SURABAYA (Realita)- Sapta Aprilianto, ahli hukum pidana dari Universitas Airlangga (Unair) Surabaya dihadirkan sebagai saksi ahli dalam perkara dugaan pemalsuan surat dengan terdakwa notaris Edhi Susanto dan Feni Talim kembali digelar di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Kamis (28/7/2022). Dalam keterangannya ahli tidak semua surat palsu masuk unsur pasal 263 KUPidna.
Di hadapan majelis hakim yang diketuai Suparno, Sapta Aprilianto, ahli hukum pidana menyebut ada dua unsur subyektif dan obyektif dalam pasal 263 KUHP ayat 1 dan 2 (pasal pemalsuan surat). Menurutnya, obyektif yakni yang membuat surat palsu dan subyektifnya adalah menggunakan surat palsu.
Baca Juga: Perkara King Finder Wong, Hakim Geram, Notaris Dedi Wijaya Batalkan Akta Wasiat Melalui Notaris Lain
Namun menurut Sapta, tidak semua surat palsu lantas masuk unsur pasal 263 KUHP, kecuali surat palsu itu menimbulkan nilai atau kerugian suatu hak perikatan atau sebagai bebasan hutang atau surat yang digunakan sebagai bukti.
“Itu bisa masuk ke pasal 263 KUHP,” katanya.
Sementara itu, kuasa terdakwa yakni Pieter Talaway meminta penegaskan kepada ahli terkait pasal 263 ayat 1 dan 2 tersebut masuk delik kesengajaan atau lalai. Ahli menjawab pertanyaan tersebut dengan menyebut masuk delik kesengajaan.
Saat Pieter melontarkan pertanyaan bagaimana jika ada seseorang menerima surat palsu, namun dirinya tidak mengetahui bahwa surat tersebut palsu kemudian dipergunakan. Menurut Sapta, syarat salah satu unsur pidana itu yakni mengetahui.
“Jadi harus mengetahui kalau tidak tahu ya gak masuk pidana,” tegasnya.
Baca Juga: Dilaporkan Atas Dugaan Pemalsuan Dokumen, Ini Tanggapan Notaris Rini Lagonda
Usai sidang, Ronald Talaway yang juga merupakan kuasa hukum terdakwa mengatakan sesuai keterangan ahli di persidangan dijelaskan pasal 263 ayat 1 dan ayat 2 merupakan delik sengaja.
“Sehingga harus diketemukan kehendak yang paralel dengan motivasi, sedangkan klien kami tidak memiliki motivasi maupun kehendak, mengingat tidak ada yang dapat menguntungkan diri klien kami atas perbuatan yang didakwakan jaksa,” jelasnya.
Menurut Ronald, kejahatan pemalsuan harus dibuktikan perbuatan aktifnya yaitu siapa yang membuat kepalsuan. “Dalam hal tanda tangan yang dimaksud di dalam objek surat kuasa,” tegas putra dari advokat Pieter Talaway ini.
Seperti diberitakan sebelumnya, dalam surat dakwaan disebutkan perkara ini berawal saat Hardi Kartoyo berniat menjual tiga bidang tanah dan bangunan kepada Tiono Satria Dharmawan pada 2017. Ketiga SHM atas nama Itawati Sidharta yang berlokasi di Kelurahan Rangkah, Kecamatan Tambaksari, Surabaya tersebut sesuai kesepakatan dijual dengan harga Rp 16 miliar.
Baca Juga: Polda Jatim Ringkus Komplotan Pemalsu Akta Otentik Libatkan Oknum BPN Kota Batu
Sesuai rencana, pembelian tanah tersebut akan dibiayai oleh Bank Jtrust Kertajaya. Atas kesepakatan tersebut, notaris Edhi Susanto kemudian ditunjuk untuk memfasilitasi proses jual-beli tersebut. Kemudian untuk realisasi pembiayaan tersebut diperlukan pembaharuan blanko SHM atas tanah yang dibeli.
Untuk memproses jual-beli antara Hardi Kartoyo dan Tiono Satrio, diperlukan sejumlah perubahan dalam perjanjian, diantaranya perubahan sampul sertifikat yang lama (gambar bola dunia) menjadi gambar Garuda. Untuk merubah tersebut perlu tanda tangan pemilik tanah.
Kemudian sesuai dakwaan, notaris Edhi Susanto dituding telah memalsukan tanda tangan tersebut. Atas perbutannya, notaris Edhi Susanto didakwa pasal 263 ayat (1) KUHP.ys
Editor : Redaksi