JAKARTA- Transaksi keuangan mencurigakan Rp35,54 triliun dari oknum pegawai Kementerian Keuangan (Kemenkeu), melibatkan sejumlah perusahan cangkang. Satu orang bisa punya lima hingga delapan perusahaan cangkang untuk memuluskan praktik cuci uang.
Hal itu disampaikan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Ivan Yustiavandana dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Komisi III DPR RI, Rabu (29/03/2023). M“Kami menemukan perusahaan-perusahaan itu adalah perusahaan cangkang yang dimiliki oknum. Sehingga data perusahaan tadi enggak bisa dikeluarkan, atau dipisahkan dari oknumnya tadi,” papar Ivan.
Baca juga: Pengamat: Lewat Alumni UII Connection di MK, Mahfud MD Ingin Paslon 02 Didiskualifikasi
Penjelasan Ivan ini, menjawab Menteri Keuangan, Sri Mulyani yang keukeuh menyatakan transaksi mencurigakan di Kemenkeu hanya Rp3,3 triliun. “Angka Rp35 triliun itu, ditemukan PPATK setelah dikeluarkan entitas perusahaan, (turun) menjadi Rp22 triliun. Lalu dikeluarkan lagi entitas perusahaan yang tidak ada Kemenkeu, lalu dikeluarkan lagi dari entitas yang ada kemenkeu, (turun) menjadi Rp3,3 triliun,” jelas Ivan.
Menurutnya, oknum membuat surat laporan perusahaan yang dikirimkan ke Kemenkeu, hanya satu. Ketika ditelusuri PPATK menemukan pola yang sama di lima hingga delapan perusahaan. Artinya, satu oknum Kemenkeu yang terseret transaksi tak wajar, memiliki saham di 5 hingga 8 perusahaan cangkang.
Baca juga: Bertemu Ketua MA, Mahfud Minta Pasangan Prabowo-Gibran Didiskualifikasi di MK
Sedangkan alasan PPATK mengeluarkan data oknum dan nama perusahaan, menurut Ivan, agar mengurainya lebih mudah. Di mana, data perusahaan cangkang tidak bisa dikeluarkan atau dipisahkan dari list transaksi mencurigakan oleh oknum Kemenkeu. “Misalnya dia menggunakan nama di perusahaan, di aktanya adalah istri, anak, sopir, tukang kebun, dan lainnya. Kalau data ini dikeluarkan, jadilah Rp3,3 triliun,” terang Ivan.
Dalam hal ini, kata dia, PPATK tidak bisa melakukan pembongkaran karena pelaku TPPU biasanya menggunakan modus proxy crime. Yakni, menggunakan tangan orang lain untuk melakukan tindak pidana pencucian uang agar tidak mudah dilacak, alias bersih.
Baca juga: Mahfud MD, Tim Hukum 03 dan 01 Bertemu Petinggi Lembaga Kehakiman Alumni UII, Bahas Sengketa MK?
“Kalau kami keluarkan datanya, kami justru membohongi penyidik. Kami masukkan nama nama perusahaan, berikut oknumnya, di situlah ketemu Rp35 triliun. Kalau dikeluarkan, (nilainya turun) menjadi Rp22 triliun. Kalau dikeluarkan lagi, memang cuma Rp3,3 triliun. Tapi kami tidak lepaskan ini, kami mensinyalir semuanya itu perusahaan cangkang,” kata Ivan.ik
Editor : Redaksi