SURABAYA (Realita)- Guru Besar Universitas Bhayangkara Prof Dr Sadjijono SH MHum dihadirkan sebagai ahli pidana dalam perkara dugaan pemalsuan surat dengan terdakwa Notaris Edhi Susanto dan Feni Talim di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Kamis (25/8/2022). Prof Sadjijojo berpendapat bahwa dalam pasal 263 KUHPidana harus menimbulkan kerugian yang konkret dan nyata.
Dalam persidangan Pieter Talaway penasihat hukum terdakwa menanyakan pasal 263 KUHPidana ayat 1 maupun ayat 2, apakah itu masuk dalam unsur delik kesengajaan atau delik kelalaian (Culpa).
Baca juga: Notaris Edhi Susanto Divonis Bersalah, Ronald Talaway; Menyesalkan Putusan Hakim
Prof Dr Sadjijono disuruh menjelaskan bahwa ada dua unsur perbuatan yang pertama membuat surat palsu yang kedua memalsukan surat palsu.
Surat palsu adalah yang sebelumnya belum ada surat kemudian dibuat surat. Kemudian surat yang seolah benar atau asli. Terkait memalsukan surat adalah telah ada surat kemudian surat itu diubah sehingga isi surat itu seolah asli.
Terkait unsur pasal 263 ayat 1 KUHP yang berbunyi Barangsiapa membuat surat palsu atau memalsukan surat, yang dapat menerbitkan sesuatu hak, sesuatu perjanjian (kewajiban) atau sesuatu pembebasan utang, atau yang boleh dipergunakan sebagai keterangan bagi sesuatu perbuatan, dengan maksud akan menggunakan atau menyuruh orang lain menggunakan surat-surat itu seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan, maka kalau mempergunakannya dapat mendatangkan sesuatu kerugian dihukum karena pemalsuan surat, dengan hukuman penjara selama-lamanya enam tahun.
"Terkait tembusan unsur hukum yang dimaksud dalam pasal 263 ayat 1 ini adalah membuat surat palsu dan memalsukan surat. Kemudian unsur pertama atau delik adalah dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain. Jadi setelah surat itu dipalsukan maka ada maksud kesengajaan,"kata ahli.
Pieter Talaway kembali menanyakan dalam pasal 263 ayat 1 dan 2 ada unsur obyektif dan subyektif. Obyektif itu membuat surat, apakah membuat surat palsu itu harus dibuktikan oleh jaksa?
Apakah cukup dengan adannya hasil lab atau harus ada penyelidikan.
Ahli berpendapat dalam unsur-unsur yang ada di dalam ketentuan pasal 263 KUHP ayat 1 maupun 2 semua harus dibuktikan.
"Terkait dengan unsur obyektif dan subyektif. Unsur subyektif itu berada pada sikap bantin si pembuat surat, sikap batin inilah yang kemudian dilihat dari perbuatan kongkritnya.
Terkait dengan obyektifnya harus dibuktikan,"katanya.
Masih kata ahli, dengan sikap delik yang pertama delik formil yang kedua materil. Terkait dengan delik formil itu adalah suatu perbuatan, kemudian terkait dengan delik materil itu akibat hukum dari perbuatan yang dilarang.
"Dalam konteks pasal 263 KUHP maka tidak hanya delik formil saja yang dibuktikan, tapi delik materil juga harus dibuktikan. Jadi akibat yang timbul dari suatu perbuatan harus ada dan nyata,"kata ahli.
Pieter Talaway bertanya dalam Pasal 263 ayat 1 maupun 2 ada frasa yang berbunyi dapat menimbulkan kerugian, kalau kerugiaan ini tidak ditimbulkan frasa ini tidak ada dalam pasal 263 KUHP.
"Dapat menimbulkan kerugian ini, apa harus dibuktikan oleh jaksa?," Tanya Pieter.
Baca juga: Pledoi Notaris Edhi Susanto dan Istrinya Minta Dibebaskan dari Pidana
Ahli kemudian menjawab bahwa unsur-unsur dalam Pasal 263 KUHPidana itu semua harus dibuktikan, baik sifat delik formil maupun meteril.
"Ketika di delik materil dalam frasa tersebut dapat menimbulkan kerugian berarti disini harus ada kerugian yang ditimbulkan,"kata ahli.
Ahli juga senada dengan peryataan penasihat hukum terdakwa terkait pemalsuan hari ada motif dan pelaku harus benar-benar mengetahui surat itu palsu. Karena menurut ahli motif itu masuk unsur kesengajaan dan jika pelaku tidak mengetahui surat itu palsu maka pelaku tidak bisa hukum.
Sementara, Ronald Talaway yang juga tim penasihat hukum terdakwa menanyakan terkait alat bukti labfor tanda tangan yang diduga palsu. Apakah cukup diujin di labfor atau harus diuji oleh si pembuat tanda tangan?
Menurut ahli, ketika ada suatu dugaan pemalsuan tanda tangan. Disini selalu diuji dari laboratorium dan menerangkan bahwa tanda tangan ini identik atau non indentik. Tetapi itu saja tidak menerangkan siapa yang bertanda tangan ini. Maka secara tegas ahli mengatakan, bahwa uji labfor belum tuntas dan seharusnya ada satu langkah lagi untuk menyempurnakan hasil. Dimana secara umum pembuktian tanda tangan palsu membandingkan tanda tangan yang ada dalam suatu akta dengan tanda tangan orang yang merasa dipalsu.
"Maka dengan langkah satu lagi itu membuat hasilnya sempurna, dan keadilan itu ada,"kata ahli.
Dikesempatan yang sama, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Hari Rahmad Basuki menanyakan Apakah dalam pasal 263 ayat 1 harus ada unsur dapat merugikan. Bahwa potensi kerugian itu ada pada undang-undang perpajakan saja. Tapi khususnya dalam pasal 263. Pada putusan Yurisprosendi dapat menimbulkan itu sudah berpotensi. Karena pemalsuan surat tidak selamanya menimbulkan kerugian bagi korban.
Baca juga: Notaris Edhi Susanto Dituntut 2 Tahun, Ronald:Jaksa Belum Membuktikan Secara Konkret
Atas pertanyaan jaksa tersebut, ahli secara tegas berpendapat bahwa di dalam Pasal 263 KUHplPidana kerugian itu harus kongkrit dan nyata.
"Kerugian itu harus konkret dan nyata,"tegasnya.
Usai persidangan Ronald Talaway saat dikonfirmasi mengatakan ahli pidana Prof. Dr.,Sadjiono menerangkan mengenai Pasal 263 ayat 1 dan 263 ayat 2 KUHP yang merupakan delik kesengajaan bukan delik kelalaian, sejalan dengan itu diperlukan niat yang mengakibatkan kerugian sehingga apabila tidak ada kerugian konkret tentu rumusan delik tidak dapat terpenuhi.
Selain ahli juga berbicara mengenai alat bukti bahwa hasil labfor tentu bukan pembuktian mutlak perbuatan memalsu. Sebenarnya hal tersebut juga sejalan dengan ahli pidana sebelumnya yang dihadirkan oleh penuntut umum.
"Sehingga dari keterangan tersebut, berdasarkan prinsip dan penerapan hukum, kedua klien kami tidak dapat dipidana. Dan perlu diingat beban pembuktian perbuatan memalsu ada di penuntut umum sehingga tentunya para klien kami tidak dapat diklasifikasikan melakukan perbuatan melanggar ketentuan 263 ayat 1 atau 2 KUHP sebagaimana yang didakwakan penuntut umum dalam perkara ini,"ucap Ronald.
Sedangkan ahli kenotariatan Dr. Habib Adjie menerangkan kuasa yang notabene bukan merupakan akta notariil, terkait kebenaran tanda tangan dalam kuasa tersebut bukanlah tanggung jawab notaris.
"Sehingga salah apabila klien kami yang diminta pertanggungjawaban atas kebenaran tanda tangan mengingat sampai detik ini penuntut umum juga tidak berusaha membuktika klien kami lah yang menorehkan tanda tangan Saksi Itawati pada surat kuasa,"pungkasnya.ys
Editor : Redaksi