Jampidsus Tegaskan Akan Menyeret Semua yang Terlibat Kasus Asabri

realita.co
Sejumlah Saksi Kasus Korupsi PT. ASABRI menjalani sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Rabu (23/9). dok Tom Realita.co

JAKARTA (Realita)- Tim penyidik Kejaksaan Agung (Kejagung) hingga kini masih terus bekerja keras dalam mengungkap para pihak yang terkait kasus dugaan korupsi PT Asabari sebesar Rp 22,87 triliun. 

Bahkan Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Supardi memastikan, pihaknya akan terus mengembangkan kasus Asabri ini dengan menyeret semua pihak yang terlibat tanpa pandang bulu. 

Baca juga: Dugaan Korupsi BKKD Bojonegoro Sengaja Tak Lakukan Lelang, Kades Ngaku Takut Camat

"Akan terus kita dalami semua pihak yang diduga terlibat," kata Supardi kepada wartawan di Jakarta, Senin (6/9/2021). 

Hal itu terbukti, tidak berapa lama tim penyidik telah menetapkan tersangka baru, yakni Teddy Tjokrosaputro yang merupakan Presiden Direktur PT. Rimo International Lestari, partner sekaligus sebagai adik kandung dari tersangka Benny Tjokrosaputro sebagai pemegang saham RIMO. 

Kegigihan penyidik dalam mengungkap dan menyeret para pihak yang belum terungkap mendapat dorongan  dari sejumlah pakar hukum pidana. 

Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus angkat bicara terkait pernyataannya Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Supardi beberapa hari lalu untuk mengembangkan dan menyeret semua pihak yang terlibat dalam kasus dugaan korupsi PT. Asabri yang menyita perhatian publik.

"Saya kira ada niat bagus dan baik dari Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus untuk mengungkap keterlibatan semua pihak dalam kasus dugaan korupsi dana Asabri untuk memproses secara hukum," ujar Lucius Karus kepada realita.co melalui sambungan telepon, Minggu (26/9/2021).

Majelis hakim yang memeriksa perkara dugaan korupsi pengelolaan keuangan dan dana investasi di PT. ASABRI menegaskan tidak bisa diintervensi oleh pihak mana pun. Hal itu disampaikan langsung oleh ketua majelis hakim IG Eko Purwanto usai membacakan putusan sela terhadap delapan terdakwa. "Apa pun putusan majelis hakim dalam perkara ini, baik putusan terhadap eksepsi yang sudah dibacakan tadi, ataupun tindakan-tindakan berikutnya seperti penetapan dan sebagainya, di sini majelis hakim tidak didasarkan pada suatu intervensi ataupun pemberian, apa pun juga bentuknya," ucap Eko di ruang sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, beberapa hari lalu (6/9).

Baca juga: Dugaan Korupsi, Kepala BPKAD Pemkab Bojonegoro Sebut Tanggung Jawab Kepala Desa

Adapun anggota majelis hakim terdiri dari Rosmina, Saifuddin Zuhri, Ali Mutharom, dan Mulyono Dwi Purwanto.

Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) mencatat kerugian keuangan negara pada kasus ASABRI yang terjadi dalam kurun waktu 2012-2019 sebesar Rp 22,788 triliun. Angka itu jauh lebih tinggi dari skandal di perusahaan pelat merah sebelumnya, yakni Asuransi Jiwasraya dengan nilai kerugian Rp16,708 triliun.Eko menyampaikan pihaknya bersih dan tidak menerima intervensi dalam tiap keputusan. Segala bentuk upaya untuk mengganggu independensi hakim tidak boleh dilakukan.

"Pernyataan Majelis Hakim soal proses persidangan yang tidak diintervensi, saya kira sudah seharusnya begitu. Proses persidangan di peradilan memang pada prinsipnya tidak bisa di intervensi pihak manapun. Karena itu kita berharap ini benar-benar akan di praktekkan dalam persidangan kasus korupsi di PT. ASABRI," sambungnya.

Tentunya ini juga menjadikan pertanyaan berbagai kalangan. Seperti yang disampaikan oleh Profesor Dr. Mudzakir, S.H, M.H terkait fakta persidangan tentang pemanggilan terdakwa berjumlah 8 orang, dengan berbeda dakwaan dengan nomor perkara.

Baca juga: Tanggapi Pleidoi Bentjok, Kejagung Diminta Tidak Tebang Pilih

Nah, dalam kasus Asabri ini Majelis Hakim di persidangan menjadikan satu.

"Seharusnya itu kan kalau disidang yang sama kayak gitu ya satu dakwaan, makanya jaksa men-splitsing itu salah itu, meskinya berdasarkan pasal 55 itu iya dari satu dakwaan, kalau kayak gitu kan menghabiskan dana banyak tetapi sidangnya satu, kan sama dengan 1 dakwaan biayanya.  Tapi kalau beberapa dakwaan digabung menjadi satu, satu dakwaan ada anggaran tapi anggaran sidangnya jadi satu,  kan itu nggak fair namanya. Seharusnya secara manajemen hukum itu pasal 55 itu jadi satu," jelasnya.

Ketika majelis hakim mengatakan bahwa tidak  pernah menerima sesuatu dari pihak manapun, apakah hal itu patut diucapkan?, Profesor Dr. Mudzakir menambahkan bahwa, itu patut dicurigai. Pasalnya,  kalau statement seperti itu  berarti dia pernah menerima  kalau memang prinsipnya tidak boleh menerima, berarti  tak usah diucapkan, karena aturannya memang tak boleh menerima.

"Tapi kalau dia boleh menerima kan saya menerima tapi jumlahnya sekian, kan kalimatnya begitu, tapi kalau enggak terima.  ya sama, saya tidak akan merampok. Emang rampok kan enggak boleh, jadi kan enggak boleh diomongin, yang boleh ajakan yang diomongin," pungkas ahli hukum pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta ini.tom

Editor : Redaksi

Politik & Pemerintahan
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru