Hakim Tolak Praperadilan Wabup Bojonegoro, Sholeh Mengaku Kecewa

SURABAYA (Realita) - Hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya tidak dapat menerima permohonan praperadilan yang diajukan Wakil Bupati Bojonegoro Drs. Budi Irawanto, M.Pd. Dengan pertimbangan tidak termasuk dalam pro justicia.

Dalam amar putusan hakim Akhmad Fazrinnoor Sosilo Dewantoro menyatakan surat ketetapan nomor : S.Tap/5/II /RES.2.5/2022/ Ditreskrimsus tertanggal 2 Februari 2022 tentang Penghentian Penyidikan terhadap laporan pemohon, tidak termasuk dalam pro justicia.

Baca Juga: Dilaporkan Palsukan Merk, H Subianto Budiman Ucap Syukur Atas Putusan MA

Karena tidak termasuk dalam pro justicia, surat ketetapan penghentian penyelidikan yang dikeluarkan Kepala Daerah Kepolisian (Kapolda) Jawa Timur cq Direktur Kriminal Khusus Polda Jatim sebagai pihak termohon praperadilan tersebut tidak masuk dalam ranah praperadilan sebagaimana dijelaskan dalam pasal 77 sampai dengan pasal 83 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), serta Putusan MK nomor : 21/PPU-XII/2014 tentang perluasan obyek praperadilan. 

"Memperhatikan ketentuan Undang-Undang nomor 8 tahun 1981 tentang KUHAP, Putusan MK nomor : 21/PPU-XII/2014 tentang perluasan obyek praperadilan, mengadili, dalam eksepsi, mengabulkan eksepsi termohon praperadilan," ungkap Akhmad Fazrinnoor Sosilo Dewantoro.

Dalam amar putusan, hakim Akhmad Fazrinnoor Sosilo Dewantoro juga menyatakan bahwa termohon mengajukan eksepsi yang menerangkan bahwa praperadilan dalam sejarahnya merupakan sarana yang digunakan untuk melindungi Hak Asasi Manusia (HAM) terutama HAM dari tersangka suatu tindak pidana, penetapan penyidikan dan penuntutan sebagaimana diatur dalam pasal 77 sampai pasal 83 KUHAP serta Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 21/PPU-XII/2014 tentang perluasan obyek praperadilan. 

"Ketika dalam suatu tahapan dilakukan upaya paksa serta penetapan tersangka, maka dipercayakan tidak masuk dalam obyek praperadilan selain daripada yang diatur dalam suatu norma hukum dan tidak termasuk dalam pertimbangan rasiolegis munculnya langkah-langkah praperadilan sehingga permohonan pemohon haruslah ditolak," ucap Dewantoro.

Masih menurut penjelasan Dewantoro, ada Putusan MK nomor : 9/PUU-XVII/2019 yang menguji tentang pasal 77 huruf (a) KUHAP, yang substansi permohonannya adalah tentang kerugian nyata, dengan dihentikannya laporan polisi dalam proses penyelidikan yang mengakibatkan kehilangan hak kontrol laporan upaya pengujian melalui praperadilan, MK kemudian menolak dalil pemohon serta putusan tersebut dikuatkan dengan Putusan MK nomor : 53/PUU-XIX/2021.

Dengan adanya putusan MK ini, hakim Akhmad Fazrinnoor Sosilo Dewantoro secara tegas menyatakan, penghentian proses penyelidikan bukan masuk dalam obyek praperadilan dan tidak termasuk bagian dari pasal 77 huruf (a) KUHAP sehingga eksepsi termohon sudah seharusnya diterima dan dalil semua pemohon untuk seluruhnya haruslah ditolak.

Berkaitan dengan dalil pemohon yang menyatakan bahwa PN Surabaya tidak berwenang mengadili permohonan praperadilan nomor 11/Pid.Pra/2022/PN. Sby tertanggal 4 April 2022, hakim A.F.S Dewantoro menyatakan, penghentian penyelidikan bukan obyek praperadilan, dan ruang untuk menguji terkait penghentian penyelidikan sebagaimana diatur dalam pasal 9 ayat 3 Peraturan Kapolri (Perkap) nomor 6 tahun 2019 tentang penyidikan tindak pidana, secara substantif menyebutkan, dalam hal atasan penyidik menerima keberatan dari pelapor atas penghentian penyelidikan, maka dilakukan gelar perkara.

"Gelar perkara itu untuk menentukan penyelidikan dapat atau tidaknya ditingkatkan ke tahap penyidikan, sehingga dapat dimaknai, ruang untuk menguji penghentian penyelidikan adalah melalui mekanisme mengajukan keberatan atas penghentian penyelidikan kepada atasan menghukum (ankum), bukan diuji melalui ruang praperadilan," ucap Dewantoro saat membacakan pertimbangan hukumnya.

Atas dasar inilah, hakim tunggal pemeriksa dan pemutus perkara gugatan permohonan praperadilan menilai, permohonan praperadilan yang diajukan Wakil Bupati Bojonegoro melalui kuasa hukumnya ini tidak didasari aturan yang ada. 

"Dan oleh karena itu, gugatan praperadilan yang dimohonkan Wakil Bupati Bojonegoro melalui kuasa hukumnya ini patut ditolak," tegas Dewantoro.

Hakim Akhmad Fazrinnoor Sosilo Dewantoro dalam pertimbangan hukumnya juga menjelaskan bahwa fungsi lembaga praperadilan adalah melakukan pengawasan horisontal terhadap adanya tindakan penyimpangan dan  penyalahgunaan wewenang yang dilakukan instansi kepolisian dalam penegakan hukum selaku penyidik dan instansi kejaksaan selaku penuntut umum.

Pengawasan yang dilakukan tersebut adalah bagian dari implementasi integrated criminal justice system. 

Hakim Akhmad Fazrinnoor Sosilo Dewantoro kemudian mengutip isi buku M. Yahya Harapan yang berjudul Pembahasan Permasalahan Dan Penolakan KUHAP Pembacaan Sidang Pengadilan Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali edisi kedua tahun 2002 halaman empat yang menjelaskan tentang tujuan utama lembaga praperadilan adalah melakukan pengawasan horisontal atas tindakan upaya paksa yang dikenakan terhadap tersangka, selama ia berada dalam pemeriksaan penyidikan atau penuntutan, agar benar-benar tindakan itu tidak bertentangan dengan ketentuan hukum dan undang-undang.

"Kemudian, dalam pasal 1 angka 10 KUHAP menyatakan, praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang," kata Dewantoro. 

Dan ini, sambung Dewantoro, berkaitan dengan sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain berdasarkan kuasa tersangka. 

Masih berkaitan dengan pasal 1 angka 10 KUHAP, juga menjelaskan tentang sah atau tidaknya penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan lebih tegaknya hukum dan keadilan. 

Selanjutnya berkaitan dengan permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi atas permintaan tersangka atau keluarga atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya diajukan ke pengadilan.

Bahwa kewenangan pengadilan negeri untuk memeriksa, mengadili dan memutus praperadilan sesuai dengan ketentuan pasal 77 KUHAP yang mengatur tentang sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan dan ganti rugi atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya  dihentikan ditingkat penyidikan atau penuntutan yang dilaksanakan dalam praperadilan, kemudian diperluas kewenangannya dengan adanya Putusan MK nomor : 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 yang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir. 

Berdasarkan pasal 2 ayat 1 Peraturan Mahkamah Agung (Perma) nomor 4 tahun 2014 tentang larangan peninjauan kembali putusan praperadilan disebutkan, yang menjadi obyek praperadilan adalah sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan, penetapan tersangka, penyitaan, dan penggeledahan.

Baca Juga: Wanprestasi, PT. BPR Kosanda Digugat Ahli Waris David Koenjoro dan Dua Pemilik SHM Jaminan Kredit

Masih berdasarkan pasal 2 ayat 1 Perma nomor 4 tahun 2014 juga mengatur tentang ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya dihentikan ditingkat penyidikan dan atau penuntutan. 

Pasal 1 angka 5 KUHAP juga menerangkan tentang penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana, untuk menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan, berdasarkan cara yang diatur dalam undang-undang ini.

Penyelidikan, berdasarkan pasal 1 angka 5 KUHAP, selain bertujuan untuk menentukan apakah suatu peristiwa itu termasuk suatu tindak pidana atau bukan, juga bertujuan untuk membuat terang benderang suatu perkara, sampai dengan menentukan siapa pelakunya.

Dewantoro kembali menjelaskan, penyelidikan juga dapat dipakai sebagai dasar untuk melakukan upaya paksa. Penyelidikan juga sebagai sarana untuk mencari dan mendapatkan alat bukti. 

Berdasarkan pasal 9 Perkap nomor 6 tahun 2019 tentang penyidikan tindak pidana, wajib dilakukan gelar perkara.

Dalam pasal 9 ayat 1 Perkap nomor 6 tahun 2019 itu disebutkan, hasil penyelidikan yang telah dilaporkan penyidik, wajib dilakukan gelar perkara, untuk menentukan apakah peristiwa tersebut diduga tindak pidana atau bukan tindak pidana.

Kemudian, pasal 9 ayat 2 Perkap nomor 6 tahun 2019 berbunyi, hasil gelar perkara yang memutuskan peristiwa itu adalah tindak pidana, dilanjutkan ke tahap penyidikan.

"Jika bukan merupakan tindak pidana, dilakukan penghentian penyelidikan. Pasal 9 ayat 2 ini juga menjelaskan, jika perkara tindak pidana tersebut bukan kewenangan penyidik polri, laporan tersebut dilimpahkan ke instansi yang berwenang," ungkap Dewantoro.

Pasal 9 ayat 3 Perkap nomor 6 tahun 2019 menyatakan, dalam hal penyidik menerima keberatan dari pelapor atas penghentian penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 huruf (b), dilakukan gelar perkara untuk menentukan kegiatan penyelidikan apakah dapat atau tidaknya ditingkatkan ke tahap penyidikan. 

Hakim Akhmad Fazrinnoor Sosilo Dewantoro kembali menjelaskan tentang ketentuan pasal 1 angka 2 KUHAP yang menyatakan bahwa penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik yang diatur dalam undang-undang untuk mencari dan mengumpulkan bukti-bukti agar bukti-bukti yang diperoleh atau dikumpulkan penyidik tersebut membuat terang benderang tindak pidana yang terjadi dan menentukan siapa tersangkanya. 

Baca Juga: Praperadilan SP3 Kasus Keterangan Palsu Ditolak, Lie David Linardi Akan Lakukan Upaya Hukum

Namun, untuk menentukan siapa tersangkanya, haruslah didasarkan ketentuan pasal 25 Perkap nomor 6 tahun 2019 yaitu ayat 1 penetapan tersangka paling sedikit berdasarkan dua alat bukti dan didukung barang bukti.

Ayat 2 sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, dilakukan mekanisme gelar perkara kecuali tertangkap tangan. 

Hakim Dewantoro juga menjelaskan,yang dimaksud dengan gelar perkara berdasarkan pasal 1 angka 24 Perkap nomor 6 tahun 2019 adalah penyampaian, penjelasan, tentang proses penyelidikan dan penyidikan oleh penyidik kepada peserta gelar dilanjutkan dengan diskusi kelompok untuk mendapatkan tanggapan, masukan, koreksi supaya mendapat rekomendasi untuk menentukan tindak lanjut proses penyelidikan dan penyidikan.

Ditemui usai persidangan, Muhammad Sholeh mengaku kecewa terhadap keputusan hakim tunggal pemeriksa praperadilan ini.

Lebih lanjut Sholeh mengatakan, terkait eksepsi termohon yang dikabulkan, kalau memang arahnya adalah Perkap nomor 6 tahun 2019, hal itu tidak akan dilakukan pemohon.

"Kami tidak mungkin melakukan upaya sebagaimana disebutkan dalan Perkap nomor 6 tahun 2019 dengan melakukan gelar perkara," ujar Sholeh.

Pertimbangannya adalah, lanjut Sholeh, atasan penyelidik ini satu kesatuan dengan atasan penyidik, sama-sama dari Kepolisian sehingga tidak mungkin bisa independen.

Sholeh kembali menandaskan, maka dari itu, opsi gelar perkara tidak dilakukan dan yang paling adil adalah lembaga praperadilan.

Tim kuasa hukum pemohon juga kecewa atas sikap hakim yang tidak menyentuh substansi dimana penghentian itu berdalih bukan peristiwa pidana.

Dengan adanya keputusan hakim ini, Sholeh menegaskan, akan menimbulkan stigma negatif di masyarakat, siapapun yang dirugikan dengan adanya penghentian penyelidikan, para pencari keadilan tidak bisa mengajukan keberatan dilembaga praperadilan.ys

Editor : Redaksi

Berita Terbaru