AUCKLAND - Pembunuh 51 jemaah di masjid Selandia Baru saat Shalat Jumat dilaporkan meminta statusnya sebagai teroris dikaji.
Baca juga: Sembilan Narapidana Terorisme Ucapkan Ikrar Setia NKRI
Brenton Tarrant, pendukung supremasi kulit putih, bertanggung jawab atas insiden paling berdarah dalam sejarah "Negeri Kiwi".
Pada 15 Maret, dia menembaki dua masjid di Christchurch, ketika jemaah sedang melaksanakan Shalat Jumat.
Sebanyak 51 orang tews dan 40 lainnya terluka. Brenton Tarrant pun ditangkap ketika hendak menuju ke lokasi ketiga.
Pada Agustus tahun lalu, dia dijatuhi hukuman penjara seumur hidup tanpa kemungkinan pembebsan bersyarat.
Vonis itu merupakan yang terberat dalam sejarah Selandia Baru, di mana dia bersalah atas dakwaan pembunuhan, percobaan pembunuhan, dan terorisme.
Aksinya mengejutkan "Negeri Kiwi" maupun dunia, dan membuat sejumlah perubahan drastis dalam sistem hukum setempat.
Salah satunya adalah pembentukan Direktorat Tahanan Risiko Ekstrem yang bertugas menangani narapidana paling berbahaya.
Pada Kamis (15/4/2021), Tarrant dijadwalkan bakal hadir di sesi sidang Pengadilan Tinggi Auckland.
Baca juga: Jelang Peringatan HUT ke-78 RI, Pemkot Surabaya Ajak Eks Napiter Bagi-Bagi Bendera
Sebabnya, dia mengajukan petisi antara lain perubahan kondisi penjara yang ditempatinya atas dasar kemanusiaan.
Selain itu, dia juga meminta agar statusnya sebagai teroris berdasarkan Undang-undang Pencegahan Teroris Selandia Baru dikaji lagi.
Dilansir Russian Today Rabu (14/4/2021), pembunuh asal Australia itu ditempatkan sayap terpisah, penjara berkeamanan tinggi di Auckland.
Dijuluki "penjara dalam penjara", aktivitas Tarrant dan dua napi berbahaya lainnya dimonitor oleh 18 penjara.
Pengelolaan hotel prodeo tersebut dilaporkan menghabiskan 2,77 juta dollar Selandia Baru (Rp 28,8 miliar) per tahun.
Baca juga: Dua Pekan Di Lapas Surabaya, Dua Napiter Ikrar Setia NKRI
Namun, terdapat sorotan mengenai kondisi yang diterima Tarrant selama sisa hidupnya, dan apakah sesuai dengan standar kemanusiaan di sana.
Sorotan yang menggelayut adalah bertahun-tahun tinggal sendiri, hanya diawasi monitor, bakal mengganggu mentalnya.
Pakar hukum meyakini, kondisi itulah yang tengah diperjuangkan Brenton Tarrant di hadapan Hakim Geoffrey Venning.
Peninjauan kembali itu takkan mengubah vonis yang diterima Tarrant. Di mata hukum, dia tetaplah pembunuh sadis dan teroris.
Meski begitu, banyak yang meyakini Hakim Venning akan memberikan kelonggaran terkait kondisi penjaranya.
Editor : Redaksi