JAKARTA (Realita)- Indonesia mendorong tercapainya konsensus global terkait pemajakan ekonomi digital di bawah koordinasi Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD).
Saat berpidato dipertemuan tingkat kepala negara G20 di Roma, Italia, pada 30-31 Oktober 2021, Presiden Joko Widodo juga menyerukan pentingnya reformasi perpajakan internasional yang lebih adil.
Baca juga: Songsong Hari Kesaktian Pancasila 2024, Pemkot Surabaya Bebaskan Denda PBB
Hal ini dinilai penting guna meningkatkan kerja sama pemulihan ekonomi untuk mewujudkan tata kelola ekonomi dunia yang lebih kuat, inklusif, dan berkelanjutan.Penerapan pajak digital secara menyeluruh, diharapkan dapat menciptakan keadilan bagi persaingan usaha.
Jika bicara tentang perusahaan multinasional terutama terkait aspek pajak, Partner DDTC Fiscal Research B. Bawono Kristiaji menyatakan, tantangan utamanya adalah pengopreasian yang secara internasional.
"Ketika beroperasi secara internasional, yang bisa atau ada kemungkinan bahwa mereka memanfaatkan perbedaan sistem pajak antara negara. Dimana kita tahu bahwa kalau kita bicara di seluruh negara di dunia ini memang ada negara- negara yang memiliki skema provincial taxes rezim pastinya seperti itu. Jadi disitu bisa saja tarifnya lebih rendah atau juga skema- skema seperti juga insentif atau juga insentif yang sebenernya menarik artifisial provit," kata Bawono Kristiaji dalam acara diskusi virtual Forum Merdeka Barat 9 (FMB 9), Senin (15/11/2021).
Baca juga: Sesenggukan, Sri Mulyani Pamit di Depan Anggota DPR
Bawono menambahkan, jika bicara secara detail mengenai perusahaan multinasional yang berbasis digital, lebih spesifiknya adalah pertama bagaimana memastikan hak pemajakan dari negara sumber.
"Artinya adalah bahwa ketika kita bicara tentang perusahaan digital, ini adalah perusahaan yang bisa saja memperoleh suatu penghasilan dari yurisdiksi tertentu tanpa dia harus mendirikan suatu BUT (Bentuk Usaha Tetap).
Dimana kalau kita bicara tentang BUT singkatnya ini adalah untuk memastikan hak pemajakan dari negara tersebut," ujar dia.
Baca juga: Mulai 2024, Pemkot Surabaya Gratiskan PBB untuk Rumah Ber-NJOP di Bawah Rp100 Juta
Bukan itu saja, kedua adalah ketika suatu perusahaan digital telah masuk dan terdaftar atau mendirikan BUT disini ada persoalan mengenai alokasi labanya seperti apa.
"Jadi atas penghasilan yang manakah nantinya laba perusahaan digital tersebut bisa dipajaki di suatu yurisdiksi," papar dia.tom
Editor : Redaksi