JAKARTA (Realita)- Pertumbuhan ekonomi selama dua periode Jokowi berkuasa adalah terendah dibanding era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono bahkan bahkan Soeharto.
Hal ini diungkap Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Prof Didin S Damanhuri dalam acara Seminar Nasional 'Evaluasi 1 Dekade Pemerintahan Jokowi' di Hotel Millenium, Jakarta Pusat, Kamis (3/10/2024).
Baca juga: Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi Dampingi Presiden Joko Widodo Cek Harga di Pasar Dukuh Kupang
"Saya bisa simpulkan, era Pak Jokowi ini adalah era pertumbuhan ekonomi yang paling rendah, dibanding Pak SBY (5,7 persen). Apalagi dibanding zaman Soeharto (7 persen)," kata Didin S Damanhuri.
Prof Didin mengatakan, di era Jokowi, rata-rata pertumbuhan ekonomi hanya 5 persen. Memang cukup unggul ketimbang negara lain, termasuk saat pandemi Covid-19 masuk Indonesia pada 2020 hingga 2021. Kala itu, ekonomi Indonesia terkontraksi ke level minus 2 persen. Negara lain lebih parah, bahkan ada yang minus 15 persen.
"Tetapi kita mempunyai tenaga kerja yang begitu banyak, maka pertumbuhan ekonomi yang 5 persen itu menjadi tidak cukup. Nah pertumbuhan ekonomi yang baik tapi tidak baik dari era sebelumnya, ini punya konsekuensi," jelas dia.
Kata dia, terdapat dua sektor yang harus menjadi perhatian utama jika ingin menumbuhkan perekonomian (Gross Domestic Bruto/GDB) tinggi. Yakni, pertanian dan industri.
"Kalau kita rinci pertumbuhan ekonomi, maka pertanian yang tumbuh bahwa 2020 memang rendah karena Covid-19, dari 1,7 naik ke 1,8 persen (2021). Dan rata-ratanya (pertumbuhan sektor pertanian 2015-2023) adalah 2,85 persen. Lebih rendah pula dari pertumbuhan di zaman SBY yang rata-rata 4,8 persen," ulasnya.
Prof Didin pun mengkritik orientasi GDP, misalnya saja pembangunan infrastruktur secara besar-besaran. "Tapi (hal ini) tidak terkait kepada pemecahan kesempatan kerja maupun peningkatan kesejahteraan, dan sistem politiknya pun sangat tidak mendukung, sangat high cost," ucap Prof Didin.
"Dampak GDP oriented, kesenjangan antar golongan pendapatan, kesenjangan antar wilayah, serta kesenjangan antar sektor," paparnya lagi.
Jelang berakhirnya pemerintahan Joko Widodo, Indef dan Asosiasi Pengusaha Bumiputera Nusantara Indonesia (Asprindo )memberikan beberapa penilaian atas semua kebijakan maupun pertumbuhan ekonomi yang terjadi selama 10 tahun.
Masalah lain yang juga dipaparkan Indef yakni soal ketimpangan yang masih terlihat bahkan cenderung melebar, modal dan kekayaan masih terkonsentrasi pada beberapa kelompok o saja, dan investasi yang ada tidak mendorong penciptaan lapangan pekerjaan.
Baca juga: Wali Kota Eri Dampingi Presiden Jokowi Pantau Harga Pangan di Pasar Soponyono
"Semua itu menimbulkan kekawatiran, dan tidak bisa dibiarkan berlangsung begitu saja. Indonesia harus keluar dari middle income trap," kata Direktur Eksekutif Indef, Esther Sri Astuti.
Hal lainnya yang juga disoroti oleh Esther, adalah bagaimana iklim demokrasi yang kian lama kian tergerus dan praktik KKN yang semakin terang benderang.
"Status indonesia saat ini slow demokrasi. Sehingga, diharapkan dengan adanya diskusi hari ini, bukan hanya akan bisa menjadi evaluasi dan catatan penting, tapi juga diharapkan bisa menjadi dasar kebijakan bagi pemerintahan mendatang," ucapnya lagi.
Sementara itu, Ketua Umum Asprindo, Jose Rizal menyatakan seminar nasioal ini merupakan wujud evaluasi pada kebijakan dan pertumbuhan ekonomi Indonesia.
"Evaluasi itu kerap berkonotasi negatif, padahal evaluasi itu adalah untuk mengukur kinerja positif dan negatif, sejauh mana kita berjalan, dan apakah sesuai dengan rencana kita di awal. Kenapa kita berhasil, kenapa gagal, apa yang harus kita koreksi dan perbaiki untuk perjalanan ke depan," kata Jose Rizal.
Jose menegaskan bahwa selama 10 tahun pemerintahan Jokowi tidak menunjukkan keberpihakannya pada pengusaha pribumi.
Baca juga: Di Depan Paus Fransiskus, Jokowi Banggakan Keberagaman di Indonesia
"Kami dari Asprindo belum merasakan adanya keberpihakan pada pengusaha pribumi selama pemerintahan Jokowi ini. Pemerintah hanya berpihak pada pengusaha besar. Oleh karena itu, kami ingin menggugah dan memberi masukan, bahwa dalam pemerintahan Prabowo kelak, pengusaha pribumi harus menjadi pelaku ekonomi yang dipertimbangkan dan diperhatikan oleh pemerintah," ungkapnya.
Ia pun memaparkan bahwa Asprindo pun siap bersinergi dan mendukung program yang akan dijalankan oleh Prabowo Subianto. Seperti program makan siang gratis, yang bisa diselaraskan dengan program Kampung Industri milik Asprindo.
"Jika diberi kesempatan, kami siap berpartisipasi untuk menyiapkan makan siang gratis. Yang penting pemerintah membuka peluang bagi UMKM, membuka pintu pada pengusaha kecil, bukannya hanya membuka peluang bagi pengusaha yang sudah berskala raksasa," ungkapnya lagi.
Jose Rizal menekankan bahwa ia sangat mengharapkan pemerintah mendatang bisa membuka peluang bagi pengusaha pribumi, yang selama ini telah menjalankan usahanya dengan berbasis pada kearifan lokal, memiliki ketangguhan dan kelenturan dalam berbagai krisis, bahkan di tengah minimnya perhatian pemerintah.
"Saatnya kita mengubah paradigma, dengan menjadikan pengusaha bumiputera sebagai aktor utama dalam perekonomian kita, bukan hanya sekedar penonton," demikian Jose Rizal. Beb
Editor : Redaksi