JAKARTA (Realita)- indonesia Police Watch (IPW) mendorong Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara dalam Perkara Pidana Nomor 342/Pid.Sus/2024/PN Jkt. Utr yang dipimpin Ketua Majelis Hakim I Wayan Rumega didampingi Hakim anggota Iwan Irawan dan Sontan Merauke Sinaga yang menjatuhkan vonis dengan dasar perspektif perlindungan pada perempuan korban kekerasan dalam Perkara Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dengan Korban Susanty Artha Gilberte dan Pelaku Edrick Tanaka yang terjadi pada tanggal 3 November 2023 di Jalan Piano, PIK, Jakarta Utara memiliki Perspektif Pemihakan kepada Korban Susanty Artha Gilberte.
Dalam laporan yang diterima Indonesia Police Watch (IPW), dimana korban Susanty Artha Gilberte harus diberikan keadilan dengan pemulihan hak-haknya akibat dugaan kekerasan fisik dan trauma psikis yang mendalam.
Baca juga: IPW Bersama TPDI Laporkan Kasus Pemotongan Honorarium Hakim Agung ke KPK
"IPW mendorong agar hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara memvonis maksimal Pelaku Kekerasan Dalam Rumah Tangga terhadap istrinya, Susanty Artha Gilberte yang mengalami luka cukup serius sehingga harus dirawat di rumah sakit selama 12 hari," ujar Ketua IPW Sugeng Teguh Santoso dalam keterangan tertulisnya kepada Realita.co, Minggu (14/7/2024).
Dari informasi yang didapat IPW, Sugeng menjelaskan, Susanty Artha Gilberte adalah perempuan korban yang beruntun-runtun dari beberapa pelaku yang saling mengenal diantara para pelaku yaitu Edrick Tanaka, kemudian Antonius Wijaya yang merupakan rekan Edrick Tanaka dan juga Hartono yang merupakan ayah dari Edrick Tanaka. Antonius Wijaya telah lebih dulu di vonis akibat penganiayaan terhadap korban, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara dalam Perkara Pidana Nomor : 15/Pid.B/2024/PN.Jkt Utr menjatuhkan vonis selama 8 bulan Penjara dan pada tingkat Banding di Pengadilan Tinggi Jakarta dalam perkara pidana nomor : 94/Pid/2024/PT DKI , Antonius Wijaya divonis 1 tahun penjara. Sedangkan Edrick Tanaka saat ini sedang dalam proses menunggu vonis dari Majelis Hakim PN Jakarta Utara.
"Kasus yang dialami korban (Susanty Artha Gilberte) yang disunyalir dilakukan Edrick Tanaka dan Antonius Wijaya terjadi dalam kurun waktu yang sama secara berurutan dimana Susanty Artha Gilberte pertama-tama dianiaya Antonius Wijaya," bebernya.
Masih lanjut keterangan Sugeng, setelah Susanty Artha Gilberte dianiaya Antonius Wijaya, suami (Edrick Tanaka) korban bukannya menolong korban, malah Edrick Tanaka melakukan KDRT lebih kejam sehingga Susanty Artha Gilberte mengalami luka-luka dan dirawat selama 12 hari di rumah sakit. Susanty Artha Gilberte adalah korban ganda pada hari yang sama, diduga Edrick Tanaka menyetujui perbuatan Antonius Wijaya terhadap Susanty Artha Gilberte. Akan tetapi Edrick Tanaka tidak melakukan Pembelaan terhadap Susanty Artha Gilberte yang merupakan istrinya malah sebaliknya dianiaya kembali.
Kemudian, Susanty Artha Gilberte juga mendapatkan kekerasan fisik dari ayah mertuanya yang merupakan ayah Edrick Tanaka dalam suatu perkara yang saat ini sedang di Proses di Polda Metro Jaya Laporan Polisi Nomor : LP/B/1017/XI/2023/SPKT/Polres Jakarta Barat akibat perbuatannya melakukan penganiayaan terhadap korban (Susanty Artha Gilberte) yang terjadi pada tanggal 2 November 2023. Saat ini saudara Hartono telah ditetapkan sebagai tersangka, " tambahnya.
Baca juga: Aksi Premanisme Terjadi lagi di Diskusi Diaspora, IPW: Segera Proses Hukum!
"IPW mendesak, Majelis Hakim PN Jakarta Utara harus melihat dalam perspektif bahwa Susanty Artha Gilberte sebagai korban ganda bukan hanya sekedar melihat tuntutan Jaksa yang menuntut Edrick Tanaka selama 2 (dua) tahun penjara. Tetapi, melakukan suatu perspektif perlindungan terhadap perempuan dengan menjatuhkan hukuman maksimal dari Pasal 44 ayat (1) Undang-Undang PKDRT selama 5 tahun," tutur Sugeng.
Dirinya menambahkan, Hakim memiliki kewenangan untuk menjatuhkan vonis lebih dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum apabila rasa keadilan bagi korban harus dipenuhi. Bahkan Hakim dapat mengenakan Pasal 44 ayat (2) PKDRT sebagaimana Dakwaan Primer Jaksa Penuntut Umum karena pada faktanya korban hingga saat ini masih belum pulih seperti sedia kala dan masih menjalani perawatan serta masih mengalami trauma sehingga harus mendapat penanganan dari psikiatri.
Oleh karena itu, IPW mendorong Majelis Hakim menvonis Edrick Tanaka dengan putusan maksimal agar terjadi efek jera. Karena pada sisi lain Edrick Tanaka terus melakukan tekanan terhadap korban dengan membuat Laporan-Laporan Polisi, termasuk ayah Edrick Tanaka yaitu Hartono yang melaporkan Susanty Artha Gilberte di Polsek Cengkareng walaupun alasannya di cari-cari," jelasnya.
Edrick Tanaka diduga sempat menghindari proses hukum di Polres Jakarta Utara dengan melarikan diri keluar negeri pada tanggal 4 November 2023, sehingga penyidik menerbitkan DPO pada tanggal 22 November 2023. Kemudian pada tanggal 15 Januari 2024 Edrick Tanaka dapat ditangkap Penyidik setelah bekerjasama dengan Imigrasi dan KJRI Guangzhou. Fakta ini cukup beralasan bagi Majelis Hakim untuk menjatuhkan hukuman maksimal sebagaimana Pasal 44 ayat (2) PKDRT.
Baca juga: IPW Minta Satgas Judi Online Jangan Lip Service
IPW juga menyoroti Penetapan susunan Majelis Hakim PN Jakarta Utara dalam Perkara Nomor : 342/Pid.Sus/2024/PN Jkt. Utr yang seluruhnya laki-laki mengesankan bahwa ketua Pengadilan Negeri Jakarta Utara yang adalah seorang perempuan tidak mempeehatikan perpektif gender dan perlindungan bagi perempuan dengan menunjuk majelis hakim seluruhnya adalah laki-laki padahal di lihat pada lama PN Jakarta Utara pn-jakartautara.go.id terdapat 3 orang hakim perempuan yang bertugas di PN Jakarta Utara. Semestinya ada hakim perempuan dalam susunan Majelis Hakim Perkara Nomor : 342/Pid.Sus/2024/PN Jkt. Utr . Dikhawatirkan putusan yang dijatuhkan lebih ringan dari tuntutan jaksa.
Kehadiran Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah tuntutan jaman seiring dengan meningkatnya perlindungan terhadap perempuan dalam perkembangan jaman. Kalau kemudian hakim menjatuhkan vonis sangat rendah dari tuntutan jaksa, maka IPW mendorong agar Komisi Yudisial memeriksa Hakim yang bersangkutan.
"IPW mendorong agar Komisi Yudisial memeriksa Hakim yang menangani," pungkasnya. (tom)
Editor : Redaksi