Drugs vs Orang Tua, Ini Pengakuan Joyce Djaelani Gordon

BOGOR (Realita)- Memang banyak para orang tua yang tidak memahami drugs atau narkoba secara umum, apalagi mengenal jenis narkoba sintetik yang marak saat ini. Sebagian orangtua yang dulu pernah bandel sekalipun, tidak memahami drugs jenis baru yang mengancam putra-putrinya. Alkohol, ganja mereka mungkin tahu, tetapi apa itu Sinthe?.

Joyce S. H. Djaelani Gordon, seorang wanita hebat pendiri Yayasan Harapan Permata Hati Kita (Yakita) di Ciawi Bogor, Jawa Barat Menjelaskan, meski keluarga tidak tahu soal drugs,  bukan berarti drugs ini tidak bisa merenggut kesehatan jiwa anaknya, membuat otak anak rusak secara permanen. sayangnya, itu yang sering terjadi," ucap Joyce yang juga lulusan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Sabtu (11/6/2022).

Baca Juga: Miliki 29 Poket Sabu, Nonok Hadi Santoso Divonis 7 Tahun Penjara

 

 

Masih sambung penjelasannya, orang tua yang tahu bahwa anaknya pakai shabu, dengan gaya milenial mungkin mengatakan “Papa dulu juga pakai ganja. Kamu kalau coba-coba ganja saja nggak apalah.” Tidak disadari oleh ayah gaya milenial ini bahwa ganja jaman dahulu tidak sama dengan ganja milenial, karena ganja yang saat ini sudah merupakan hibrida yang bisa tiga atau  lima kali lebih kuat dari ganja kering di jaman dahulu. 

 

Banyak mereka yang membawa anak-anaknya ke tempat dokter, pemulihan atau rehabilitasi. Sebagian akan mengatakan, “Tolong rawat anak saya. Saya menginginkan dia tetap sekolah”. Hanya untuk menemukan, bahwa rawat jalan tetap memungkinkan mereka memakai dan memakai lagi. Obat dokter pun dicampur dengan drugs jalanan. Perilaku anak tidak berubah sama sekali. Disupervisi sekalipun, betapa orangtua tidak tahu ketika anak melipir ke WC ketika di Mall di bawah supervisi orangtuanya hanya untuk mengambil ‘pesanan’ lewat SMS," ungkapnya. 

Mereka pun dibawa ke perawatan inap atau rehabilitasi. Namun, tak jarang orang tua takut-takut membawa mereka masuk rehabilitasi. Diantaranya adalah ketakutan bahwa si anak akan membenci mereka seumur hidup. Atau, mereka berharap orang lain tidak akan pernah tahu, sehingga si anak bisa sesewaktu ditarik karena ‘nenek dari luar kota mau berkunjung, dan nanti kalau tahu cucu kesayangannya masuk rehabilitasi, bisa-bisa dia serangan jantung atau karena ada ‘lebaran’ atau ‘natal’ dan takut keluarga besar akan tahu anak mereka masuk pemulihan.

Atau, orangtua bertanya kepada anaknya yang bermasalah dengan drugs, apakah dia mau masuk rehabilitasi, dan mengikuti kemauan anaknya. Meski ketika si anak ditanya, ia berada dalam kondisi mabuk. Ini bisa diumpamakan menghadapi keluarga yang anggota keluarganya menolak operasi usus buntu.

Suara siapa yang harus didengarkan? Pasien atau si dokter bedah? Sayangnya, orangtua yang tidak memahami kerap menganggap lebih tahu anaknya dan takut dibenci anaknya. Operasi usus buntu pun gagal karena anak pun dibawa pulang. Anda sudah tahu akibatnya, tentu ini pun kerap yang terjadi pada pecandu," ungkap Joyce yang mengerti tentang adiksi ini. 

Overdosis, kematian akibat kecelakaan di bawah pengaruh drugs, melakukan tindakan mematikan saat di bawah pengaruh drugs, kecelakaan yang melumpuhkan, atau kerusakan otak permanen yang menyebabkan ketidakwarasan permanen.

Joyce menerangkan, kalaupun masuk ke rehabilitasi, kerap orangtua tidak punya waktu untuk mendalami urusan penyakit anaknya. Seolah meletakkan mobil di bengkel, berharap keluar bengkel, si mobil langsung sempurna. Padahal, mobil dengan kelemahan tertentu, akan mempunyai kelemahan di titik yang sama berulangkali karena supirnya juga kan tidak berubah," ulasnya lagi. 

Dan keluarga seharusnya perlu banyak mempelajari jurus-jurus pamungkas merawat mobil sementara mobil berada di bengkel dan setelah pulang, untuk menghindari kerusakan yang sama. Begitu juga ketika mereka memasukkan anak mereka di dalam pemulihan. Mereka perlu belajar, agar dapat memastikan anak mereka bertahan bersih dan berkembang ke arah yang lebih baik. 

Seringkali orang tua menanyakan hal yang wajar sebetulnya. Anak saya pasti sembuh tidak? Atau, anak saya bisa sembuh atau tidak? Ini adalah pertanyaan yang tidak mudah dijawab. Apakah sembuh diindikasikan oleh, hasil test negatif semata? Hmm, itu mudah. Kunci di kamar, dan seminggu kemudian pun hasil test akan pasti dijamin negatif. Namun tidak seperti itu maksudnya, bukan?

Baca Juga: Polres Nganjuk Ungkap Curanmor, Diamankan saat Akan COD melalui Media Sosial

Atau, apakah setelah upaya rehabilitasi atau pemulihan, anak itu akan sembuh dalam arti, ia tidak ingin pakai lagi, tegar mengatasi masalah hidup, berubahnya kepribadian, cara berpikir, teman-teman, sifat, dan lain-lainnya? 

Cilegon dalam

Dan apakah, masa entah sebulan, tiga bulan, enam bulan atau setahun di rehabilitasi bisa mengubah anak yang tidak tegar menjadi mendadak tegar mengatakan tidak, bila sementara keluarga juga takut, merasa bersalah, dan ujung-ujungnya sulit mengatakan tidak kepada anaknya yang mungkin manja dan selalu memperoleh semua yang dimintanya tanpa harus bekerja keras?

Mampukah program apapun menganulir didikan keluarga selama belasan tahun dalam waktu singkat. Sementara ketika pulang, semua pelajaran diisolir, terlupa, dan keluarga kembali ke cara-cara sebelumnya?

Dan bila seseorang di diagnosa dengan penyakit diabetes, adakah istilah ‘sembuh’ sebetulnya? Bukankah penyakit kronis, sebagaimana halnya adiksi, hanya bisa dikendalikan, bukan disembuhkan? Sebagaimana orang dengan diabetes, dia tidak akan pernah dinyatakan ‘sembuh’ dari diabetes?

Begitu pula dengan kondisi darah tinggi. Dan bisakah kita mengatakan seseorang sembuh bila ia harus memakai obat seumur hidup? Tentu tidak. Penyakitnya dikendalikan oleh obat dan perubahan gaya hidup. Begitu juga halnya dengan adiksi.

Namun tidak ada orang yang betul merasa sehat bila setiap hari ia harus minum obat. Karena ini juga selalu menjadi pengingat bahwa kondisinya fatal bila berhenti minum obat, dan bahwa ia ‘sakit’. Dan obat, kerap pun menjadi racun yang mengakibatkan kerusakan lain bila dicampur-campur, tidak diawasi dan tidak berhati-hati.

Orangtua yang lainnya, menganggap bahwa bila mengawinkan anaknya, maka anaknya akan menjadi orang yang bertanggung jawab. Padahal, bila mengurus diri sendiri masih sulit, apakah bisa diharapkan mengurusi anak orang? Seringkali perceraian terjadi, kekerasan di dalam rumah tangga, atau justru suami istri bersama-sama memakai drugs. Cucu, akhirnya diurus oleh orangtua mereka dan mereka tetap harus membiayai rumah tangga anak.

Baca Juga: Selama Bulan Juli 2024, Polres Kotabaru Berhasil Ungkap Dua Kasus Penyalahgunaan Narkoba

Hambat Pertumbuhan Mental

Orangtua juga kerap tidak menyadari, selama anak memakai drugs apapun, pertumbuhan mental mereka terhambat. Seseorang yang memakai drugs dari usia 15 tahun, akan tetap bersikap seperti anak usia 15 tahun di usianya yang ke 25 bila tidak berhenti menggunakan drugs hingga di usia 25 tahun.

Masuk ke perawatan, panti rehabilitasi, harus membantu mengejar ketertinggalan perkembangan mental dan emosional anak yang berusia 25 tahun ini yang masih mempunyai sifat dan emosi anak usia 15 atau 16 tahun. Kehilangan waktu 10 tahun dalam masa perkembangan, tidak bisa dikejar dalam waktu sebulan, tiga bulan, enam bulan. Karena bukankah jarak antara titik A ke titik B, sama dengan jarak antara titik B ke titik A?

Sore ini seorang ibu berkonsultasi untuk memulihkan anaknya yang kecanduan gorilla, dan berharap, anaknya bisa sembuh.Menjelaskan ini tidaklah mudah karena struktur pemahaman orangtua akan adiksi belum ada.

Yang pasti ancaman kerusakan otak permanen pada anaknya akibat pemakaian Sinte yang dipakai anaknya tidak bisa di bayangkannya. Ancaman anak masuk penjara tidak dibayangkannya, kecelakaan di bawah pengaruh drugs dan alkohol tidak menakutkannya, karena bukankah itu baru gambaran resiko?

Namun ia lebih bisa membayangkan kemarahan anaknya bila dimasukkan ke perawatan apapun. Dan pada itu, dia takut.

Begitulah adiksi menang dan menang lagi. tom

Editor : Redaksi

Berita Terbaru