Jilid Pertama
PALEMBANG (Realita) - Tidak terasa, waktu terus bergulir dan tahun politik kembali sudah berada didepan mata Pemilu serentak di tahun 2024, ibarat "re-start system demokrasi" bagi rakyat Indonesia dari sabang hingga merauke, termasuk tentu saja Pilkada kota Palembang yg memiliki aroma kontestasi paling prestise dan paling bergengsi di Provinsi Sumatera Selatan.
Baca juga: Tiga Bupati Berturut-turut Tersangkut Korupsi, Ada Trauma Masyarakat Sidoarjo Tentukan Pilihan
Tidak ada lagi istilah incumbent maupun challenger, karena semua kontestan calon walikota dan wakil walikota akan berjuang dari titik nol, sama2 tidak sedang berada pada tampuk kekuasaan.
Tenggang waktu masa transisi kekosongan kekuasaan selama 1 tahun sejak walikota dan wakil walikota meletakkan jabatannya karena ketentuan konstitusi, bisa merubah secara signifikan peta politik kota Palembang.
Praktis semua kepala daerah dijabat oleh pejabat yg ditunjuk menteri dalam negeri, dari jabatan gubernur hingga walikota dan bupati, dan tentu saja termasuk walikota Palembang.
Realitas politik ini bisa menimbulkan persepsi publik, bahwa demokrasi politik pilkada secara konstitusional kembali pada kendali kekuasaan sentralistik, karena kepala daerah yg akan mengendalikan pemerintahan bukanlah cerminan hasil pemilihan rakyat, tapi semata-mata penunjukan dari pemerintah pusat, yg secara legalitas konstitusi memang diatur namun dalam legitimasi suara rakyat patut dipertanyakan.
Maka indikasi muatan politis dari pusaran kekuasaan politik dilevel pusat menjadi terasa sangat kental citarasanya, dan lazimnya dalam tradisi politik bangsa kita bahwasanya pemegang kendali kekuasaan dalam panggung politik nasional relatif akan memanfaatkan momentum Pemilu 2024 sebagai alat untuk melanggengkan kekuasaan. Harus diingat bahwa produk2 konstitusi cenderung mendapat legalitas dan legitimasi dari Lembaga legislatif DPR RI yang notabene diisi oleh seluruh perwakilan Partai Politik. Oleh karena itu sangatlah beralasan jika produk2 konstitusi negara ini sangat sarat dengan aroma kepentingan partai politik.
Dalam konteks Pilkada Kota Palembang, imbas dari penetapan jadwal Pemilu Serentak di Tahun 2024, membuat peta politik pilkada menjadi lebih dinamis dan kompetitif.
Para kandidat tidak lagi berani mengklaim sebagai incumbent, dikarenakan ada masa putus kekuasaan kepala daerah yang dipilih berdasarkan pilihan rakyat selama 1 tahun. Siapapun pejabat Walikota yang ditunjuk oleh pemerintah pusat (C.Q. Menteri Dalam Negeri) adalah produk kekuasaan “Top Down” dan sentralistik.
Menurut persepsi penulis, bahwa dengan Pemilu serentak yang ditetapkan pada tahun 2024, maka siapapun yang berhasrat untuk maju menclonkan diri sebagai walikota dan wakil walikota Palembang memiliki peluang serta tantangan yang relatif sama.
Fenomena politik yang akan muncul antara lain :
Tidak ada kandidat yang masih memiliki akses kekuasaan dalam jaringan birokrasi, sehingga status politik Kota Palembang ibarat “Negeri Tak Bertuan”Tidak ada kandidat yang bisa memanfaatkan kebijakan, program maupun anggaran Pemerintah Daerah untuk dijadikan kendaraan politik dan cost politik.
Cost politik para kandidat sepenuhnya bergantung pada kemampuan finansial masing-masing, artinya cost politik untuk mengikuti kontestasi Pilkada harus bertumpu pada kemampuan diri sendiri, terkecuali jika ada pihak ketiga baik sponsor maupun donator politik yang siap memberikan dukungan kepada kandidat.
Akan terjadi gerakan politik baik secara terstruktural maupun sporadis dari para kandidat untuk merebut simpati masyarakat, dan tentu saja melalui perangkat pamong dilevel lingkungan RT/RW.
Akan menjamur tim sukses yang akan bergerilya masuk kampung keluar kampung, sampai penggalangan dari pintu ke pintu.
Akan terjadi tawar menawar harga suara pemilih, baik yang “ketengan maupun borongan”, berbasis Data KK ditiap RT/RW. Akan bertebaran slogan-slogan kampanye para kandidat dari yang bernarasi “Atas nama dan untuk Rakyat”, hingga slogan2 kampanye yang bombastis, membawa mimpi2 dan janji2 untuk membawa masyarakat menuju kesejahteraan.
Akan terjadi politik saling sikut, saling sikat dan saling sakit, jika ada kandidat yang merasa terancam peluangnya atau hasil surveynya diungguli oleh kandidat lainnya, atau dengan kata lain akan muncul praktek Black Campaign dan Negative Campaign yang saling serang serta saling menjatuhkan.
Pada pasca Pilkada akan muncul orang-orang yang bertindak sebagai “ debt collector” politik, yang bertugas khusus untuk menagih kembali investasi finansial maupun material dari para pemilih maupun tim sukses yang dinilai mengkhianati amanah yang diberikan.
Para pemegang kendali suara di tingkat grassroot (Ketua RT/RW) akan menjadi primadona Pilkada, yang akan dimanjakan dengan berbagai bentuk kompensasi materialistik maupun janji-ianji kesejahteraan berupa bonus ataupun kenaikan insentif sebagai wujud komitmen kontrak politik.
Jika disimak dari ilustrasi diatas maka kita melihat sebuah realitas politik yang sarat dengan muatan politik transaksional, bahkan menghilangkan esensi demokrasi yang sehat dan bermartabat. Hampir semua fase dan ruang pergerakan politik identik dengan praktek politik uang, sehingga kita tidak asing lagi dengan istilah2 serangan fajar, sistem satu komando, formulasi penggalangan 50 % + 1 (satu penggalang harus menggalang minimal 51 % suara ditiap TPS)
Sebagai orang yang juga pernah ikut terlibat dalam pensuksesan Calon Walikota/Wakil Walikota Palembang selama 2 kali Pilkada yang dipilih oleh DPRD serta 4 kali Pilkada langsung, maka dari beberapa pengalaman sebagai pendukung dari kandidat walikota/wakil walikota Palembang, maka kesimpulan saya adalah bahwa mesin politik jalur birokrasi ternyata sangat efektif untuk strategi penggalangan suara pemilih, karena dengan kekuasaan relatif mampu mengkondisikan persepsi dan pilihan masyarakat untuk menggiring mereka memilih kandidat yang mendapat dukungan birokrasi.
Pertanyaannya ! Bagaimana peluang para kandidat dalam situasi politik “Ranah Tak Bertuan” ? karena dengan terjadinya transisi kekuasaan dari pejabat Walikota Definitif ke Pejabat Walikota Sementara dengan tenggang waktu lebih kurang 1 tahun, maka dapat terjadi perubahan konstelasi politik yang cukup signifikan.
Baca juga: Didik Gatot Subroto Calon Wali Kota Batu Serahkan Formulir ke Ketua Tim 9
Disinilah peran Pejabat Kepala Walikota yang bisa memainkan ritme politik di Kota Palembang. Dengan kewenangan dan kekuasaannya, maka bisa saja akan terjadi reposisi berbagai jabatan strategis dilingkungan pejabat birokrasi, dari tingkat pejabat eselon hingga pejabat dilapisan bawah, dan banyak alibi serta alasan bagi Pejabat Walikota baik alasan teknis maupun non-teknis untuk melakukan kebijakan tersebut.
Lantas siapa yang paling diuntungkan secara politis dengan masa transisi kekuasaan ini ? Tentu saja kekuasaan sentral tertinggi, yakni pemerintah pusat cq. Kementerian Dalam Negeri.
Berdasarkan data yang penulis catat ada 415 Kabupaten, 1 Kabupaten Adminstratif, 93 Kota, 5 Kota Administratif, serta 38 Provinsi.
Artinya ada 552 Daerah yang akan dipimpin oleh Pejabat Kepala Daerah sementara, yang kesemuanya nyaris merupakan produk pemerintah pusat, hingga tahun 2024 untuk memilih kepala daerah baru yang definitif.
Pertanyaan lagi, apakah Pejabat Kepala Daerah (Gubernur/Bupati/Walikota) bisa membuat kebijakan untuk melakukan rekomposisi dan restrukturisasi para pejabat daerah setempat ?
Permendagri Nomor 1 Tahun 2018 pasal 9 ayat (1), antara lain menyebutkan bahwa Pejabat Sementara dapat membuat kebijakan prinsip dengan mendapat persetujuan Menteri Dalam Negeri.
Realitasnya, pejabat dimaksud juga ditunjuk oleh Menteri Dalam Negeri untuk mengisi kekosongan jabatan Kepala daerah Definitif, bukankah secara intermezzo ibarat pribahasa jeruk makan jeruk ? Disinilah muncul persepsi kembalinya Sentralistik Kekuasaan kepada Pemerintah Pusat.
Mari kita kesampingkan dulu dinamika kekuasaan dalam masa transisi politik tersebut, sekarang mari kita membuat prediksi bagaimana berjalannya proses demokrasi dalam Pilkada Kota Palembang.
Jika kita menganalogikan dalam konteks peta politik kota Palembang pada masa transisi (2023 – 2024) sebagai negeri tak bertuan, dengan asumsi bahwa Pejabat Walikota tidak akan memainkan peran politik praktisnya sebagai pembawa misi politik kepentingan pusat kekuasaan, maka dalam perspketif pertarungan politik para kandidat Walikota & Wakil Walikota Palembang akan semakin terbuka dan kompetitif.
Issue mesin politik birokrasi akan dikuasai incumbent dapat diabaikan, dan disisi lain semangat kompetisi para bakal calon akan semakin tinggi. Mengapa penulis beranggapan demikian ? karena praktis ada masa kevakuuman mesin birokrasi bergerak atas dasar komando Kepala Daerah yang akan ikut lagi dalam kontestasi Pilwako.
Apalagi H. Harnojoyo yang telah memegang tampuk pemerintahan kota Palembang 2 Periode, yang artinya tertutup peluang untuk mencalonkan diri kembali. Diposisi lain pendampingnya Wakil Walikota saat ini Fitrianti Agustinda, juga akan terputus mata rantai kendali kekuasaannya saat berakhir jabatan pada Bulan September 2023, meskipun digadang-gadang sebagai salah satu kandidat dengan elektabilitas yang cukup tinggi berdasarkan hasil berbagai survey Lembaga yang cukup berkompeten, bersama dengan rating yang saling beriringan dengan Ratu Dewa (dengan catatan bahwa Ratu Dewa akan fight utk ikut dalam kontestasi Pilwako), serta juga beberapa kandidat lain yang sangat potensial seperti H. Nasrun Umar, Yudha Pratomo, Akbar Alvaro, H. Zainal Abidin, H. Ahmad Zulinto, H. Basyaruddin Ahmad, H. Sinta Raharja serta munculnya beberapa kandidat dari para aktifis (lebih cenderung melalui jalur Independen), antara lain Charma Afrianto, Yan Hariranto, dan figur lain yang saat ini belum menampakkan diri dengan alasan strategi politik.
Baca juga: Layak Jadi Gubernur, Maxi Rondonuwu Mampu Bawa Sulut Lebih Maju
Maka kesemarakan Pilwako Palembang akan semakin terasa nuansa dinamis dan terbuka medan pertarungannya.
Saya mengikuti secara intens perjalanan kontestasi politik pada Pilwako Palembang, sejak era Alm. Bapak H. Husni (Pilwako tahun 1998) , kemudian Bapak H. Eddy Santana Putra ( Pilwako tahun 2003 dan 2008), Alm. Bapak H. Romi Herton (Pilwako tahun 2013), Bapak H. Harnojoyo (Pilwako tahun 2018), dan kebetulan saya mendapat kehormatan diikut-sertakan didalam proses suksesi mereka, sebagai salah satu tim pendukung/tim sukses.
Berdasarkan pengalaman di atas, maka sebagai catatan yang menurut saya cukup penting diperhatikan oleh para kandidat yakni :
Punya Interitas untuk membangun personal branding (citra diri);
Punya kekuatan dan kemampuan untuk membangun jaringan mesin politik;
Punya modal politik baik yang sifatnya materialistik maupun koneksitas dukungan Partai Memiliki visi dan misi yang terukur, rasional dan menyentuh rasa keadilan masyarakat;
Memiliki isu kampanye yang up to date, yang mampu menggiring rasa empati masyarakat, antara lain dengan membawa isu-isu perubahan dalam sektor2 pembangunan sensitif yang dinilai mencerminkan keberpihakan kepada masyarakat kecil.
Perlu saya tegaskan, bahwa ini hanyalah berdasarkan asumsi pribadi berkaca dari beberapa pengalaman diatas, namun saya yakin setiap kandidat tel;ah memiliki konsep serta strategi pemenangan Pilwako sendiri.
Dan kita tinggal menunggu siapa yang akan melanjutkan estafet kepemimpinan daerah Kota Palembang di tahun 2024 mendatang, Selamat berjuang, dan salam takzim !
Ir Suparman Romans, Pemerhati Kebijakan Publik Sumatera Selatan
Editor : Redaksi