Ahli Universitas Bhayangkara: Penetapan Tersangka Pelaku UMKM Cacat Hukum!

realita.co
Sidang praperadilan penetapan tersangka pelaku UMKM oleh penyidik Polresta Tangerang, TS dan M kembali digelar Pengadilan Negeri Tangerang, Kamis (23/12/2021).

JAKARTA (Realita)- Sidang praperadilan penetapan tersangka pelaku UMKM oleh penyidik Polresta Tangerang, TS dan M kembali digelar Pengadilan Negeri Tangerang, Kamis (23/12/2021). 

Dalam sidang yang dipimpin hakim tunggal Emy Tjahni Widiastoeti ini, beragenda mendengarkan keterangan saksi dari pemohon dan termohon. LQ Indonesia Law Firm selaku kuasa hukum pemohon, menghadirkan saksi ahli Dwi Seno Widjanarko. 

Baca juga: Gugatan Ditolak, PT Sapta Permata Terancam Dipolisikan

Menurut advokat yang juga Ketua LQ Indonesia Law Firm, Alvin Lim, penetapan tersangka kliennya menurut saksi ahli pidana itu tidak sah. 

"Saat ditanyakan apakah akibat hukum apabila penetapan tersangka dilakukan dengan proses hukum yang melanggar hukum acara pidana, saksi ahli menjawab 'proses penegakan hukum, due process of law, yang melawan hukum acara pidana akan menyebabkan, penetapan tersangka cacat hukum'," ujar Alvin kepada wartawan Kamis (23/12/2021). 

Sesuai pernyataan ahli, kata Alvin penetapan tersangka adalah kesatuan dari 

due process of law dengan proses penyidikan. Sebab, KUHAP dibuat untuk menegakkan HAM dan hak konstitusional warga negara yang diatur dalam Pasal 28D ayat 1 UUD 1945 mengenai kepastian hukum yang adil. 

"Sehingga dalam penegakan hukum ada hukum acara pidana yang wajib di lakukan oleh penyidik tanpa melanggar HAM," kata Alvin. 

Adapun dalam sidang, sempat terjadi pembicaraan sengit dan suasana memanas. Ini terjadi ketika pihak Bidang Hukum (Bidkum) Polda Banten menyinggung ahli pidana Universitas Bhayangkara itu yang sempat melihat kertas. 

Dwi Seno pun dengan kata keras dan tegas, merespons denhan menghardik perwira menengah yang mewakili Bidkum, untuk menghargai profesinya. 

Alvin menyayangkan sikap Bidkum Polda Banten yang seakan melecehkan saksi ahli dari perguruan tinggi dimana banyak polisi menimba ilmu. 

"Itu dosen Universitas Bhayangkara Jaya yang berbicara. 'Bhayangkara' itu polisi toh, ketika dosen polisi sudah bilang salah, kenapa oknum anggota Polri masih ngotot? Apa mungkin para polisi ketika kuliah hukum mereka sedang lelah atau kecapean karena nangkap begal payudara sehingga mereka berfantasi dan ciptakan ilmu hukum sendiri, jurus hukum pidana semau gue?," tutur Alvin. 

Sementara, Dwi Seno Widjanarko menilai dalam negara hukum, apabila sebuah proses hukum tidak dilalui dengan proses yang benar, maka itu menjadi sebuah pelanggaran hukum atau melanggar KUHAP. 

Baca juga: Mediasi Gagal, Sidang Sengketa Tanah Rangkah Kidul Lanjut ke Pokok Materi

"Kalau kita berbicara negara hukum tentunya kita akan memiliki grunoren yaitu UUD 45 tentunya tentang berbicara tentang norma hukum dasar yaitu Pasal 28 tentang hukum yang benar, lalu middle-nya adalah akses kepastian hukum, asas keadilan, dan asas kemanfaatan," ujarnya. 

"Apply-nya itu berkenaan tentang KUHAP, apabila melakukan tindakan tindakan di dalam rangka proses hukum tentunya barometernya adalah KUHAP. Apabila SPDP tidak diberikan kepada si tersangka, dan bahkan kepada pihak kejaksaan bagaimana kejaksaan bisa menunjuk jaksa itu untuk memonitor dan mengawasi hukum tersebut," imbuhnya. 

Dengan demikian, kata Dwi Seno, jika tidak ada SPDP yang diberikan atau disampaikan kepada pihak-pihak tersebut, maka proses penegakan hukum menjadi cacat hukum. 

"Apabila senggang waktu 7 hari itu tidak diberikan, 8 hari atau 9 hari maka cacat hukum atau ilegal daripada ilegal hukum tersebut yang kita sebut pelanggaran di dalam negara hukum ini," jelasnya.

"Saya bisa simpulkan apabila proses the proses ablow tidak dilaksanakan, jelas secara formil prapid ini adalah untuk menguji, daripada kebenaran formil apa benar sudah dilakukan sesuai dengan KUHAP, apabila tidak dilakukan dengan KUHAP tentu secara formil ini melanggar KUHAP, maka perkara ini cacat demi hukum," kata dia. 

Diketahui, perkara ini bermula saat TS dan M mengalami dugaan kekerasan oleh oknum polisi di Polresta Tangerang. Saat itu TS dan M dituding melakukan pelanggaran dalam usaha UMKM miliknya.  

Baca juga: Sidang Gugatan Sederhana, PT Dove Chemcos Indonesia Anggap PT Sapta Permata Buat Kesepakatan Sepihak

Namun menurut Alvin, petugas malah melakukan pemerasan dengan adanya upaya tawaran damai kepada TS dan M. 

"Klien mengadu bahwa dia sudah tiga kali menjadi korban dugaan pemerasan.

Kenapa saya bilang dugaan pemerasan? Ya jadi klien saya ini sudah pernah dilaporkan polisi sebelumnya, ya jadi bekingannya di belakangnya sama, oknum nya sama, di situ tapi dia menggunakan orang lain seolah konsumen," ujar Alvin. 

Namun saat memberikan sejumlah uang dengan nominal ratusan juta sebanyak dua kali, lanjut Alvin, petugas malah menaikkan perkara TS dan M saat tidak diberikan untuk yang ketiga kalinya. 

"Nah di dalam yang ketiga ini ketika mereka datang ke saya, saya bilang yang namanya masyarakat itu tolong jangan ikut yang seperti itu karena memberikan uang damai ke oknum itu gratifikasi, jangan saya bilang.

Lawan saja secara proses hukum yaitu ajukan prapradilan, kita mengikuti proses hukum sesuai undang undang dimana di atur Pasal 77 ayat a itu jelas jadi kita lawyer kita ikutin proses hukum, kita nggak main barbar, kita nggak main kekerasan," tandasnya.kik

Editor : Redaksi

Politik & Pemerintahan
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru