Praperadilan JE, Ahli Pidana: Berkas di P19 Tak Layak Disidangkan

realita.co

SURABAYA (Realita)-  Sidang permohon praperadilan yang diajukan JE atas status tersangka yang ditetapkan Polda Jatim kembali digelar di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Rabu (19/1/2021). Kali JE menghadirkan dua ahli yakni Abdul Azis, ahli forensik dari Rumah Sakit (RS) Dr. Sutomo dan Profesor Nur Basuki Minarno, dari Fakultas hukum Universitas Airlangga (Unair) Surabaya.

Abdul Aziz yang dimintai keterangan pertama kali oleh hakim tunggal Martin Ginting mengatakan, durasi Visum et repertum dalam perkara kekerasan seksual maksimal dilakukan dalam tempo satu minggu paska kejadian. Hal itu dimaksudkan untuk memastikan ke otentikan hasil visum dengan relevansi durasi waktu kejadian kekerasan seksual.

Baca juga: Thomas Michael Leon Lamury Hadjon Diadili Perkara Pencurian Atas Laporan Tantenya

"Maksimal satu minggu (setelah kejadian) kalau tidak ada komplikasi "beber Abdul Azis.

Fungsi dari Visum et repertum sendiri lanjut Azis, dimaksudkan untuk mengetahui beberapa kondisi alat kelamin. Apakah alat kelamin itu melakukan hubungan seksual  dengan kekerasan, atau memang alat kelamin itu kerab melakukan aktivitas hubungan seksual.

"(Fungsinya) Untuk Melihat kondisi alat kelamin itu baru melakukan hubungan seks, atau sudah sering melakukan seksual," kata Ahli.

Dikesempatan yang sama, ahli hukum pidana Nur Basuki Minarno menerangkan, hasil visum et repertum dapat dijadikan alat bukti dalam suatu perkara tindak pidana apabila memiliki relevansi dengan perkara tersebut.

Dijelaskan Nur Basuki terdapat perdebatan terkait hasil Visum, apakah digolongkan sebagai bukti surat atau masuk dalam kategori alat bukti keterangan ahli. Menurutnya, penyidik harus memilih salah satu diantara keduanya. Sebab, hasil visum masih tergolong alat bukti subjektif yang perlu diketahui relevansinya dengan petunjuk maupun alat bukti lain.

"Boleh salah satu (dijadikan alat bukti) namun tidak boleh dua-duanya,"kata dia.

Disinggung adanya dugaan Kejadian pencabulan yang diklaim dilakukan pada 2008 hingga 2018 namun baru dilakukan visum pada 2021, ahli menegaskan bahwa hasil visum itu sudah tidak memiliki relevansi.

"Kalau (visum) diibuat dalam durasi tempo yang jauh (dengan kejadian), maka visum itu tidak ada relevansinya "kata ahli.

Namun lanjut ahli, untuk menentukan relevan atau tidaknya hasil visum itu yang menentukan adalah hakim termasuk hakim dalam perkara praperadilan. Dimana dalam sidang praperadilan hakim yang akan menguji apakah hasil visum itu memiliki relevansi untuk dijadikan sebagai alat bukti suatu tindak pidana.

"Untuk Mencari hubungan klausal sebab akibat, Praperadilan juga untuk menguji relevansi alat bukti yang diajukan penyidik," tandas ahli.

Prof Basuki juga menerangkan didalam Pasal 110 dan Pasal 138 KUHP. Apabila Penyidik menyerahkan berkas perkara ke Kejaksaan dan Kejaksaan mengembalikan berkas tersebut ke penyidik atau P19 dikarenakan belum lengkap. Maka penyidik harus mengelangkapi selama 14 hari. 

"Namun jika melebihi 14 hari, menurut saya perkara itu tidak layak dilanjutakan,"terangnya.

Baca juga: Didakwa Penggelapan, Penasihat Hukum Herman Budiyono Menilai Dakwaan Jaksa Prematur

Prof Basuki juga mengatakan, melihat praktek bolak balik perkara tindak pidana karena berkas perkara belum lengkap atau P.18, dan P.19. Maka Jaksa Agung mengeluarkanSurat Edaran Kejaksaan Agung RI No. SE-3/E/Ejp/11/2020 tanggal 19 November 2020 tentang Petunjuk Jaksa (P-19) pada Pra Penuntutan Dilakukan Satu Kali dalam Penanganan Perkara Tindak Pidana Umum, yang intinya P-19 hanya boleh sekali saja.

"Itu artinya perkara tidak layak disidangkan. Terserah penyidik karena itu kewenangan penydik,ucapnya.

Dipenghujung persidangan, hakim Martin Ginting menanyakan apa urgensi seoseoarng dijadikan tersangka sementara alat bukti belum ditemukan relavansinya dan penyidik dengan prapenuntutan ini belum berkordinasi.

Menurut Prof Basuki, penetapan tersangka itu diujung penyidikan bukan diawal penyidikan. Penyidikan adalah serangkian untuk mengumpulkan alat bukti sehingga terang perkara pidananya, setelah itu siapa menentukan siapa tersangkanya.

"Seharunya antara penyidik dan jaksa intens dalam bekordinasi agar tepat menetapkan siapa tersangkanya. Itu dilakukan supaya prapenuntutan tidak terjadi seperti saat ini,"ucapanya.

Hakim juga menyakan, manakala jaksa menyatakan berkas ini belum lengkap. Maka Yuridisnya ini dimana?

Menurut Prof Basuki jika jaksa menyatakan berkas belum lengkap, maka perkara ini belum bisa diajukan dalam peradilan. Karena jaksa yang mawakili korban.

Baca juga: Jadi Terdakwa Pelecahan Terhadap Anak, Putra Jaya Setiadji Terancam 15 Tahun Penjara

"Jadi jaksalah yang mempunyai kewenangan, apakah perkara itu layak dipersidangkan,"terangnya.

Diketahui dalalam perkara ini, JE yang merupakan pendiri Sekolah SPI melayangkan gugatan praperadilan kepada Polda Jatim untuk memperjelas status hukumnya.

JE ditetapkan tersangka oleh Penyidik Polda Jatim atas tuduhan pencabulan terhadap SDS (28), yang meupakan alumni sekaligus pegawai di yayasan Sekolah SPI Batu.

Pada 16 September 2021, Berkas pemeriksaan JE oleh penyidik kemudian di limpahkan kepada kejaksaan Tinggi (Kejati) Jatim, akan tetapi pada 23 September, berkas dikembalikan lagi ke penyidik karena belum memenuhi pasal sangkaan.

Berkas kedua kembali diterima pihak kejaksaan untuk diteliti pada tanggal 3 Desember 2021. Namun setelah diteliti ternyata masih ditemukan sejumlah petunjuk yang belum dipenuhi oleh penyidik Ditreskrimum Polda Jatim.

Karena sudah dua kali berkas dikembalikan oleh Jaksa, JE kemudian mengajukan upaya hukum praperadilan.

Permohonan praperdilan JE itu didaftarkan pada 5 Januari 2022 dan teregister dengan nomor perkara 1/Pid.Pra/2022/PN Sby.ys

Editor : Redaksi

Politik & Pemerintahan
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru