JAKARTA – Berita tak menggembirakan, yang mana Indonesia menjadi negara terburuk di dunia dalam mengatasi Covid-19.
Hasil survei ini dirilis media ternama Amerika Bloomberg. Mereka menempatkan Norwegia dan Swiss serta Selandia Baru terbaik dalam mengatasi pandemi corona.
Baca juga: Direktur P3S: Pengangkatan 127 ASN di Minut Sudah Prosedural, Jangan Jadikan Komoditas Politik
Menurut Direktur Political and Public Policy Studies (P3S) Jerry Massie sejumlah hal menjadi pemicu hingga Indonesia menjadi terburuk di dunia dalam mengatasi kasus Covid-19.
Pertama Pemerintah Jokowi plin-plan mengambil keputusan bahkan kebijakan tiba saat tiba akal tanpa ada kajian yang komprehensif.
Contohnya PPKM Darurat dan PPKM Level 1-4. Ini tak ada dalam UU Kesehatan Kekarantinaan No 8 Tahun 2016 yang ada hanyalah Karantina di Rumah Sakit, di Rumah, PSBB dan Lockdown. Tapi ini tanpa ada PERPPU ataupun revisi Undang-undang. Tapi menurut pemerintah ini mengacu pada Peraturan Mendagri.
Faktor lainnya kata Jerry, yang mana pandemi ini dijadikan lahan bisnis padahal vaksin di Indonesia dibantu Inggris yang akan menyalurkan 100 juta di seluruh dunia, Amerika 4 juta vaksin moderna, Jepang 2 juta dan negara lainnya.
Selanjutnya jelas peneliti Kebijakan Publik dari Amerika ini, ribuan tabung gas dipalsukan oleh mereka yang ingin mengais keuntungan dibalik penderitaan saudara-saudaranya bahkan obat ditimbun. Belum lagi tuturnya, banyak yang jadi jubir presiden dan jubir Covid-19. Berkaca dari mendiang Preaiden Soeharto jubirnya hanya Moerdiono, bukan semua bicara.
“Sebetulnya ini tugas Kementerian Kesehatan, tapi anehnya di-take over sejumlah kementerian mulai Kementerian BUMN, Kemenko Maritim dan Investasi, Kemenko Perekonomian, Kemendagri dan lainnya,” kata dia.
Belum lagi sebut Jerry, terlalu banyak istilah Covid-19 tanpa grand design yang dipakai misalkan; PPKM Darurat, PSBB Mandiri, Terbatas, New Normal, PPKM Level 1-4 sampai Isoman.
Lebih parah lagi menurut dia, Anggaran Rp1000 triliun lebih tapi hasilnya terburuk di dunia. Coba saja anggaran Rp167 triliun untuk kesehatan, ADD Rp70 triliun dan Sisa Anggaran (Silpa) tahun 2020 sebesar 234,7 triliun digunakan dengan baik maka tak akan separah ini. Menurut IDI ada 598 dokter yang meninggal, hampir 40 Jaksa meninggal, 11 Kepala Daerah, 445 perawat meninggal sampau ratusan tokoh agama.
“Indonesia memang negara agak unik yaitu hobby rapat terbatas, raker, RDP, politik pencitraan sampai settingan politik saat membantu warga. Yang lebih miris terlalu banyak rapat, bayangkan dalam sehari 3-4 kali rapat tapi hasilnya tak jelas. Waktu kita habis dalam rapat dan diskusi,” ujarnya.
Alasannya kasus Indonesia berada pada kisaran 50-ribuan. Bahkan hingga Rabu (28/7/2021), total kematian 30.168 orang.
Lanjut kata Jerry, tercatat kasus selama bulan Juli terjadi lonjakan besar dibandingkan dengan bulan Juni yang mencatatkan 7.913 kasus kematian. Dalam dua minggu belakangan ini, pasien yang meninggal terus bertambah yaitu mencapai 1.000 kasus setiap harinya bahkan lebih. Bahkan pada 27 juli 2021 kematian mencapai 2.069 kasus dalam satu hari.
Baca juga: Pemerintahan Prabowo Diminta Tak Pakai Jasa Buzzer dan Influencer
Kelemahan selanjutnya tuturnya, faktor pemesanan vaksin tak serentak tapi dilakukan secara bertahap. Dari sejumlah kementerian dan tak serentak serta Indonesia memesan 4 jenis vaksin mulai dari AstraZenaca (Inggris), Sinovac (China) sampai Pfizer dan Moderna dari Amerika.
Jerry mencontohkan data Senin (26/7/2021), terdapat 44.728.320 orang telah menerima suntikan dosis vaksin virus corona. Namun baru 18.129.878 orang telah rampung menerima dua dosis suntikan vaksin covid-19 di Indonesia.
Jadi target pemerintah untuk vaksinasi massal tak tercapai. Sebelumnya pemerintah menargetkan total sasaran 208.265.720 orang, tapi saat ini baru menyentuh 21,47 persen dari sasaran vaksinasi yang menerima suntikan dosis pertama. Sedangkan suntikan dosis kedua baru berada di angka 8,7 persen, ini jauh dari target herd immunity yang berada di angka 70 persen. Padahal pandemi sudah terjadi setahun lebih di Indonesia, sangat disayangkan setengah dari target saja belum tercapai, ditambah kini stok vaksin menipis, bahkan diprediksi bakal habis kurang dari sebulan.
“Kita memburu vaksin sinovac waktu lalu, tapi pemerintah China menyebut vaksin ini tingkat evakasinya rendah atau tak layak dikomsumsi. Saya curiga pemerintah China tak menggunakan Sinovac ini,” terangnya.
Padahal kalau diikuti saran konstruktif dari para pakar, peneliti sampai pengamat pada Febuari dan Maret 2020 sudah diingatkan agar Indonesia di-lockdown tapi pemerintah berdalih soal ekonomi.
Lebih disayangkan kata Jerry, ada sejumlah daerah yang ingin memberlakukan lockdown tapi ditolak pemerintah pusat. Saat ini juga Papua berencana lockdown tapi tak dapat izin. Istilah, “Keselamatan Rakyat di atas segala-galanya” itu bagi saya tak berlaku. Konsep kita saat menghadapi bencana tak fokus, searah dan tak sejalan.
Baca juga: Wali Kota Eri Cahyadi Terbitkan SE Peningkatan Kewaspadaan Risiko Penyebaran Virus Mpox
Falsafah Cicero dua ribu tahun silam sudah jelas katanya, yakni tentang bagaimana seoarang.negarawan seharusnya menimbang berbagai persoalan kenegaraan Kesejahteraan rakyat hendaknya selalu ditempatkan di atas segalanya.
“Sejak kasus Covid-19 pertama diumumkan ke publik pada Senin, 2 Maret 2020, Indonesia telah melaporkan 1.155 kasus virus corona dengan 102 kematian dan 59 pasien sembuh. Dan saat itu Tegal, Tasikmalaya sampai Papua akan melakukan lockdown tapi ditolak Presiden den Jokowi. Ini lantaran Presiden mendengar dari pembisik-pembisiknya,” jelas dia.
Jerry pun mempertanyakan, kenapa Malaysia, Singapura, Vietnam, Thailand, Filipina bisa lockdown? Indonesia tak mampu. Mengutip pernyataan Ekonom ternama Indonesia Rizal Ramli, “Pemerintah terlalu pelit mengeluarkan anggaran buat rakyatnya”.
Lebih mengerikan lagi ujarnya, awalnya terjadi pemaksaan vaksin dan pengancaman bak preman. Regulasi yang dikeluarkan, kalau tak divaksin maka tak bisa mengurus administrasi di kantor. Tapi akhirnya terbantahkan oleh pernyataan Kemendagri.
Pandemi Corona di Indonesia ucapnya sudah 1 tahun 4 bulan, kalau tak ada cara yang tepat menghentikan laju penyebarannya barangkali kita akan jadi negara terakhir dalam menangani Covid-19.
Lebih dari itu ungkapnya, faktor paling krusial kenapa angka Covid-19 kita tertinggi di dunia yakni kedisiplinan kita kurang dan kebingungan publik dengan puluhan kebijakan.jr
Editor : Redaksi