JAKARTA (Realita)- Rini Syahrifah selaku Bupati Blitar, Jawa Timur menyerahkan sejumlah sertifikat hak milik atas tanah hunian dan tanah garapan ke warga Karangnongko Desa Mondangan di Pendopo Ronggo Hadinegoro Kabupaten Blitar, Jawa Timur, pada Selasa, (11/1/2022).
Masyarakat Karangnongko akhirnya bisa bernafas lega, menempati tanah Eks Perkebunan PT. Veteran Sri Dewi. Perjuangan puluhan tahun lamanya akhirnya membuahkan hasil.
Baca Juga: Mediasi Gagal, Sidang Sengketa Tanah Rangkah Kidul Lanjut ke Pokok Materi
"Alhamdulillah, akhirnya sertifikat ini kita dapatkan atas perjuangan kita selama berpuluh-puluh tahun. Hari ini, sertifikat Hak Milik Atas Tanah Hunian dan Tanah Garapan warga Karangnongko yang bersumber dari Tanah Objek Reforma Agraria dapat diterbitkan," kata Rini Syahrifah dikutip dari Times Indonesia.
Masih sambung Bupati, ada delapan kasus pertanahan di Kabupaten Blitar. Termasuk di Perkebunan Karangnongko yang menjadi permasalahan pertanahan terbesar di Provinsi Jawa Timur. Jumlah itu berdasarkan data Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) dan Kasus Pertanahan yang ditangani Komnas HAM.
" Pemkab Blitar sejak tahun 2019 telah membentuk Tim Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) dengan Surat Keputusan Bupati. Sedangkan pelaksanaanya dipimpin oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Blitar," terangnya.
Tanah Obyek Reforma Agraria Eks perkebunan Karangnongko memiliki jumlah luas 133 Ha. Namun pada tahun 2021, yang masih berhasil dilaksanakan adalah seluas kurang lebih 103 Ha. Lahan tersebut dibagikan kepada 839 Subyek Redistribusi.
"Saya ingatkan, hak milik atas tanah ini bukan untuk diperjual belikan namun untuk diolah demi menciptakan kesejahteraan Bapak atau Ibu," papar Bupati.
Ada sejumlah warga Karangnongko yang masih memperjuangkan haknya, seperti perempuan asal Blitar yang bernama Gendro Wulandari dan beberapa warga lainnya. Perempuan ini mendatangi Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia untuk memohon perlindungan kepada Kapolri dan Kabareskrim karena adanya dugaan pengancaman pembunuhan terhadap dirinya dan orang tuanya yang dilatar belakangi masalah lahan garapan.
"Hari ini, saya mendatangi Mabes Polri untuk meminta keadilan dan kepastian hukum terhadap lahan garapan orang tua saya ( Sutrisno - Red ). Sudah puluhan tahun orang tua saya mengelolah lahan tersebut namun telah di sertifikat atas nama orang lain," ucap Gendro Wulandari di gedung Mabes Polri, Rabu (2/3).
Untuk menguak kebenaran lebih dalam, jaringan media online nasional mencoba mengkonfirmasi kepada HS melalui seluler jurnalis yang ada di Blitar untuk perimbangan berita terkait konflik yang saat ini sedang memanas di wilayah Kabupaten Blitar dalam beberapa pemberitaan media massa.
Baca Juga: Lahan Dicaplok PT Swarna Cinde Raya, Masyarakat Desa Pangkalan Benteng Tuntut Keadilan
Gendro Wulandari menjelaskan identitas bapaknya yang bernama Sutrisno dan beberapa orang lainnya disinyalir disalahgunakan oleh HS, selaku Ketua Panitia Pokmas bersama rekan-rekannya untuk pengajuan permohonan redistribusi lahan bekas perkebunan yang terletak di Karangnongko. Padahal Sutrisno dan beberapa warga lainnya tidak pernah mendaftarkan dan tidak pernah menandatangani permohonan redistribusi yang diajukan oleh HS Cs selaku bagian gugus reforma agraria.
Akhirnya tim investigasi dari jaringan media nasional yang berada di Jakarta bisa berkomunikasi dengan HS sekitar pukul 15.30 WIB, via seluler, Sabtu (5/3).
Dalam konfirmasinya selama 10 menit 25 detik, HS dimintai tanggapannya terkait adanya laporan seorang perempuan yang mendatangi Mabes Polri.
"Posisi sampean dimana mas? Posisi saya di Jakarta," tanya HS kepada wartawan.
Masih sambung HS, apakah wartawan sudah menanyakan legalitas Wulandari.
Baca Juga: Rebutan Lahan, Ayah dan Anak Dibacok Ketua RT
"Orang itu (Wulandari) tidak punya legalitas apa-apa dan tidak mempunyai hubungan hirarki satu permasalahan di daerah Karangnongko, Blitar,"kata HS.
"Saya sebagai Pokmas di willayah situ, secara hirarki, hukumnya mempunyai SK resmi langsung dari Bupati, saya sebagai bagian tim Gugus Reforma Agraria, saya juga sebagai media, saya juga ketua LSM," jelas HS lagi.
Menurut HS lagi, Wulandari yang selalu mengintimidasi warga agar tak mengambil sertifikat mereka.
"Kalau ada intimidasi, ancaman dan lain-lain, penjualan dan lain-lain, itu hanya permainan mereka," terang HS.
Disinyalir ada sekitar 17 sampai 20 Kepala Keluarga yang belum mengambil sertifikat mereka karena takut dipidanakan oleh seseorang.tom
Editor : Redaksi