JAKARTA-Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat utang pemerintah sampai 31 Desember 2023 mencapai Rp 8.144,69 triliun. Jumlah itu naik Rp 103,68 triliun dibandingkan bulan sebelumnya yang senilai Rp 8.041,01 triliun.
Penambahan itu membuat rasio utang pemerintah akhir 2023 menjadi 38,59% terhadap produk domestik bruto (PDB), naik dari bulan sebelumnya yang di level 38,11%, tapi turun dibandingkan akhir 2021 dan 2022.
Baca juga: Diwarisi Utang Jokowi, Prabowo Diprediksi Bakal Gali Lubang Bikin Jurang
Di sisi lain, menurut Pemerintah kondisi tersebut masih tergolong aman, karena di bawah batas 60% PDB sesuai Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Ketua Umum Hidupkan Masyarakat Sejahtera (HMS) Center, Hardjuno Wiwoho, menegaskan pertumbuhan utang Indonesia sudah tidak masuk akal. Indonesia telah terjebak dalam situasi negara berpendapatan menengah bawah.
Hal ini mengkonfirmasikan utang tidak mempunyai peranan besar dalam merangsang pertumbuhan ekonomi suatu negara.
“Yang saya khawatirkan, Indonesia akan kehilangan beberapa generasi karena kekurangan gizi, kurang pendidikan, dan penurunan status kesehatan dari berjuta anak Indonesia. Hal ini sebagai dampak memburuknya situasi ekonomi akibat tumpukan utang pemerintah. Mirisnya lagi, utang dipakai untuk hal-hal yang tidak produktif,” ujar Hardjuno beberapa waktu lalu.
Menurutnya, ekonomi Indonesia akan sulit berkembang. Sebab, keuangan negara tersandera untuk pembayaran pokok dan bunga utang. Mirisnya lagi, setiap tahun pertumbuhan ekonomi rata-rata hanya 5%. Sementara pertumbuhan utang jauh di atas itu.
"Dari 5 persen pertumbuhan tiap tahun, 3 persen berasal dari konsumsi yang artinya tidak menambah nilai dalam rantai ekonomi alias tidak menyerap pekerjaan dan menambah pendapatan negara di masa depan. Hanya 2 persen pertumbuhan ekonomi yang menggerakan dan memajukan ekonomi," katanya.
Angka tersebut dinilai Hardjuno tidak akan cukup memenuhi pertumbuhan utang negara karena angka utang sudah mengarah pada pola gali lubang tutup lubang.
“Pada akhirnya, situasi ini pula yang bisa menjelaskan mengapa tingkat pengangguran dan kemiskinan di Indonesia masih berada pada level yang teramat tinggi,” ulasnya.
Baca juga: Nambah Rp 108 Triliun, Total Utang Pemerintah Indonesia Rp 8.144 Triliun
Menurut Hardjuno, Indonesia telah berkali-kali melewatkan kesempatan (missopportunity) untuk melepaskan diri dari middle low income trap, tapi itu tidak dimanfaatkan dengan baik.
Pasalnya pembuat kebijakan berulang kali membuat kesalahan fatal yaitu, utang yang tidak produktif dan mengabaikan sektor paling penting yaitu pertanian dan sektor riil.
"Maka tak heran GDP per kapita Indonesia jauh di bawah Malaysia dan juga Thailand. Krisis 1998 perbankan kita sudah hancur karena digunakan pemilik dan oligarki dalam kejahatan BLBI dan Obligasi Rekap BLBI,” jelas Hardjuno.
Dia menjelaskan kredit properti adalah kredit yang dikucurkan kepada konglomerat pengembang super blok mewah, mal-mal mewah, apartemen, dan kawasan-kawasan elit, yang sifatnya spekulatif. Berbeda dengan properti kelas bawah yang sampai hari ini masih mengalami backlog (kekurangan suplai).
Hardjuno mengatakan saat lengser, Susilo Bambang Yudhoyono meninggalkan utang sebesar Rp2.700 triliun. Sementara 9 tahun pemerintahan Presiden Jokowi telah menambah utang sebesar Rp5.300-an triliun.
Baca juga: Utang Rp 8000 Triliun, Pemerintah Indonesia Harus Nyicil Rp 500 T per Tahun
"Dengan utang sebanyak itu dan jumlah penduduk sebanyak 275 juta jiwa, artinya setiap penduduk bahkan bayi baru lahir di Indonesia sudah menanggung utang sebanyak Rp 30 juta," katanya.
Sementara, GDP perkapita tercatat 3.892 dolar AS atau Rp 60 juta pertahun atau Rp 5 juta per bulan. Yang artinya setiap penduduk, dari bayi, anak kecil, ibu rumah tangga, pengangguran, mahasiswa, ayah pekerja, memiliki penghasilan Rp5 juta sebulan.
"Jika rata-rata keluarga di Indonesia memiliki anggota 4 orang saja maka setiap keluarga Indonesia rata-rata memiliki penghasilan Rp 20 juta. Saat utang yang ditanggung tiap-tiap penduduk angkanya sudah pasti dan harus dibayar, pendapatan Rp 60 juta setiap bayi yang baru lahir adalah angka yang distortif alias karena GDP per kapita tidak memisahkan apakah penghasilan itu dihasilkan oleh perusahaan-perusahaan asing atau oleh perusahaan lokal," paparnya.
Saat pemilihan umum 2024, seluruh elemen bangsa ini, menurut Hardjuno musti sadar apa masalah mendasar bangsa ini. Karena tanpa itu, yang akan terjadi rakyat akan selalu dikorbankan dalam perebutan kekuasaan para elit. Sehingga tak heran selalu ada gesekan fisik di tingkat bawah saat pesta demokrasi.
"Anggaran negara terus saja dihambur-hamburkan untuk para elite yang bersandar pada penambahan utang. Sementara uang di bank yang disimpan oleh rakyat disalurkan kepada konglomerat. Kalau terus dibiarkan, ketimpangan makin lebar dan rakyat makin sengsara,” ujar Hardjuno.har
Editor : Redaksi