Faisal Basri, Gigih Kritisi Kebijakan Hilirisasi hingga Hembusan Nafas Terakhir

realita.co
Faisal Basri. Foto: dOk

JAKARTA - Faisal Basri lantang mengkritisi kebijakan pemerintah. Salah satu kebijakan dikritisi ekonom Universitas Indonesia (UI) itu adalah hilirisasi yang dibesut Presiden Joko Widodo (Jokowi). Bahkan bisa dibilang, Faisal Basri menentang kebijakan ini hingga hembusan nafas terakhir.

Pada tahun 2023 lalu Faisal Basri sempat debat hingga adu data dengan Jokowi soal kebijakan hilirisasi. Meski tidak langsung, saling jawab terjadi antara Faisal Basri dan Jokowi.

Baca juga: Butuh 139 Tahun untuk Balik Modal Proyek Kereta Cepat

Kala itu, mulanya Faisal Basri menyebut China mendapat keuntungan besar dari kebijakan hilirisasi nikel Indonesia. Persentasenya mencapai 90% dari total keuntungan yang jadi buah hasil hilirisasi.

Kebijakan hilirisasi seperti hilirisasi nikel dinilai Faisal hanya menguntungkan negara lain, salah satunya China yang memiliki smelter nikel di RI. Indonesia hanya mendapatkan 10% dari keseluruhan keuntungan dari kebijakan tersebut.

"Hilirisasi sekadar bijih nikel jadi nickel pig iron (NPI) jadi feronikel lalu 99% diekspor ke China. Jadi hilirisasi di Indonesia nyata-nyata mendukung industrialisasi di China. Dari hilirisasi itu, kita hanya dapat 10%, 90% ke China," kata Faisal Basri dalam acara Kajian Tengah Tahun INDEF bertemakan Menolak Kutukan Deindustrialisasi, yang dikutip dari CNN Indonesia.

Jokowi pun membela diri. Dia memberikan jawaban tegas soal kritik Faisal Basri yang menyatakan kebijakan hilirisasi hanya menguntungkan China itu. Eks Gubernur DKI Jakarta itu menegaskan Indonesia tetap untung besar dari hilirisasi mineral.

Dia menerangkan untuk nikel saja, hitungannya sampai saat ini nilai ekspor produk olahan nikel jauh lebih besar daripada nilai ekspor nikel secara mentah. Nikel yang diekspor mentah setahun nilainya cuma Rp 17 triliun, tapi nikel yang sudah diolah menjadi beragam produk nilai ekspornya melonjak jadi Rp 510 triliun.

"Kalau hitungan kita ya, saya contoh nikel, saat diekspor mentahan bahan mentah setahun kira-kira hanya Rp 17 triliun, setelah masuk downstreaming hilirisasi menjadi Rp 510 triliun," ungkap Jokowi di Stasiun LRT Dukuh Atas, Jakarta Pusat, Kamis (10/8/2023) silam.

Jokowi membeberkan negara untung dengan mengambil pajak dari proses hilirisasi produk nikel yang diekspor. Mulai dari PPN, PPh badan dan karyawan, royalti tambang, bea ekspor, hingga beragam PNBP. Menurutnya, pajak yang ditarik jelas lebih besar apabila yang diekspor adalah produk olahan, bukan barang mentah.

"Bayangkan saja kita kan hanya ambil pajak, ambil pajak dari Rp 17 triliun sama ambil pajak dari Rp 510 triliun itu gede banget. Karena dari situ dari hilirisasi kita akan dapatkan PPN, PPh badan, PPh karyawan, PPh perusahaan, royalti, bea ekspor, PNBP, semuanya ada di situ," beber Jokowi.

"Coba dihitung saja, pajak dari Rp 17 triliun sama Rp 500 triliun, gedean mana," tegasnya.

 

Tak mau kalah, Faisal Basri juga buka-bukaan soal data dengan Jokowi. Pada blog pribadinya, Faisal Basri secara gamblang menjawab semua hitungan Jokowi yang dinilainya tidak tepat dan tidak jelas hitungannya.

"Angka-angka yang disampaikan Presiden tidak jelas sumber dan hitung-hitungannya. Presiden hendak meyakinkan bahwa kebijakan hilirisasi nikel amat menguntungkan Indonesia dan tidak benar tuduhan bahwa sebagian besar kebijakan hilirisasi dinikmati oleh China," beber Faisal Basri.

"Bapak Presiden, maaf kalau saya katakan bahwa Bapak berulang kali menyampaikan fakta yang menyesatkan," ujarnya lagi.

Lebih jauh Faisal Basri membeberkan pada 2014 nilai ekspor bijih nikel dengan kode HS 2604 hanya Rp 1 triliun. Angka itu didapat dari ekspor senilai US$ 85,913 juta dikalikan rerata nilai tukar rupiah pada tahun yang sama, yaitu Rp 11,865 per dolar Amerika.

Dia juga membeberkan pada 2022, nilai ekspor besi dan baja dengan kode HS 72 yang diklaim sebagai hasil dari hilirisasi adalah US $27,8 miliar. Berdasarkan rerata nilai tukar rupiah tahun 2022 sebesar 14.876 per dolar Amerika maka nilai ekspor besi dan baja setara dengan Rp 413,9 triliun.

Dari paparan itu, Faisal Basri mengaku dia sepaham dengan Jokowi pada satu poin, hilirisasi memang memberikan lonjakan ekspor yang fantastis. Dari data di atas menurut Faisal Basri ada kenaikan nilai ekspor hingga 414 kali lipat.

"Terlepas dari perbedaan data antara yang disampaikan Presiden dan hitung-hitungan saya, memang benar adanya bahwa lonjakan ekspor dari hasil hilirisasi, yaitu 414 kali lipat sungguh sangat fantastis," ungkap Faisal Basri.

Namun, yang menjadi masalah bagi Faisal Basri adalah apakah uang hasil ekspor mengalir ke Indonesia? Pasalnya, dia mengatakan hampir semua perusahaan smelter pengolah bijih nikel yang memiliki nilai tambah sampai 100% justru dimiliki oleh China.

"Indonesia menganut rezim devisa bebas, maka adalah hak perusahaan China untuk membawa semua hasil ekspornya ke luar negeri atau ke negerinya sendiri," papar Faisal Basri.

Hal itu menurut Faisal Basri jauh berbeda dengan ekspor sawit dan turunannya yang dikenakan pajak ekspor atau bea keluar plus pungutan berupa bea sawit. Sebaliknya, untuk ekspor olahan bijih nikel sama sekali tidak dikenakan segala jenis pajak dan pungutan lainnya.

Baca juga: Faisal Basri: Tujuh Tahun Indonesia Jadi Budak China

"Jadi penerimaan pemerintah dari ekspor semua jenis produk smelter nikel nihil alias nol besar," tegas Faisal Basri.

Faisal Basri memaparkan keuntungan perusahaan sawit dan olahannya dikenakan pajak keuntungan perusahaan atau pajak penghasilan badan, sedangkan perusahaan smelter nikel bebas pajak keuntungan badan karena mereka menikmati tax holiday selama 20 tahun atau lebih.

Dia pun menyimpulkan penerimaan pemerintah dari laba luar biasa yang dinikmati perusahaan smelter nikel adalah nihil. Lebih lanjut, Faisal Basri menilai perusahaan-perusahaan smelter China menikmati karpet merah dari pemerintah karena dianugerahi status proyek strategis nasional.

"Kementerian Keuangan lah yang pada mulanya memberikan fasilitas luar biasa ini dan belakangan lewat Peraturan Pemerintah dilimpahkan kepada BKPM," kata Faisal Basri.

Dia pun kembali mempertanyakan apakah perusahaan smelter China juga tidak membayar royalti? Pasalnya, menurut Faisal Basri hal itu sama sekali tidak terjadi, selama ini yang membayar royalti justru perusahaan penambang nikel yang hampir semua adalah pengusaha nasional. Beda cerita saat perusahaan masih dibolehkan mengekspor bijih nikel, pemerintah masih memperoleh pemasukan dari pajak ekspor.

Faisal Basri mengaku sebetulnya dirinya mendukung sepenuhnya industrialisasi yang mau dilakukan pemerintah, tetapi dirinya menolak mentah-mentah kebijakan hilirisasi nikel dalam bentuknya yang berlaku sekarang. Dia mencap kebijakan hilirisasi sangat ugal-ugalan.

"Seperti yang diterapkan untuk nikel sangat sedikit meningkatkan nilai tambah nasional. Nilai tambah yang tercipta dari kebijakan hilirisasi dewasa ini hampir seluruhnya dinikmati oleh China dan mendukung industrialisasi di China, bukan di Indonesia," terang Faisal Basri.

Dia memaparkan kebijakan hilirisasi nikel sudah berlangsung hampir satu dasawarsa. Namun, justru peranan sektor industri manufaktur nyatanya terus menurun. Data yang dia paparkan, peranan sektor manufaktur turun dari 21,1% di tahun 2014 menjadi hanya 18,3% pada tahun 2022. Bahkan, peranan sektor manufaktur berada di titik terendah sejak 33 tahun terakhir.

Keberadaan smelter nikel juga dinilainya tidak memperdalam struktur industri nasional. Produk smelter dalam bentuk besi dan baja tidak semuanya bisa langsung dipakai di dalam negeri. Misalnya untuk industri otomotif, pesawat terbang, kapal, bahkan untuk industri peralatan rumah tangga seperti panci, sendok, garpu, dan pisau sekalipun.

Produk besi dan baja yang diproduksi dan diekspor terdiri dari banyak jenis, menurutnya yang dikatakan oleh Jokowi adalah produk induknya atau produk di kelompok kode HS 72.

Sementara itu, hampir separuh ekspor HS 72 adalah dalam bentuk ferro alloy atau ferro nickel. Ada pula yang masih dalam bentuk nickel pig iron dan nickel mate. Hampir semua produk-produk itu tidak diolah lebih lanjut, melainkan hampir seluruhnya diekspor ke China.

Baca juga: Vaksin Gotong Royong Dijual, Faisal Basri Tuding Pemerintah Biadab

Sejauh ini menurutnya tidak satu pun pabrik smelter yang berada di Sulawesi telah memproduksi baterai untuk kendaraan listrik atau besi baja sebagai finished products. Rel untuk kereta cepat saja seluruhnya masih diimpor dari China.

"Di China, produk-produk seperempat jadi itu diolah lebih lanjut untuk memperoleh nilai tambah yang jauh lebih tinggi. Lalu, produk akhirnya dijual atau diekspor ke Indonesia. Dalam porsi yang jauh lebih rendah adalah semi-finished products," beber Faisal Basri.

Tantang Luhut Debat

Ekonom senior INDEF Faisal Basri mengkritik program hilirisasi yang dijalankan pemerintah. Ia menilai program hilirisasi punya konsep yang sesat.

"Hilirisasi itu konsep yang sesat. Nggak ada yang bilang sesat itu, nggak ada (di debat pilpres). Konsep yang sangat sesat itu," katanya dalam Diskusi Publik INDEF di Manhattan Hotel, Jakarta Selatan, pada awal tahun 2024.

Ia mengaku sanggup berdebat dengan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan untuk membuktikan hal itu. Faisal Basri juga mengajak Co-Captain Timnas AMIN Thomas Trikasih Lembong melawan Luhut.

"Saya bisa debat deh dengan Luhut secara terbuka gitu. Anda organisir aja. Saya sama Tom Lembong deh berdua, lawan Luhut Pandjaitan dengan Seto (Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kemenko Marves)," tambahnya.

Beberapa waktu lalu, Faisal Basri juga mengkritik keras hilirisasi. Menurutnya keputusan pemerintah melarang ekspor sejumlah komoditas justru merugikan produsen dalam negeri.

"Sebejat-bejatnya kebijakan adalah melarang. Karena melarang itu mematikan pasar. Nggak boleh dagang ke luar negeri, yang paling menderita produsen dalam negeri. Harganya anjlok kan dalam negeri karena (stok) jadi banjir," katanya dalam Seminar Nasional Presisi Cegah Korupsi di Jakarta, Kamis (14/9/2023).

"Harga anjlok dibeli China, dibikin smelter, dijual ke China. Pinter nggak kita. Itulah sebejat-bejatnya kebijakan. Kalau bisa jangan larang melarang, norak," tambahnya.ik

Editor : Redaksi

Politik & Pemerintahan
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru