Literasi Bangsa Indonesia Dicap Paling Rendah, Dekesda Bakal Obral Buku Murah

SIDOARJO- Tahun kedua pandemi Covid-19 menjadi titik kritis bagi pendidikan di Indonesia. Persoalan literasi bangsa dipastikan kian parah di mata dunia. Apalagi, studi terbaru mengungkap, sebanyak 124 juta anak dinyatakan gagal menguasai ketrampilan dasar membaca. Situasi global inilah yang dijadikan ceruk Dewan Kesenian Sidoarjo (Dekesda) membuat terobosan pameran buku dan obral buku murah bertajuk _LiterArt Fest._

Pameran buku _LiterArt Fest_ merupakan sebuah upaya menciptakan ekosistem penulisan dan perbukuan yang sehat di wilayah Kabupaten Sidoarjo. Ruang pertemuan antara masyarakat umum, penulis, penerbit, komunitas literasi, komunitas sastra, dan institusi-insitusi yang berkaitan dengan perbukuan. Gerakan kolaborasi dari akar rumput yang terajut karena kepedulian membangun negeri, termasuk kaitannya dalam pemulihan ekonomi.

Baca Juga: Sukses Akselerasi Mutu Literasi Ribuan Sekolah, GSMB Nasional Tahun ke-6 Dibuka

Pameran buku _LiterArt Fest_ memiliki peran dan makna sangat penting dalam situasi seperti sekarang ini. Beberapa alasannya patut kita renung-pikirkan bersama-sama. 

Dampak Penutupan Sekolah

Tak bisa dipungkiri, kebijakan pembelajaran jarak jauh (PJJ) membuat waktu belajar anak sekolah cenderung berkurang. Di sisi lain, godaan bermain yang diterima jauh lebih tinggi. Akibatnya, minat baca mereka turut menurun. Hasil studi Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO) mencatat, jumlah anak gagal menguasai keterampilan dasar membaca meningkat drastis selama pandemi. 

Jika sebelumnya jumlah anak sulit memahami bacaan mencapai 460 juta, tahun 2020 angkanya melonjak jadi 584 juta. Ini artinya, dalam kurun satu tahun ada penambahan sebanyak 124 juta anak kehilangan pembelajaran _(learning loss)_.

Sekarang ini, risiko karena rendahnya mutu dan kualitas pendidikan mungkin belum tampak. Namun, dampaknya baru akan terasa dalam jangka panjang. Utamanya saat mereka menjajaki dunia kerja. Ketrampilan dan kemampuan produktivitasnya bakal diuji. Hasilnya pun akan berimbas pada kondisi perekonomian negara.

Dalam laporan bertajuk “Janji Pendidikan Indonesia”, Bank Dunia memberikan rapor merah terhadap kemampuan membaca pelajar usia 15 tahun ke bawah. Hanya 30% siswa yang diprediksi mencapai skor minimum kemampuan membaca dalam _Programme for International Student Assessment_ (PISA). 

“Penurunan (kemampuan membaca) tersebut dapat menyebabkan hilangnya nilai pendapatan seumur hidup setara dengan US$ 151 miliar atau 13,5% dari PDB 2019,” tulis Bank Dunia dalam laporannya.

Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) tampaknya tak mau mengalami kerugian yang lebih besar lagi. Pemerintah pun condong mengikuti seruan UNESCO untuk mengaktifkan lagi pembelajaran di sekolah. Oleh karenanya, pemerintah begitu ngotot ingin membuka sekolah serentak pada bulan Juli 2021 nanti. 

Padahal, rasio kepositifan _(positifity rate)_ Covid-19 di Indonesia masih tergolong tinggi, yakni 12%. Besarnya masih di bawah standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang menetapkan _positify rate_ maksimal 5%. 

Kondisi inilah yang memicu perdebatan tentang cara menyeimbangkan antara risiko pembelajaran dan ancaman kesehatan. Ditambah, cakupan vaksinasi yang tergolong rendah dan tes yang masih belum optimal.

Literasi Makin Parah

Potret literasi bangsa Indonesia dipastikan kian buram. Ini karena pemerintah dianggap masih belum mampu memperbaiki kualitas pendidikan, termasuk akses literasi. Terbukti tingkat literasi Indonesia selama bertahun-tahun selalu berada di posisi paling rendah sedunia. Fakta ini tercermin pada survei PISA yang diselenggarakan _Organisation for Economic Co-operation and Development_ (OECD).

Hasil studi OECD periode survei 2009-2015 menunjukkan Indonesia konsisten berada di urutan 10 terbawah. Skor yang diperoleh selalu berada di bawah rata-rata. Sementara survei tahun 2018 hasilnya juga mengecewakan. Tak ayal, ranking literasi Indonesia ditempatkan pada urutan ke 74 dari 79 negara di dunia, alias peringkat keenam dari bawah. 

PISA meneliti remaja 15 tahun dari negara-negara yang tergabung dalam OECD untuk mengukur kemampuan belajar lewat serangkaian tes. Indonesia sendiri tercatat berpartisipasi dalam studi PISA mulai tahun 2000. 

Temuan data UNESCO 2016 lebih mengenaskan. Minat baca masyarakat Indonesia tercatat hanya sebesar 0,001%. Artinya, dari 1.000 orang Indonesia, cuma ada 1 orang saja yang rajin membaca. Hasilnya, Indonesia menempati peringkat 60 dari 61 negara. Duduk di urutan dua dari bawah, atau hanya berada satu tingkat di atas Botswana.

Riset berlabel _World’s Most Literate Nations Ranked_ yang dilakukan pada Maret 2016 lalu oleh _Central Connecticut State Univesity_ (CCSU) juga menyimpulkan hal serupa. Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke 60 dari 61 negara di dunia soal minat baca. Kalah dari negara tetangga seperti Malaysia, Vietnam, Singapura dan Thailand.

Kondisi memprihatinkan literasi bangsa Indonesia tak hanya dibeber lembaga riset kelas dunia. Data survei 3 tahunan Badan Pusat Statistik (BPS) juga mencatat minat baca anak-anak Indonesia hanya berkisar 17,66 %. Sementara, minat menonton mencapai 91,67%.  Ini sangat ironis. Sebab, kondisinya berbanding terbalik dengan jumlah pengguna internet yang mencapai 132,7 juta orang.

Kebijkakan Pemerintah

Pada tahun 2015, pemerintah mencanangkan sebuah program Gerakan Literasi Bangsa (GLB). Gerakan ini tercantum dalam Permendikbud Nomor 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti. Dalam Permendikbud disebutkan bahwa GLB memiliki tujuan untuk dapat menumbuhkan budi pekerti anak melalui budaya membaca dan menulis (literasi). 

GLB sendiri mengambil model penumbuhan budi pekerti dengan cara seperti menganjurkan setiap siswa untuk membaca selama lima belas menit setiap hari sebelum pelajaran dimulai.

Baru-baru ini, pemerintah juga meluncurkan program Literasi Digital Nasional (LDN). Terobosan ini diinisiasi oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) bersama komunitas Gerakan Nasional Literasi Digital (GNLD) Siberkreasi. 

Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad menilai pemerintah masih belum tanggap perihal literasi. Diakuinya, saat ini memang sarana literasi sudah mulai bermigrasi ke media internet (e-book). Namun, pemerintah seakan tidak melihat jika sebagian besar masyarakat Indonesia masih kesulitan akses karena terbentur kemampuan. 

Maka, agar tingkat literasi bangsa tak terperosok terlalu dalam ke jurang paling dangkal, legislator Partai Gerindra di parlemen pusat ini mendesak pemerintah untuk secepatnya mempermudah akses literasi masyarakat.

Menurutnya, banyak cara yang seharusnya bisa ditempuh pemerintah. Itu seperti halnya menghapus pajak buku agar lebih murah, memperbanyak perpustakaan, bila perlu hingga tiap desa. Makin mudah akses, makin tinggi juga minat literasi publik. Karena pada dasarnya masyarakat Indonesia dinilai punya rasa ingin tahu yang cukup besar.

Sementara itu, Kepala Perpusnas M Syarif Bando punya pendapat berbeda. Rendahnya literasi ditengarai karena selama berpuluh-puluh tahun bangsa Indonesia hanya berkutat pada sisi hilir. Sisi hilir yang dimaksud yakni masyarakat yang terus dihakimi sebagai masyarakat yang rendah budaya bacanya. 

Maka, menurutnya perlu adanya sisi hulu, termasuk peran aktif negara untuk menghadirkan buku-buku bacaan lokal yang kontennya menyesuaikan dengan kebutuhan dan kultur masyarakat Indonesia, dari Sabang sampai Merauke. Sementara, para pemangku kepentingan seperti Bupati, Walikota, dan Gubernur memegang kendali dan bertanggung jawab penuh dalam proses penulisan hingga buku beredar di pasaran.

“Disana (negara) ada eksekutif, legislatif, yudikatif. Ada pula peran para pakar dari akademisi, ada swasta, para penulis dan penerbit,” kata Syarif.

Pameran Buku LiterArt Fest

Baca Juga: Bupati Fauzi, Penyuka Buku-buku Bung Karno

Pemerintah mungkin merasa sudah berusaha keras membangkitkan minat baca bangsa Indonesia dengan berbagai cara, termasuk membuka akses literasi di berbagai pelosok negeri. Namun, sorotan peringkat literasi Indonesia di mata dunia tentu bisa jadi gambaran sekaligus acuan jika masih banyak hal yang harus dibenahi. 

Dekesda pun tergerak untuk beradu ide, gagasan dan program untuk mengambil peran. Melalui Komite Sastra, Dekesda mencetuskan terobosan pameran buku dan obral buku murah yang diberi tajuk _LiterArt Fest_.

Dekesda telah melakukan serangkaian kajian dan pemetaan potensi sumber daya yang ada khususnya di wilayah Sidoarjo. Berikut dengan peluang dan persoalannya. Utamanya terkait keberadaan sastrawan, penulis, dan penerbit buku. 

Saat ini, di Kabupaten Sidoarjo sendiri memiliki lebih dari 20 penerbit dan memiliki lebih dari 100 penulis. Hanya saja, persoalannya, banyak penulis dari Sidoarjo yang mencetak buku ke penerbit luar Sidoarjo.

Ketua Komite Sastra Dekesda sekaligus Ketua Pelaksana Ribut Wijoto mengatakan bahwa pameran buku _LiterArt Fest_ bakal melibatkan beberapa pihak. Pihak yang utama adalah penerbit dan penulis. Sedangkan obral buku murah melibatkan para pedagang buku bekas yang ada di Sidoarjo yang biasanya mereka berjualan via online. 

“Selama ini, mereka sering menjual buku-buku yang sudah tidak ada di toko buku. Jadi pameran ini adalah kesempatan bagi masyarakat untuk mendapatkan buku-buku lama dan langka,” kata Ribut Wijoto.

Libatkan IPNU dan IPPNU

Pameran buku _LiterArt Fest_ dilangsungkan selama tiga hari berturut-turut. Yakni, pada hari Jumat sampai Minggu (18-20 Juni 2021). Seluruh rangkaian acara digelar terpusat di aula dan halaman Sidoarjo Art Center, Dekesda. Tepatnya di Jalan Erlangga Nomor 67 Sidoarjo.

Adapun kegiatan yang disusun diantaranya berisi diskusi penerbitan, diskusi sastra, diskusi literasi, 

musikalisasi puisi, hingga lomba mewarnai. Ada pula tampilan dari Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) dan Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU) Sidoarjo.  

Tidak hanya ihwal ekspresi karya panggung. Tapi, muda-mudi Sidoarjo yang dikenal kental dengan kultur nahdliyin ini juga bakal dilibatkan dalam struktur kepanitaan kegiatan. Tutut serta di dalam setiap acara demi acara. 

Agar esensi dan gelaran pameran sesuai dengan target dan tujuan, Dekesda bakal merangkul sejumlah komunitas sastra, komunitas seni, pegiat sastra, dan pegiat seni. Termasuk pula komunitas literasi dan perpustakaan. Bahkan, pintu kolaborasi bersama instansi pemerintahan maupun pihak swasta juga dibuka lebar.

“Kita akan mengundang instansi pemerintahan, perusahaan swasta, dan pebisnis. Juga toko buku, sekolah, kampus, dan institusi pendidikan. Syukur-syukur mereka bersedia menjadi peserta pameran. Kita sediakan tempat (stan) untuk mereka men-display _company profile_, program, produk, maupun inovasi hasil karya lainnya,” terang Ribut. 

Bukan Pekerjaan Mudah

Memang, bukan pekerjaan mudah membangun budaya gemar membaca di Indonesia. Apalagi, di era sekarang banyak generasi bangsa terpapar media berbasis teknologi sehingga lupa akan keberadaan buku. Perlu ruang gerak fleksibel dan luas dalam mengatasi problem ini. Dibutuhkan kekuatan kolaborasi di segala bidang dan lini.

Maka, sudah sepatutnya pemerintah mengambil peran dengan menyambut gerakan yang tumbuh dari akar rumput seperti pameran buku _LiterArt Fest_ yang digagas Dekesda. Terlebih, dari sinergitas yang terjalin bisa jadi solusi untuk mengikis program literasi pemerintah yang selama ini tidak efektif karena cenderung birokratis.

Sukardi (Plt), Kepala Unit Pelayanan Teknis (UPT) bagi Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) Dinas Sosial Pemprov Jawa Timur mengapresiasi inisiatif Dekesda. Itu karena menurutnya pilar kolaborasi yang terbangun diyakini bisa menciptakan ruang interaksi dan ekspresi baru bagi klien (sebutan bagi penghuni Balai Pelayanan dan Rehabilititasi PMKS, red) binaannya.

“Klien kami memang punya kekurangan. Tapi, masyarakat _kan_ masih banyak yang belum tahu jika di antara mereka juga punya minat dan bakat berkesenian seperti suka melukis dan menulis. Hasil karyanya mungkin bisa dibilang sama bagusnya, bahkan lebih. Ajang ini bisa menjadi ruang ekspresi dan interkasi baru bagi mereka,” ujar Sukardi.

UPT PMKS Dinas Sosial Pemprov Jatim menaruh harapan dari sinergitas yang terjalin ke depannya bisa berkelanjutan. Baik itu dengan Dekesda maupun pihak lain. Sehingga, rantai manfaat _multiplayer effect_ yang terangkai bisa panjang.

“Untuk itu, kami sangat mendukung dan berterimakasih sekali karena sudah diundang langsung oleh rekan-rekan Dekesda. Mewujudkan harapan bukan perkara mudah. Tapi kami yakin, dengan semangat kolaborasi bisa memberi _multiplayer effect_. Minimal bisa membangkitkan rasa percaya diri klien ketika nanti kembali di lingkungan masyarakat,” harap Sukardi.

Kolaborasi Jadi Kunci

Pendidikan merupakan amanah konstitusi yang dimuat dalam pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Upaya mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia memang sudah seharusnya menjadi tugas dan tanggung jawab pemerintah.

Sayangnya, sejak era kemerdekaan hingga saat ini, keseteraan hak memperoleh pendidikan layak dan berkualitas dirasa masih masih jauh panggang dari api. Tak terkecuali perihal akses literasi. 

Presiden Jokowi pada momen Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas) pada 20 Mei lalu menyampaikan pesan penting. Ditegaskan presiden, persoalan literasi adalah kerja besar. Apalagi, mencetuskan Literasi Digital Nasional (LDN) yang berbasis teknologi. Pemerintah tidak bisa bekerja sendirian. Perlu mendapat dukungan dari seluruh komponen bangsa. 

Hematnya, kerja kolaborasi adalah kunci utama dalam mewujudkan asa bangsa Indonesia melek literasi. Maka, jangan pernah lelah berkolaborasi untuk membangun negeri. 

RUMAH PEMBAHARU

Jl. Ki Suryo Jati Utara, Desa Kedungturi, Taman

Sidoarjo - Indonesia

Oleh: Agus A Wicaksono

Editor : Redaksi

Berita Terbaru