SURABAYA (Realita)- Tiga saksi yang dihadirkan dalam perkara dugaan korupsi BOP Covid-19 di Bojonegoro kembali ungkapkan adanya intimidasi saat di penyidikan. Bahkan mereka dipaksa untuk membuat surat pernyataan yang formatnya telah disiapkan jaksa penyidik Pidana Khusus (Pidsus) Kejaksaan Negeri (Kejari) Bojonegoro.
Ketiga saksi yang dihadirkan oleh tim penasehat hukum terdakwa diantaranya bernama Saksi Ainur Rofik, Sekretaris FKPQ Kabupaten Bojonegoro, Syaifuddin, Kortan Margomulyo, Siti Bariyah, Kepala TPQ Al Fatah Bungkul, saksi juga sebagai bendahara di TPQ Al Albar.
Baca juga: Perkara Dugaan Korupsi BOP Covid-19 Bojonegoro, Shodikin Korban Salah Tangkap?
Dihadapan majelis hakim yang diketuai I Ketut Suarta, Syaifudin salah satu saksi menerangkan, pada saat dimintai keterangan kejaksaan, mulai pukul 09.00 Wib sampai 01.00 Wib.
Syaifudin juga menjelaskan, ketika diperiksa, ia diminta untuk membuat surat pernyataan yang ditulis ulang dan draft atau formatnya telah disiapkan jaksa penyidik.
Siti Bariyah didalam persidangan juga menceritakan hal yang sama. Kepala TPQ Al Fatah ini juga mengaku, saat membuat surat pernyataan yang draftnya sudah disiapkan jaksa, sampai ditunggui salah satu jaksa yang bertugas di Kejari Bojonegoro.
Lebih lanjut Siti Bariyah menceritakan, ia diperiksa jaksa penyidik Kejari Bojonegoro tanggal 5 April 2021.
“Waktu itu, saya bersama dengan beberapa orang yang lain diminta untuk membuat surat pernyataan. Kami diminta untuk menulis ulang surat pernyataan yang telah dipersiapkan jaksa,” ujar Siti Bariyah di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Surabaya, Selasa (15/3/2022).
Ketika saya menulis ulang surat pernyataan itu, lanjut Siti Bariyah, kami ditunggui jaksa yang bernama Lina.
“Jaksa ini melihat kalimat yang kami tulis dikertas yang telah dipersiapkan. Jika ada kata-kata yang kami tuliskan dari pernyataan itu tidak sesuai dengan surat pernyataan yang formatnya telah dipersiapkan jaksa, kami diminta untuk menghapusnya dan menyalin kalimat pernyataan yang sama persis dengan pernyataan yang telah disiapkan tersebut,” ungkap Siti Bariyah.
Mengapa Siti Bariyah akhirnya mau menulis pernyataan yang sama persis dengan surat pernyataan yang telah disiapkan jaksa tersebut?Siti Bariyah pun menjawab, jika mereka yang tetap bersikukuh tidak menuruti perintah jaksa, maka tidak diperbolehkan pulang.
“Apa yang saya ucapkan ini benar. Saya tidak berbohong. Bahkan, beberapa jaksa yang mengawasi kami waktu itu, berseru dengan suara lantang, supaya kami menuruti apa yang diminta mereka,”terang Siti Bariyah.
Saat ditanya penasehat hukum terdakwa, apakah ia mengenal sosok Sodikin? Apakah ia juga menyerahkan uang bantuan operasional sebesar Rp. 1 juta itu langsung kepada Sodikin? Atas pertanyaan itu, Siti Bariyah membantahnya. Secara tegas Siti Bariyah menjawab bahwa ia tidak mengenal Sodikin.
Uang bantuan operasional sebesar Rp. 1 juta yang diberikan masing-masing lembaga kepada Koordinator kecamatan (Kortan) dan FKPQ Kabupaten, juga ditanyakan ke Siti Bariyah.
Sarjana S1 Manajemen Pendidikan Islam (MPI) ini mengatakan, bahwa uang sebesar Rp. 1 juta tersebut bukan diambilkan dari dana bantuan yang diterima lembaganya sebesar Rp. 10 juta.
“Kami bersedia memberikan bantuan operasional sebesar Rp. 1 juta itu karena merasa terbantu. Besarnya uang juga dari kesepakatan bersama,”ujar Siti Bariyah.
Selain karena terbantu, Siti juga mengatakan, bahwa uang bantuan yang diberikan ke kortan itu, juga akan dipakai untuk pembinaan guru-guru ngaji di Kecamatan Margomulyo.
Lalu, darimana sumber dana uang bantuan operasional yang diberikan lembaga pimpinan Siti Bariyah tersebut?
Siti Bariyah kembali mengungkapkan, dilembaga TPQ yang ia pimpin, ada kegiatan amal dari para siswa.
“Kami menyebutnya Jumat Beramal. Pada hari Jumat inilah, seluruh siswa di TPQ Al Fatah melakukan kegiatan amal dengan cara menyisihkan uang mereka untuk diberikan ke TPQ Al Fatah,” ungkap Siti Bariyah.
Usai mendengar kesaksian para saksi yang dihadirkan dipersidangan ini, Pinto Utomo salah satu tim penasehat hukum terdakwa Sodikin menyatakan, pemeriksaan yang dilakukan jaksa penyidik Pidsus Kejari Bojonegoro, yang melakukan pemeriksaan mulai pukul 09.00 Wib sampai 01.00 Wib tidak wajar.
“Baru kali ini saya mendengar ada model pemeriksaan seperti itu. Ini sangat kita sayangkan,”aku Pinto Utomo.
Seharusnya, kata Pinto, yang wajar itu adalah pemeriksaan dilakukan sesuai jam kerja. Dan terlihat sekali jika jalannya pemeriksaan sangat dipaksakan.
“Banyak saksi yang mengatakan, bahwa mereka diperiksa sangat lama, karena dipaksa untuk mengakui fakta-fakta yang diminta jaksa, makanya sampai malam,”tandas Pinto.
Para saksi, lanjut Pinto, sebenarnya banyak yang tidak setuju dengan apa yang sudah diarahkan jaksa, karena para saksi itu tahu, jika yang dinyatakan jaksa tersebut tidak benar.
“Karena sudah capek dan lelah, ditambah dengan intimidasi yang mereka terima, maka para saksi itu bersedia mengakuinya dan BAP dibuat ditengah paksakaan” jelas Pinto.
Masih menurut Pinto, dari saksi-saksi terbaru yang dihadirkan pada persidangan ini kembali terungkap, bahwa lembaga-lembaga penerima bantuan, ketika diperiksa, tidak diketik dan tidak ditanya, namun disuruh membuat surat pernyataan yang format atau draf-nya sudah dipersiapkan jaksa penyidik.
“Jika mengutip komentar ahli dari Unair, I Wayan Titip Sulaksana yang menyatakan bahwa pemeriksaan atau pembuatan BAP yang dibuat dengan cara paksa itu melanggar hukum dan bisa dibatalkan,”terang Pinto.
Hal aneh lain yang juga dikritisi Pinto Utomo adalah instansi Kementerian Agama (Kemenag) dengan Pemerintah Daerah (Pemda) Bojonegoro adalah instansi vertikal.
“Artinya, Pemda Bojonegoro tidak mempunyai hak untuk memerintahkan institusi Kemenag atau Departemen Agama (Depag) Kabupaten Bojonegoro,”ujar Pinto .
Baca juga: Perkara Dugaan Korupsi BOP di Bojonegoro, Dua Ahli Sependapat Tentang Kerugian Negara
Ini lucu dan aneh, lanjut Pinto. Pemda Bojonegoro memberikan surat edaran kepada Kemenag Bojonegoro yang isinya ada potongan dan disuruh mengusut. Kepentingannya apa?,”tanya Pinto.
Johanes Dipa Widjaja, salah satu penasehat hukum terdakwa Sodikin menambahkan, banyaknya keterangan saksi yang sudah dihadirkan dipersidangan dan mengungkap adanya intimidasi, pemaksaan pembuatan surat pernyataan, bukanlah sebagai cara corruptor fight back.
Lebih lanjut Johanes Dipa menjelaskan, sebagai institusi negara, penyidik Pidsus Kejari Bojonegoro, diberi kewenangan melakukan upaya paksa dan lain sebagainya, termasuk pemanggilan saksi.
Namun, ketika melakukan pemeriksaan, harus profesional dan berdasarkan undang-undang serta memperhatikan prinsip-prinsip hukum yang berlaku.
“Perolehan alat bukti yang dilakukan dengan cara melawan hukum, tidak dibenarkan, termasuk melakukan pemeriksaan hingga pukul 01.00 Wib,” jelas Johanes Dipa.
Apakah memperoleh alat bukti dengan cara seperti itu, lanjut Johanes Dipa, diperbolehkan undang-undang? Apakah itu wajar? Apakah itu patut?.
“Yang menjadi pertanyaan saya, saksi yang diperiksa hingga pukul 01.00 Wib apakah tidak kelelahan? Bagaimana bisa, seseorang yang dalam posisi kelelahan, dapat memberikan keterangan secara obyektif? Apalagi, saat pemeriksaan, yang dimintai keterangan tersebut dalam tekanan dan paksaan,” tanya Johanes Dipa.
Secara psikologis, sambung Johanes Dipa, orang tersebut sudah tidak mungkin memberikan keterangan secara obyektif karena kelelahan.
“Jadi, keterangan yang diberikan orang tersebut dalam kondisi yang tidak bebas, apalagi dalam kondisi yang sehat, maka keterangan dari orang itu tidak layak dan tidak patut untuk dijadikan alat bukti,”tegas Johanes Dipa.
Johanes Dipa melanjutkan, ada istilah non self incrimination yang artinya perolehan alat bukti yang didapatkan dengan cara-cara melawan hukum, tidak mempunyai kekuatan hukum sebagai alat bukti.
Johanes Dipa kemudian memberikan ilustrasi, sebuah pohon yang beracun pastilah menghasilkan buah yang beracun pula.
“Maksudnya adalah, jika proses memperolehnya sudah tidak benar, apalagi dengan cara melawan hukum, hasilnya pun patut diragukan kebenarannya,” ujar Johanes Dipa.
Johanes Dipa kembali menjelaskan, bahwa kebenaran materiil yang harus diungkapkan. Dan dari saksi-saksi yang dihadirkan sampai detik ini menyatakan, bahwa mereka masih ada rasa ketakutan, rasa trauma untuk mengungkapkan, karena orang-orang yang mereka hadapi adalah orang-orang yang mempunyai kewenangan.
Oleh karena itu, tim penasehat hukum Sodikin berharap, majelis hakim melihat bentuk-bentuk intimidasi dan perolehan alat bukti yang dilakukan jaksa penyidik dengan cara-cara tidak patut dan melawan hukum ini, sebagai sebuah pelanggaran hukum.
“Majelis hakim hendaknya dapat bertindak arif dan bijaksana serta memberikan keadilan untuk Sodikin,”papar Johanes Dipa.
Baca juga: Saksi BOP Bojonegoro Dipaksa Buat Pernyataan, PH: Itu Bertentangan Dengan Hukum Acara
Berdasarkan penuturan para saksi yang dihadirkan dipersidangan, Johanes Dipa mengatakan, tidak mengenal Sodikin dan tidak pernah memberikan uang kepada Sodikin.
Para saksi juga mengaku bahwa sudah ada himbauan dari Sodikin, supaya tidak memotong bantuan yang diberikan kepada lembaga-lembaga penerima bantuan.
“Jika dilapangan ada oknum yang masih melakukan pemotongan, apakah hal itu kesalahan Sodikin? Apakah Sodikin juga harus bertanggungjawab, padahal Sodikin tidak pernah mengetahui hal itu?,”tanya Johanes Dipa.
Terkait pernyataan coruptor fight back, Johanes Dipa pun menantang jaksa penyidik dan jaksa-jaksa yang telah melakukan intimidasi untuk membuka CCTV yang ada diruang penyidikan atau tempat dimana para saksi itu diperiksa.
“Kalau tidak benar, silahkan laporkan. Kan mereka ini sudah tahu konsekuensinya, kalau memberikan keterangan tidak benar dibawah sumpah, ada ancaman pidananya,” kata Johanes Dipa.
Sampai saat ini, sambung Johanes Dipa, jaksa tidak melakukan hal tersebut, sehingga patut diduga, tindakan pengancaman dan intimidasi yang telah dilakukan kepada para saksi tersebut adalah benar adanya.
Perkara dugaan korupsi yang telah menjadikan Sodikin sebagai terdakwa ini menurut Johanes Dipa terlihat sekali janggal dan sangat dipaksakan hingga harus mengorbankan Sodikin. Mengapa?
Johanes Dipa menerangkan, sampai pada persidangan ini, keterlibatan dua perusahaan penyedia alat-alat prokes, tidak pernah disentuh dan diungkap.
“Keterlibatan FKPQ wilayah pun juga tidak disinggung, apalagi sampai dihadirkan dipersidangan, padahal FKPQ wilayah inilah yang mengatur pembelian alat prokes kepada dua perusahaan penyedia alat prokes, padahal dua perusahaan itu adalah perusahaan kontraktor,” tegas Johanes Dipa.
Pengaturan pembelian alat prokes di dua perusahaan tersebut menurut Johanes Dipa, sangat menarik untuk diungkap sebab berpotensi merugikan keuangan negara.
“Dua perusahaan itu yang menjadi vendor pembelian alat prokes itu ada. Kemudian, harga alat prokes yang dijual kedua perusahaan itu sama persis,”ulas Johanes Dipa.
Johanes Dipa kembali menegaskan, dalam perkara ini, ia sangat senang dan mengapresiasi kinerja Kejari Bojonegoro, apabila melakukan pemeriksaan dengan sebenar-benarnya bukan dengan cara-cara melawan hukum.
Terkait tindakan jaksa penyidik yang menurut keterangan saksi-saksi telah melakukan intimidasi, memaksa saksi-saksi membuat surat pernyataan dimana draf-nya sudah dipersiapkan jaksa, Johanes Dipa mewakili tim penasehat hukum terdakwa Sodikin menjelaskan bahwa surat laporan kepada Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Jawa Timur, Asisten Pengawasan (Aswas) dan Asisten Pembinaan (Asbin) Kejati Jatim telah masuk dan telah diterima.
Untuk masalah pemeriksaannya, akan dilakukan secara internal kejaksaan, memeriksa jaksa-jaksa yang dilaporkan tersebut.ys
Editor : Redaksi