JAKARTA (Realita)- Kalau penyalahguna di jatuhi hukuman penjara, berarti hakim melanggar tujuan dibuatnya UU (pasal 4d), melanggar pasal 127/2 dimana hakim lalai tidak memperhatikan kewajiban untuk mengetahui kondisi fisik dan psikis penyalahguna yang menjadi terdakwa (pasal 54) ketika terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar pasal 127/1 dan tidak menggunakan kewenangan berdasarkan pasal 103 UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika.
"Komjen (Purn) Dr. Anang Iskandar menjelaskan, mempelajari UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika tidak bisa secara linier dengan membaca pasal pidana saja karena UU narkotika mengatur narkotika tidak hanya secara pidana tetapi juga secara medis dan sosial sebagai kesatuan yang tidak terpisahkan dari sebuah UU," ujar Anang Iskandar kepada Realita.co, Sabtu (19/11/2022).
Baca juga: Anang Iskandar Minta Penghentian Penuntutan Perkara Narkotika
Masih penjelasan Anang, Menapa demikian? Karena penyalahguna narkotika itu orang sakit kecanduan narkotika sebagai pelaku kejahatan kepemilikan narkotika untuk dikonsumsi atau bagi diri sendiri, diancam secara pidana tetapi proses peradilannya direstoratif oleh UU dan bentuk hukuman ditentukan oleh UU berupa rehabilitasi secara medis dan sosial.
"Proses peradilannya secara restoratif karena dalam memeriksa perkara narkotika yang tujuannya untuk dikonsumsi atau perkara penyalahgunaan narkotika, hakim diwajibkan UU untuk memperhatikan keadaan terdakwa melalui keterangan ahli (pasal 127/2). Apakah terdakwa yang sedang diadili pelakunya berpredikat sebagai korban penyalahgunaan narkotika atau pecandu," kata Anang yang sekaligus mantan Kepala BNN.
Masih kata Anang Iskandar sebagai ahli hukum narkotika ini, bila predikatnya sebagai korban penyalahgunaan narkotika, hakim wajib menetapkan yang bersangkutan menjalani rehabilitasi, bila predikatnya sebagai pecandu hakim wajib memutuskan yang bersangkutan menjalani rehabilitasi (pasal 54)," ungkapnya.
Solusi yuridis non peradilan
UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika, memberikan solusi non peradilan terhadap perkara penyalahgunaan narkotika. penyalah guna (pasal 127/1) diancam pidana tetapi diwajibkan untuk melakukan wajib lapor pecandu (pasal 55) agar mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan berupa rehabilitasi supaya sembuh dan pulih, biayanya ditanggung oleh negara karena negara berkepentingan untuk itu.
Penyalahguna narkotika yang telah melakukan kewajiban untuk melaporkan ke Rumah Sakit atau lembaga Rehabilitasi yang ditunjuk sebagai Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL) maka status pidananya gugur berubah menjadi tidak dituntut pidana meskipun mengalami relapse.
Dengan demikian masalah pidana bagi penyalahguna selesai tanpa dilakukan penegakan hukum, tinggal masalah kecanduan dan gangguan mental kejiwaannya yang memerlukan rehabilitasi secara medis dan sosial.
Wajib lapor pecandu adalah solusi utama dalam menanggulangi masalah penyalahgunaan narkotika secara medis dan sosial, simpel tanpa adanya kerusakan akibat penegakan hukum, biayanya murah kalau relapse biaya rehabilitasi dibebankan pada keluarganya.
Solusi yuridis dengan proses peradilan
Kalau tidak melakukan wajib lapor, maka bila ditangkap penyidik diproses sebagai pelaku kejahatan melalui sistem peradilan rehabilitasi, dimana hakim diberi kewajiban dan kewenangan dapat menjatuhkan atau menetapkan yang bersangkutan menjalani rehabilitasi.
Dalam proses peradilan rehabilitasi, penyalahguna wajib direhabilitasi melalui perintah penyidik, penuntut dan hakim selama proses pemeriksaan pada semua tingkatan dan hakim wajib menggunakan pasal 103 untuk memutuskan atau menetapkan yang bersangkutan menjalani rehabilitasi.
Kalau dijatuhi hukuman penjara, hakim melanggar ketentuan pasal 4d dan pasal 127/2 karena hakim lalai tidak memperhatikan kewajiban untuk mengetahui kondisi fisik dan psikis penyalah guna yang menjadi terdakwa (pasal 54) dan tidak menggunakan kewenangan berdasarkan pasal 103 UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika
Dan hakim melanggar hak asasi penyalahguna untuk mendapatkan penyembuhan dan pemulihan atas sakit yang dideritanya melalui putusan hakim.
"Sebagai contoh perkara narkotika yang pelakunya terbukti bersalah secara sah dan meyakinkan sebagai penyalahguna bagi diri sendiri tetapi dijatuhi hukuman penjara adalah perkara yang menimpa Nia Rachmadani cs, Catharine Wilson, Rhido Rhoma dan banyak, bahkan ribuan perkara narkotika sejenis yang dijatuhi hukuman penjara," bebernya.
Masih sambungnya, Penyalahguna dijatuhi hukuman penjara berdampak buruk dan hanya membawa nestapa serta membawa musibah bagi penyalahguna, masarakat, bangsa dan negara.
"Musibahnya berupa terjadinya over kapasitas lapas, terjadinya sakau dalam penjara, terjadinya penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika didalam lapas, dan terjadinya residivisme kejahatan penyalahgunaan narkotika setelah selesai menjalani hukuman, serta meningkatnya jumlah penyalahguna narkotika dan meluasnya area penyalahgunaan narkotika hingga sampai desa-desa," katanya.
"Dirinya menerangkan bahwa Over kapasitas tersebut disampaikan oleh Dirjend Lapas Untung Sugiono bahwa yang menjadi masalah pokok lapas adalah over kapasitas, jumlah penghuni penjara tercatat 130.075 orang sedangkan kapasitas daya tampung 88.599 sehingga terjadi over kapasitas sebanyak 41.476 orang, mayoritas yang menghuni lapas adalah pelaku kejahatan narkotika (laporan akhir tahun 31/12/2008)," ulasnya lagi.
Selama 12 tahun berlakunya UU no 22 tahun 1997 tentang narkotika Lapas mengalami over kapasitas 41.476 orang = 46,8 %.
UU no 22 tahun 1997 tentang narkotika diganti dengan UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika, salah satu point penting yang dirubah dan diperjelas adalah tujuan penegakan hukum terhadap penyalah guna diperjelas bahwa tujuan penegakan hukum terhadap penyalah guna narkotika adalah menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial bagi penyalah guna dan pecandu (pasal 4d).
Point penting lainnya adalah hakim dalam memeriksa perkara penyalahgunaan narkotika diberi kewajiban khusus (pasal 127/2) untuk memperhatikan kondisi taraf kecanduan penyalahguna, apakah penyalahguna sebagai korban penyalahgunaan narkotika atau sebagai pecandu (pasal 54).
Artinya berdasarkan taraf kecanduannya penyalah guna narkotika digolongkàn menjadi 2 yaitu pertama sebagai korban penyalahgunaan narkotika jika belum kecanduaan karena menggunakan narkotika untuk pertama kali karena dibujuk, ditipu, dirayu diperdaya atau dipaksa menggunakan narkotika, kedua sebagai pecandu narkotika bila dilakukan assesmen dan hasilnya dalam keadaan kecanduan narkotika.
Nah secara yuridis berdasarkan pasal 54, korban penyalahgunaan narkotika dan pecandu narkotika wajib menjalani rehabilitasi.
Baca juga: Anang Iskandar: Kecelakaan Legislasi Dalam Pembuatan UU No 35 Tahun 2009
Hakim dalam memeriksa perkara narkotika yang terdakwanya terbukti sebagai penyalah guna bagi diri maka hakim wajib memperhatikan apakah penyalah guna tersebut tergolong korban penyalahgunaan narkotika atau pecandu.
Jika terdakwa tergolong pecandu, maka berdasarkan pasal 103 hakim wajib memutus dan memerintahkan yang bersangkutan untuk menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi, jika terdakwa tergolong korban penyalahgunaan narkotika maka hakim wajib menetapkan yang bersangkutan untuk menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi.
Karena secara empiris hakim menggunakaan KUHAP dan pasal 10 KUHP dalam menjatuhkan hukuman penjara terhadap perkara narkotika yang terbukti sebagai penyalah guna bagi diri sendiri, akibatnya masalah over kapasitas tak terkedalikan, meskipun pemerintah cq kemenkumham telah melakukan berbagai upaya untuk menanggulangi over kapasitas.
"Menurut catatannya, selama model penegak hukum tidak berubah dan hakim menjatuhkan hukuman penjara bagi terdakwa narkotika yang terbukti sebagai penyalahguna bagi diri sendiri maka over kapasitas dan bencana lainnya tidak akan dapat dikendalikan," ucapnya.
Sebagai gambaran, pada tahun 2021, berdasarkan data dari DitjenPas Lapas per tanggal 09 september 2021 jumlah tahanan di indonesia berjumlah 266.663 orang, dengan kapasitas seharusnya berjumlah 132.107 dengan demikian terjadi over kapasitas sebanyak134.556 orang atau sekitar 101 %
Setahun kemudian data DitjenPas Lapas per tanggal 13 September 2022 jumlah narapidana di Indonesia berdasarkan penjelasan Heni Yuwono Direktur Pelayanan Pengelolaan Basan dan Baran DitjenPas Lapas berjumlah 275.167 orang sedangkan kapasitas lapas 132.107 akhirnya ada over kapasitas 108 % dilansir dari kompas.com, 21 sep 2022.
*Apakah benar over kapasitas akibat hakim salah menerapkan bentuk hukuman?*
Baca juga: Pemusnahan BB Narkotika Tidak Sesuai Prosedur, Anang Iskandar: Itu Kejahatan
"Yes, secara empiris demikian (lihat data Direktorat Putusan Mahkamah Agung) dalam data tersebut perkara narkotika yang terbukti secara sah dan meyakinkan sebagai penyalah guna bagi diri sendiri, hakim menjatuhkan hukuman penjara padahal secara yuridis hakim wajib menjatuhkan hukuman rehabilitasi kewenangan (pasal 103), kewajiban (127/2) hakim dan tujuan penegakan hukum (pasal 4d)," jelas Anang.
Hakim dalam menjatuhkan hukuman penjara menggunakan dasar pasal 10 KUHP, padahal pasal 103 UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika, hakim diberi kewenangan wajib dapat memutuskan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitas jika pecandu tersebut terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika.
"Permasalahannya pokoknya karena hakim yang mengadili perkara penyalahguna bagi diri sendiri, tidak melaksanakan kewajiban hakim (pasal 127/2) untuk mengetahui apakah penyalah guna bagi diri sendiri tersebut termasuk korban penyalahgunaan narkotika atau pecandu," katanya.
Jika tergolong pecandu maka hakim wajib memutus untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika pecandu tersebut terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika.
Jika tergolong korban penyalahgunaan narkotika maka hakim wajib menetapkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/perawatan.
Apakah hakim yang mengadili tidak melanggar HAM ?
Yes, melanggar hak penyalah guna untuk mendapatkan penyembuhan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi atas keputusan hakim.
Karena secara yuridis penyalahguna baik sebagai korban penyalahgunaan narkotika atau pecandu narkotika wajib dijatuhi hukuman menjalani rehabilitasi namun secara empiris penyalah guna dihukum penjara, lihat dan amati data Direktori Putusan Mahkamah Agung bahwa terdakwa pelaku kejahatan narkotika yang terbukti sebagai penyalah guna bagi diri sendiri dijatuhi hukuman penjara.
Ini berarti keputusan memenjarakan penyalahguna narkotika dapat diartikan sebagai kebijakan implementasi Mahkamah Agung.
Saya menyarankan kepada Mahkamah Agung agar proses pengadilan terhadap penyalahguna narkotika menggunakan peradilan restoratif (pasal 127/2) dengan hukuman berupa menjalani rehabilitasi, dimana eksekusi putusannya dilaksanakan dirumah sakit atau lembaga rehabilitasi medis milik pemerintah yang ditunjuk oleh Menkes dan lembaga rehabilitasi sosial yang ditunjuk Menso," pintanya.
"Dan menyarankan agar Pemerintah mengambil langkah hukum luar biasa untuk menyelamatkan penyalahguna yang terlanjur mendekam di penjara,"pungkasnya.tom
Editor : Redaksi