MADIUN (Realita) - Tim Tangkap Buronan (Tabur) Kejaksaan Agung berhasil menangkap satu orang terpidana korupsi proyek Gedung DPRD Kota Madiun yang telah masuk dalam daftar pencarian orang (DPO) sejak tahun 2016.
Terpidana Moh Shonhaji (47) warga Kelurahan/Kecamatan Gunung Anyar, Surabaya ini ditangkap di Perum Griya Pesona Rinjani, Jalan Adi Sucipto, Nusa Tenggara Barat (NTB), Rabu (31/8/2022) malam.
Baca juga: Ketua DPRD Kota Madiun Walk Out saat Paripurna, Fraksi Merasa Kecewa
Saat ini, tim dari Kejaksaan Negeri (Kejari) Kota Madiun dengan dipimpin oleh Kasi Pidsus, Hendarsyah Yusuf Permana berada di Mataram guna melaksanakan putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Surabaya.
“Sementara terpidana kita titipkan di Lapas Mataram,” kata Kasi Intelijen Kejari Kota Madiun, Akhmad Heru Prasetyo, Kamis (1/9/2022).
Sementara itu, masih ada satu terpidana lainnya yang masih ditetapkan DPO dan belum tertangkap hingga saat ini, yakni Kaiseng. DPO itu ditetapkan sejak 30 Mei 2016 lalu.
Sekedar untuk diketahui, sebelum gedung wakil rakyat yang berada di jalan Taman Praja berdiri megah seperti saat ini, tersirat cerita kelam. Cerita nyata itu bermula saat Pemkot Madiun menganggarkan uang sebesar Rp 29,3 miliar dalam APBD tahun 2015 untuk pembangunan gedung DPRD dilahan seluas 20.615 meter persegi.
Kemudian dilakukan proses tender fisik, hingga akhirnya dimenangkan oleh PT Aneka Jasa Pembangunan (PT AJP). Sedangkan tender manajemen kontruksi (MK), dimenangkan oleh PT Parigraha Konsultan (PT PK).
Mulai awal pembangunan hingga habis kontrak tanggal 31 Desember 2015, pekerjaan kontruksi urung rampung dikerjakan. Saat itu, MK menyatakan jika progress pekerjaan sudah mencapai 95 persen. Itu artinya, hanya kurang 5 persen saja untuk menyelesaikannya.
Atas dasar perhitungan MK, kemudian pengguna anggaran (PA) sekaligus Sekwan pada saat itu, Agus Sugijanto dan pejabat pelaksana teknis kegiatan (PPTK), Widi Santoso melakukan konsultasi ke Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP). Pun, diperbolehkan untuk melakukan perpanjangan waktu selama 50 hari. Dengan konsekwensi, PT AJP sanggup membayar denda seper seribu dari nilai kontrak per harinya.
Namun sepertinya PA dan PPTK ditipu oleh laporan progress yang disuguhkan MK. Nyatanya setelah diberikan tambahan waktu 50 hari atau mulai awal tahun 2016, pelaksana juga tidak sanggup untuk menyelesaikan pekerjaan yang diklaim hanya kurang 5 persen saja. Belakangan diketahui hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Jawa Timur, progress hanya mencapai 87,7 persen. Sementara hitungan tim ahli dari tim Politeknik Bandung hanya mencapai
85,0996 persen. PA lantas mengambil langkah tegas dengan melakukan pemutusan kontrak kepada PT AJP.
Benang kusut kantor wakil rakyat ini, lantas tercium oleh Kejaksaan Tinggi Jawa Timur (Kejati Jatim). Kejati melakukan penyelidikan hingga akhirnya menyeret enam orang yang terlibat ke meja hijau Pengadilan Tipikor Surabaya. Keenamnya, yakni Agus Sugijanto (PA), Widi Santoso (PPTK), Hedi Karnomo (Direktur Utama PT AJP), Soemanto (Direktur PT PK;MK) Iwan Suasana (Wakil PT PK;MK), Aditya Nerviadi (pelaksana lapangan). Sementara pada saat itu, dua orang lainnya, yakni Kaiseng dan Sonhaji ditetapkan sebagai Daftar Pencarian Orang (DPO).
Saat sidang putusan, Senin (27/2/2017), Ketua Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Surabaya, Matheus Samiaji menyatakan keenam orang tersebut bersalah dan dijatuhi vonis berbeda-beda. Vonis tersebut lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umun (JPU) Kejaksaan Negeri (Kejari) Kota Madiun.
Terdakwa Direktur Utama PT AJP, Hedi Karnomo divonis 1 tahun penjara dengan denda Rp. 50 juta subsider 3 bulan kurungan penjara. Sebelumnya, Hedi Karnomo selaku Justice
Collaborator (JC) dituntut oleh JPU 1 tahun 6 bulan penjara dengan denda Rp. 75 juta, subsider 3 bulan penjara.
Mantan Sekwan DPRD Kota Madiun merangkap PA dan PPK, Agus Sugijanto divonis 1 tahun 4 bulan penjara denda Rp. 50 juta subsider 3 bulan kurungan. Sebelumnya, JPU meminta Majelis Hakim menjatuhkan hukuman 2 tahun penjara dengan denda Rp. 100 juta atau subsider 4 bulan penjara.
Kasubag TU dan Protokol Sekwan DPRD Kota Madiun merangkap PPTK, Widi Santoso divonis 1 tahun 2 bulan kurungan penjara dengan denda Rp. 50 juta atau subsider 3 bulan penjara. Vonis ini lebih ringan dari tuntutan JPU yang meminta 1 tahun 10 bulan penjara dengan denda Rp. 50 juta subsider 3 bulan kurungan.
Baca juga: Ukir Sejarah Kota Madiun, Bapak-Anak Jadi Wakil Rakyat
Wakil PT PK (MK), Iwan Suasana dan
pelaksana lapangan, Aditya Nerviadi sebelumnya dituntut oleh JPU 2 tahun penjara dengan denda Rp. 100 juta atau kurungan penjara selama 4 bulan. Namun oleh Majelis Hakim Iwan Suasana divonis 1 tahun 6 bulan penjara dengan denda Rp. 50 juta subsider 3 bulan kurungan penjara. Sedangkan Aditya divonis 1 tahun 4 bulan penjara dengan denda Rp. 50
juta atau 3 bulan kurungan penjara.
Direktur Utama PT PK (MK), Soemanto dituntut 2
tahun penjara dengan denda Rp. 100 juta subsider 4 bulan penjara. Tetapi Majelis Hakim menjatuhkan vonis 1 tahun 2 bulan penjara dengan denda Rp. 50 juta atau subsider 3 bulan kurungan.
Kaitan kasus ini, mereka dianggap bersalah lantaran melanggar pasal 2 ayat (1) dan pasal 3 jo Pasal 18 UU Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Kerugian Negara Rp 1 M
Enam orang yang telah divonis Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Surabaya dianggap telah merugikan negara sebesar Rp.
Baca juga: Ini Harapan Pj Wali Kota Madiun setelah 30 Anggota DPRD Dilantik
1.065.528.648,40 dalam pembangunan gedung DPRD. Disaat pelaksanaan pengajuan pembayaran anggaran yang seharusnya dilakukan Dirut PT AJP, Hedi Karnomo justru diajukan oleh Kaiseng, Shonhaji dan Aditya.
Ketiganya mencairkan anggaran sebesar 90 persen. Namun setelah fisiknya dihitung oleh tim ahli dari tim Politeknik Bandung hanya mencapai 85,0996 persen. Sehingga terdapat kekurangan volume pekerjaan 4,9004 persen atau jika diuangkan sebesar Rp. 1.065.528.648,40. Selisih tersebut, dianggap merugikan keuangan Negara.
Dalam persidangan terungkap, jika Hedi Karnowo hanya memberikan pekerjaan kepada Kaiseng (DPO), Shonhaji dan Aditya Nerviadi. Atau istilahnya meminjamkan bendera saja. Padahal, ketiganya tidak masuk dalam struktur organisasi PT. AJP.
Bahkan, Soemanto yang seharusnya bertindak sebagai konsultan pengawas, justru tidak melakukan pengawasan secara maksimal. Indikatornya bisa dilihat dari pembayarannya yang sudah 90 persen, tetapi fisiknya hanya 85,0996 persen. Begitu pula dengan Iwan Suasana. Dia disebut memiliki
peran sebagai penghubung antara Hedi Karnomo dengan Kaiseng. Peran Aditya ini juga sebagai pelaksana maupun penanggungjawab di lapangan.
Untuk Agus Sugijanto dianggap tidak dapat mengendalikan.
pekerjaan dengan baik. Sehingga pekerjaan menjadi mangkrak dan tidak bisa difungsikan sebagaiaman mestinya. Sedangkan untuk Widi Santoso dia dianggap paling mengetahui masalah dilapangan. Namun pada kenyataanya, justru pekerjaan tidak mencapai 100 persen, sehingga menimbulkan kerugian negara.paw
Editor : Redaksi