LAMONGAN (Realita) - Sebelum dan sesudah disahkanya Undang-undang (UU) nomor 3, tahun 2024, pada tanggal 25 April 2014, terdapat diskusi tentang masuknya kata "mengusulkan" dalam pasal 26, ayat 2, huruf b. Ada perubahan struktur kalimat dalam UU nomor 6, tahun 2014, tentang Desa dan UU nomor 3, tahun 2024, tentang perubahan kedua atas UU nomor 6, tahun 2024, tentang Desa.
Dalam UU Nomor 6 tahun 2014, bunyi pasal tersebut yaitu "Mengangkat dan memberhentikan perangkat desa". Lalu dalam UU nomor 3, tahun 2024 bunyi pasal tersebut " Mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian perangkat desa kepada Bupati / wali kota".
Baca juga: Menko Polkam Budi Gunawan Sebut Prabowo ke LN Agar Tak Dituduh Cawe-cawe Pilkada
Hal ini menarik sekali untuk didiskusikan. Apalagi sudah mulai ada yang memberikan tafsiran sebagaimana disampaikan oleh Kepala Bidang (Kabid) Pemberdayaan Masyarakat Desa (PMD) Probolingo, Fathur Rozi, yang sampai pada kesimpulan bahwa perangkat desa punya peluang menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) dan menjadi tanggung jawab Kepala Daerah atau Bupati.
Saya belum tahu secara jelas darimana ia dapat pengetahuan tentang pengangkatan dan pemberhentian perangkat Desa adalah tanggung jawab Bupati dan berpeluang jadi ASN!
Ternyata betul bahwa atas ketentuan pasal 26, ayat 2, huruf b, UU Nomor 3, tahun 2024, tentang Perubahan kedua atas UU nomor 6, tahun 2014, yang berbunyi "Mengusulkan Pengangkatan dan Pemberhentian Perangkat Desa kepada Bupati/wali kota".
Kata "mengusulkan" ini memang sempat menjadi diskusi para kades, karena seolah kewenanganya teramputasi terkait dengan pengangkatan dan pemberhentian perangkat Desa. Mungkin atas dasar kata tersebut kemudian Kabid tersebut menyatakan bahwa soal Perangkat desa menjadi tanggung jawab Bupati dan mungkin yang dimaksud ber-SK Bupati sebagaimana usulan organisasi Persatuan Perangkat Desa Indonesia (PPDI) yang selama ini gencar minta disamakan statusnya karena menganggap statusnya sebagai perangkat desa tidak jelas, ASN tidak! PPPK pun juga tidak! .
Sungguh pemahaman ini sangat naif dan tidak mempunyai sandaran hukum serta darimana pengetahuan itu diperoleh sehingga berkesimpulan bahwa soal perangkat desa menjadi tanggung jawab Bupati/ wali kota. Dalam hal ini saya punya keyakinan bahwa dalam membaca UU Desa hanya secara persial, sepotong-potong dan tidak konprehensif serta tidak menyeluruh.
Baca juga: Keluhkan Lapak Kecil, Ratusan Pedagang Pasar Legi Ponorogo Dukung Rilis Agar Dibenahi
Sungguh mengherankan..!! Dalam pasal 49, ayat 2, UU nomor 6, tahun 2014, yang tidak turut direvisi secara jelas bahwa tetap menjadi kewenangan Kepala Desa. Pasal 49, ayat 2 berbunyi sebagai berikut "Perangkat Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) 'diangkat' oleh Kepala Desa setelah dikonsultasikan dengan Camat". Dan dalam pasal 3 nya berbunyi "Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya perangkat desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) 'bertangungjawab' kepada Kepala Desa".
Kurang jelaskah dan apa masih perlu pengaturan lebih lanjut di PP. Bila tentang apa?
Bahwa pengaturan tentang kata mengusulkan perlu dirinci bisa diterima tapi konteksnya bukan pada bahwa pengangkatan perangkat desa bukan menjadi tanggung jawab Bupati/ wali kota. Mengusulkan bisa dimaknai bahwa pemberitahuan kepada Bupati bahwa (1). Terdapat kekosongan perangkat Desa sehingga perlu diisi atas kekosongan tersebut, (2). Terdapat perangkat Desa yang dianggap melanggar larangan sebagai perangkat desa, karena itu Kepala Desa mengusulkan atau memberitahu kepada Bupati, (3) Mungkin tidak ada bedanya dengan ketentuan-ketentuan sebelumnya bahwa kewenangan Bupati atas usulan Kepala Desa untuk pengangkatan dan pemberhentian perangkat Desa diberikan kepada Camat.
Dapat diterima pendapat bahwa perangkat Desa dapat atau berpeluang menjadi ASN atau PPPK tentu harus merevisi UU tentang Desa secara menyeluruh, dan tidak perlu ada desa lagi, karena emua jadi kelurahan. Bereskan!!
Baca juga: Beri Pengarahan Forkopimcam, PJs Wali Kota Surabaya Tekankan Keamanan Jelang Pilkada
Bila cara berfikir kita tidak keluar dari keberadaan desa sebagian kesatuan masyarakat hukum secara unik dan istemewa yang beda dengan bentuk kesatuan masyarakat hukum lain tentu tidak memberikan tafsir lain dan neko-neko atas kata "mengusulkan".
Jangan terulang kembali hilangnya azas rekognisi dan subsidiaritas yang diberikan oleh UU dalam mengatur Desa yang telah diporak porandakan oleh putusan Mahkamah Konstitusi (MK) sebagimana putusan nomor 128/PUU/ 2015, yang membatalkan atau mencabut pasal 33, huruf g dan pasal 50, huruf c, tentang syarat domisili baik sebagai calon Kepala Desa maupun perangkat Desa.
Penulis :
SUPRATMAN - Sekretaris Perkumpulan Aparatur Perangkat Desa Seluruh Indonesia (PAPDESI) Kabupaten Lamongan
Editor : Arif Ardliyanto