LAMONGAN (Realita) - Banyak kasus di lingkungan pendidikan di Kabupaten Lamongan yang terjadi dalam 2 pekan terakhir ini.
Seperti halnya kasus dugaan penganiayaan seorang santri yang belajar disalah satu Madrasah Tsanawiyah (MTs) di Kecamatan Paciran yang saat ini ditangani Polres Lamongan dan pembotakan rambut belasan siswi oleh salah satu oknum guru Bahasa Inggris di SMP Negeri di Kecamatan Sukodadi. Pemerhati Sosial PRAKARSA Jawa Timur (Jatim), Madekhan Ali, menyesalkan hal tersebut.
Baca Juga: Viral! Wanita Gunduli Rambut Wanita Lain, Diduga Selingkuhan Suaminya
Menurutnya, saat ini semakin sulit menemukan sekolah dengan karakter kebudayaan. Drinya juga menganggap Dinas Pendidikan di Daerah masih nyaman sebagai instansi penggerak otonomi daerah.
"Sekolah seperti tidak lagi jadi pusat kebudayaan seperti yang dicita-citakan Ki Hajar Dewantara. Ing ngarso sung tulodo, Ing madya mangun karso, tut wuri handayani". kata pria yang akrab dipanggil Made itu kepada Realita.co. Rabu (30/08).
"Sayangnya Dinas Pendidikan sepertinya gagap mendapati kenyataan ini. Banyak Dinas Pendidikan di daerah masih sangat nyaman dengan statusnya sebagai instansi otonomi daerah. Besarnya jangkauan wewenang dan anggaran di Dinas Pendidikan daerah, mendorong Dinas ini sangat rawan politicking. Disini nasib generasi bangsa ini dipertaruhkan. Anak-anak kita hari ini berada di sekolah yang abai dengan perilaku kesantunan dan keteladanan. Mungkin karena pejabatnya, dari kepala sekolah, pengawas, sampai pejabat di dinasnya lebih kuatir mendapat teguran atasannya masing masing. Pesimis memang kalau saat ini menaruh harapan akan lahirnya manajer sekolah yang sibuk berinovasi memajukan sekolahnya, " lanjut Made.
Lebih lanjut, Made mengatakan jika guru semakin kehilangan jati diri sebagai pendidik. Bahkan hanya sedikit dari guru yang masih memperhatikan prestasi akademik, moral maupun spiritualitas anak didiknya. "Mereka terdorong terus dalam kesibukan tiada habis, untuk mengejar portofolio kepangkatan, pengangkatan P3K, impassing, sertifikasi, " terusnya.
Ditanya terkait sosialisasi perlindungan anak di lingkungan sekolah, Made mengatakan sudah dilakukan. "Jelas sudah mas, mestinya. Karena sejak lama sudah diterbitkan Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Lamongan Nomor 3 Tahun 2019 tentang Kabupaten Layak Anak. Tapi begitulah, mungkin memang budaya baca kita itu rendah. Mungkin tidak terkecuali di para jajaran guru, " ujarnya.
Made menambahkan terkait sanksi yang harus dikenakan sebagai efek jera, agar kejadian yang sama tidak terulang lagi, khususnya di Kabupaten Lamongan.
Baca Juga: Meriah Bersama Anak Anak Inklusi Bermain di Zoo
"Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4235) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 297, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5606). Harus disanksi pidana, " pungkasnya.
Seperti diketahui, seorang santri salah satu pondok pesantren yang duduk di bangku kelas 1 Madrasah Tsanawiyah (MTs) di Kecamatan Paciran Lamongan diduga telah dianiaya hingga meninggal dunia. Korban berinisial MHN (15) merupakan warga Sidayu Lawas, Kecamatan Brondong, Lamongan.
Kematian korban diketahui sekitar pukul 7 pagi oleh orang tua korban, setelah mendapat kabar dari wali kelas yang datang ke rumahnya yang mengatakan jika korban masuk Rumah Sakit (RS) Suyudi Paciran.
Saat orang tua korban sampai di Rumah Sakit, mendapati putranya tersebut sudah dalam keadaan meninggal dunia dan mencurigai adanya sejumlah luka pada tubuh korban. Selanjutnya ayah korban melapor ke Polres Lamongan hingga dilakukan autopsi.
Baca Juga: Tiga SD Hidupkan Sahabat Pena
Hingga berita ini ditulis, kasus tersebut masih didalami Polres Lamongan untuk mengetahui sebab kematian korban.
Kemudian kasus lainnya juga terjadi di SMP Negeri 1 Sukodadi. Dimana seorang guru Bahasa Inggris bernama Endang telah membotaki belasan siswinya, sebagai hukuman karena tidak mengenakan ciput hijab atau pelindung depan kerudung.
Menurut informasi yang dihimpun, saat ini oknum guru tersebut tidak lagi mengajar di sekolah itu dan persoalan itu dianggap selesai lantaran tidak ada wali murid yang melapor ke kepolisian.
Sementara ditanya Realita.co melalui pesan WhatsAppnya terkait upaya sosialisasi perlindungan anak di lingkungan sekolah, kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Lamongan, Munif Syarif, belum memberikan jawaban.def
Editor : Redaksi