lomba yang digelar yaitu kompetisi Debat Hukum Mahasiswa Nasional, Legal Opinion Competition, dan Konferensi Mahasiswa Nasional. Kompetisi telah dilaksanakan selama dua minggu mulai dari 1 sampai 15 Juli 2021. Sebelumnya di tahun yang sama, Fakultas Hukum UBAYA juga berhasil menyelenggarakan Ubaya Law Fair Vol. 1 Tahun 2021 untuk siswa SMA / SMK / MA sederajat.
“Kiranya Ubaya Law Fair bisa memiliki kontribusi bermanfaat untuk mengasah kemampuan dan keterampilan insan hukum di seluruh Indonesia. Kami berharap seluruh peserta disini dapat menjadi generasi yang mampu menjaga tegaknya hukum dengan memahami dan melaksanakan hukum secara benar,” ungkap Dekan Fakultas Hukum Ubaya, Dr. Yoan Nursari Simanjuntak, S.H., M.Hum.
Pada kesempatan ini, telah hadir dua narasumber yaitu Christina Aryani, S.E., S.H., M.H. selaku Anggota Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), dan AKBP Zulham Effendy, S.I.K., M.H. selaku Wakil Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Jatim. Acara ini dipandu oleh mahasiswa Fakultas Hukum Ubaya, Hansel Ardison sebagai moderator.
Materi pertama dibawakan oleh Christina Aryani mengenai perspektif dan rencana DPR RI atas problematika UU ITE. Anggota DPR RI tersebut menjelaskan intensi lahirnya UU ITE berawal dari pembuat UU ITE No 11 tahun 2008 yang menyadari adanya kerentanan data elektronik di masyarakat. Data elektronik tersebut dipahami sangat mudah untuk diubah, disadap dan dipalsukan. Sehingga dirasa perlu adanya hukum positif yang memberi jaminan kepastian sebagai landasan penegak hukum jika terjadi pelanggaran.
UU ITE No 11 tahun 2008 telah direvisi menjadi UU ITE No 19 tahun 2016 dengan tujuan untuk menata kembali serta mengelola informasi dan transaksi elektronik di tingkat nasional. Namun dalam implementasinya terdapat beberapa pasal yang memiliki potensi multitafsir sehingga menimbulkan problematika di masyarakat.
Baca juga: Pasar Karah Bakal Dibangun Istimewa, Dikelola Dinas Koperasi, Ini Kata DPRD Surabaya
Christina Aryani mengatakan jika terdapat rencana jangka pendek dan jangka panjang untuk menangani permasalahan UU ITE di masyarakat. Pada rencana jangka pendek, DPR RI akan melakukan pengawasan atas implementasi Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang pedoman implementasi atas pasal tertentu dalam UU ITE. Rencana yang lain adalah mengembangkan literasi digital di masyarakat melalui program SiBerkreasi Kominfo. Melalui program tersebut masyarakat diajak memahami mengenai budaya bermedia digital, aman bermedia digital, etis bermedia digital dan cakap bermedia digital.
“Rencana jangka panjang, jelas kita bicara revisi UU ITE caranya dengan revisi Prolegnas 2022 atau Prolegnas Prioritas 2021. Syaratnya harus ada draft dari RUU sendiri dan naskah akademik yang mana akan menghapus atau merekonstruksi ulang pasal-pasal multitafsir. Kami akan melibatkan praktisi, akademisi, ahli hingga korban kriminalisasi UU ITE dalam melakukan revisi. Arah saat ini untuk meminimalisir ketentuan pidana dan melakukan pendekatan administrasi atau hukuman alternatif lainnya. Jadi pengadilan adalah upaya terakhir atau restorative justice,” ucap Christina Aryani.
Disamping itu, AKBP Zulham Effendy menyampaikan tentang peran Patroli Siber dalam penanganan seputar hoaks Covid-19. Ia menjelaskan kejahatan siber dapat dikelompokkan menjadi computer crime dan computer-related crime. Computer crime merupakan bentuk kejahatan berupa peretasan sistem elektronik, intersepsi ilegal, pengubahan tampilan situs web, gangguan sistem dan manipulasi data. Sedangkan computer-related crime adalah kejahatan siber seperti pornografi, perjudian, pemerasan, penipuan, pengancaman, pencemaran nama baik, ujaran kebencian dan akses ilegal yang semuanya dilakukan dalam jaringan.
“Kami melakukan Patroli Siber untuk menyelidiki atau memantau kejahatan siber yang menimbulkan keresahan atau kegaduhan di masyarakat. Tugas kami memberikan edukasi ke masyarakat terkait ITE agar tidak berpotensi melanggar hukum dan menghantam konten hoaks di masyarakat,” sambungnya.
Baca juga: Bus Listrik Operasi Bungurasih ke Kenjeran Park, Begini Respon Komisi C DPRD Surabaya
AKBP Zulham Effendy mengungkapkan ada beberapa landasan anggota Patroli Siber dalam melakukan tindakan. Salah satunya dengan landasan virtual police yaitu SE Kapolri tentang Kesadaran Budaya Beretika untuk Mewujudkan Ruang Digital Indonesia yang Bersih, Sehat dan Produktif. Jika ditemukan konten negatif pada masyarakat maka pemilik akun akan mendapatkan peringatan yang disebut virtual police alert.
Berdasarkan data Kominfo 23 Januari 2020 – 1 Februari 2021 tercatat sebaran konten hoaks mengenai Covid-19 paling banyak terjadi di media sosial dengan total laporan kasus 2242. Dirinya memberikan beberapa tips dan trik yang bisa membantu masyarakat agar tidak mudah termakan oleh konten hoaks yang beredar di media online maupun media sosial. Tips dan trik tersebut disebut dengan 4C yaitu Cermati, Cek, Cari, dan Cepat.
“Cermati kesinambungan judul dan isi, dilihat apakah penggunaan bahasanya etis. Kemudian cek sumber apakah media terverifikasi atau media abal-abal, keaslian foto dan tanggal berita apakah aktual. Cari perbandingan berita dari media lain dan klarifikasi dari media atau lembaga anti hoaks. Pastinya kita tidak pernah membatasi kebebasan masyarakat tapi lebih ingin mendidik atau mengedukasi masyarakat agar lebih bijak menggunakan media sosial supaya tidak terjadi multitafsir,” pesannya.(arif)
Editor : Arif Ardliyanto