Pengakuan Rekanan, PDAM Kabupaten Malang Wajibkan Setor Fee Proyek 10 Persen

realita.co
Muhammad Mahmud.

KABUPATEN MALANG (Realita)- Muhammad Mahmud (65), direktur CV Mirna Jaya, yang mengaku menjadi rekanan Perusahaan Umum Daerah (Perumda) Tirta Kanjuruhan atau PDAM Kabupaten Malang semenjak 2002. Ia mengaku, sudah banyak proyek yang telah dikerjakan di Perumda milik Pemerintah Kabupaten Malang itu. 

"Saya menjadi rekanan di PDAM Kabupaten Malang mulai tahun 2002. Saat itu kantornya masih di Singosari. Sebelum pindah di Pakisaji," ujarnya saat ditemui media ini di salah satu cafe di Malang, Selasa (06/12/2022). 

Baca juga: Wali Kota: Kinerja PDAM Kota Madiun Memuaskan

Selama menjadi rekanan di PDAM Kabupaten Malang, ia mengaku pekerjaan yang banyak dilakukan adalah sambungan rumah.

"Pengadaan sambungan rumah pipa dan aksesoris. Jadi saya ada di pengadaan barangnya saja," ucapnya. 

Kata Mahmud, pengadaan tersebut sifatnya Pengadaan Langsung (PL), karena nilainya Rp 200 Juta ke bawah. "Kurang lebihnya sekitar 187 Rupiah per paket pekerjaan," ujarnya. 

Ia menjadi rekanan terakhir pada 2021 kemarin. Sehingga, kata dia, kalau ditotal mulai tahun 2002 hingga 2021, total nilai pekerjaan yang ia dapat dari PDAM sekitar Rp 12 M sampai Rp 15 M. 

Namun, dari sejumlah proyek yang dia kerjakan mulai 2002 itu, Mahmud mengaku selalu dimintai menyerahkan fee proyek berupa uang sebesar 10 persen dari nilai proyek yang ia kerjakan, setelah dipotong pajak 11 % (PPN+Pph). 

"Dari pekerjaan yang saya terima, setiap setelah pencairan, wajib menyerahkan fee proyek sebesar 10 persen. Pencairannya melalui bendahara. Jadi dari bendahara saya dikasih Cek, terus saya mencairkan sendiri di bank. Biasanya di Bank Jatim dan BTN," jelasnya. 

Ia menjadi rekanan semenjak Direktur Utamanya (Dirut) sebelum dijabat oleh Hasan hingga Dirut yang terakhir, Syamsul Hadi. 

Untuk penyerahan fee proyek tersebut, aku Mahmud, biasanya yang mengakomodir di Bagian Umum PDAM Kabupaten Malang. "Jadi melalui anak buahnya, tepatnya di bagian umum. Bertahun-tahun di Kepala Bagian Umum," beber dia. 

Waktu itu, kata Mahmud, Kabag umumnya mulai dijabat Syamsul Hadi, yang diketahui saat ini menjabat Direktur Utama. "Terus ada yang sudah almarhum, siapa itu aku lupa yang rumahnya di Singosari, terus Pak Tungga, Pak Eko, terus Anton ini yang sekarang," ujarnya. 

"Termasuk waktu Kabag Umumnya masih Pak Syamsul, dia sendiri yang menerima fee. Tapi terkadang kalau pas tidak ada di tempat, saya serahkan ke stafnya," ujarnya lagi. 

Dalam penyerahan fee proyek itu, ia mengaku tidak diperbolehkan melalui transfer. Harus menggunakan amplop dan diserahkan langsung. "Dia (PDAM) yang menyarakan enggak boleh transfer, harus pakai amplop," ungkapnya. 

Sebenarnya, kata Mahmud, dengan penerapan fee sebesar 10 persen itu ia tidak setuju. Namun ia mengaku tak kuasa untuk menolaknya pada waktu itu. 

"Sebenarnya penerapan fee itu saya enggak setuju. Karena itu aturan dari kantor (PDAM) saya harus mengikuti. Karena kalau enggak mengikuti, yang jelas saya enggak dikasih pekerjaan. Jadi aturan kantor (PDAM) fee 10 persen itu wajib," beber dia. 

Sementara, untuk penerapan fee 10 persen itu, kata Mahmud telah dipaten sebesar 10 persen. "Enggak pernah melebihi atau di bawah 10 persen. Jadi paten 10 persen," ucapnya. 

Baca juga: Eks Karyawan PDAM Kota Madiun Divonis 4 Tahun Penjara

"Untuk bukti-buktinya, saya sudah mengantongi. Salah satunya adalah SPK (Surat Perintah Kerja), foto-foto fee yang saya serahkan dan bukti percakapan WhatsApp," ungkap Mahmud. 

Selain penerapan fee proyek sebesar 10 persen, Mahmud juga mengaku ada permasalahan lain di tubuh PDAM Kabupaten Malang, yaitu mark up harga pengadaan meteran. Bahkan, ia mengaku pada 2007 silam, pernah dipanggil Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Timur terkait pengadaan meterisasi yang jumlahnya mencapai ribuan. 

"Sekitar tahun 2007, saya pernah dipanggil Kejati, waktu itu direkturnya masih Pak Hasan. Direktur Umumnya Pak Aji, Direktur Tehniknya Pak Bambang. Saya satu mobil untuk berangkat ke Kejati untuk menerima panggilan. Bahkan waktu itu saya sempat kaget, karena kertas yang dikeluarkan penyidik Kejati warna merah. Saya juga diancam mau ditahan, karena dinila keterangan saya itu tidak masuk akal. Saya berempat satu mobil berangkat ke Kejati untuk penuhi panggilan. Sementara Pak Syamsul belum dipanggil waktu itu. Baru setelah saya, ada panggilan sendiri dia," beber Mahmud. 

"Waktu itu Pak Syamsul masih menjadi Kabag Umum," imbuhnya. 

Ia bercerita, bagaimana dia dan beberapa pejabat di PDAM bisa dipanggil oleh Kejati Jawa Timur. Awalnya ia didatangi beberapa orang yang mengaku dari PDAM luar daerah yang ingin memesan meteran. Ia sampaikan semua harga sesungguhnya. 

"Awalnya saya didatangi dua orang berseragam PDAM. Mereka mengaku dari PDAM Banyuwangi. Minta order 10 ribu meteran air. Saya seneng waktu itu. Saya ditanya soal-soal harga, saya sampaikan yang sebenarnya. Ternyata dia merekam pembicaraan saya. Dan enggak tahunya ternyata mereka LSM," katanya. 

Kata Mahmud harga jual meter air pda waktu itu seharusnya dari dia sebesar Rp 55 ribu per unit meteran air. "Kemudian sama Pak Syamsul saya disuruh bilang Rp 75 ribu. Nanti sisanya untuk saya (Samsul), dia bilang gitu. Jadi saya disuruh bilang Rp 75 ribu ke orang-orang. Terus di SPK dinaikkan lagi menjadi Rp 99 ribu. Itu sudah termasuk pajak," bebernya. 

Jumlahnya, kata Mahmud, karena itu meterisasi jadi ribuan. Jumlah uangnya miliaran. Sekitar Rp 6 miliar sekian. Namun sifatnya PL (Pengadaan Langsung) karena dipecah-pecah proyeknya.

Baca juga: Gelapkan Duit PDAM Kota Madiun, Dua Karyawan Dibui

"Namun disiasati seolah-olah bayarnya diangsur berapa kali. Tapi sebenarnya enggak. Jadi dibayar kontan. Sehingga waktu diperiksa Kejati, saya harus ngomong bayarnya diangsur sehingga tinggi harganya. Jadi pas waktu rapat itu saya harus satu bahasa, ini harganya tinggi karena pembayarannya diangsur," kata Mahmud. 

Meskipun harganya sudah dimark up, dia tetap dikenakan fee 10% dari proyek sebesar Rp 6 miliar itu. "Fee 10 persen tetap dikenakan," ujarnya. 

Saat media ini bertanya kenapa kasusnya di Kejati bisa berhenti, Mahmud mengatakan saat di dalam mobil sempat menguping pembicaraan Aji, Direktur Umum, waktuteleponn dengan seseorang yang menurut Mahmud adalah orang kuat di Malang. 

"Ini, PDAM kena kasus, diperiksa kejati masalah mark up. Siapa jaksanya," ujar Mahmud menirukan pembicaraan Aji saat telepon dengan seseorang. 

"Akhirnya kasusnya kok gak diteruskan, saya kurang tahu. Tapi semua masih ketir-ketir pada waktu itu. Pada takut diteruskan," imbuh Mahmud. 

Terakhir, ia mengaku atas yang ia sampaikan ke publik akan dipertanggungjawabkan. Meskipun nanti bakal ke ranah hukum. 

"Saya siap bertanggungjawab. Meskipun harus nyawa taruhannya," ucapnya. 

Sementara, Direktur Utama Perumda Tirta Kanjuruhan atau PDAM Kabupaten Malang, Syamsul Hadi, saat dikonfirmasi awak media melalui telepon selulernya pada Selasa, 06 Desember 2022, tidak merespon. Dihubungi melalui WhatsApp selulernya, hingga berita ini dinaikkan, juga belum ada jawaban.mad

Editor : Redaksi

Politik & Pemerintahan
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru