SURABAYA (Realita) - Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) telah melakukan pemantauan terhadap harga dan pasokan obat-obatan yang esensial terhadap Covid-19. Pemantauan dilakukan sejak PPKM pada awal Juli 2021 lalu.
Komisioner KPPU, Ukay Karyadi, menyampaikan itu pada media ini, Jumat (30/7/2021). Dikatakan, pemantauan ini merupakan salah satu bentuk dukungan KPPU pada Pemerintah yang telah menetapkan kebijakan pembatasan harga obat penanganan Covid-19 melalui Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor HK.O 1.07lMENKES/4826/2021 tentang Harga Eceran Tertinggi Obat dalam Masa Pandemi Corona Virus Disease 2019.
Baca juga: Terlambat Notifikasi Akuisisi Saham, PT Bundamedik Dijatuhi Denda Rp5 Miliar
Menurut KPPU, Penetapan Harga Eceran Tertinggi (HET) memang diperlukan dalam kondisi terjadi excess demand dan pasokan relatif terbatas, apalagi untuk produk yang esensial atau sangat dibutuhkan masyarakat.
Dan hasil pemantauan sementara KPPU, kata Ukay, selain masih banyak obat yang dijual melebihi HET, juga terjadi kelangkaan pasokan obat dan tabung oksigen di hampir semua wilayah terutama di Sumatera Bagian Selatan, Jawa dan Bali. Kelangkaan juga terjadi di Kalimantan dan Sulawesi sampai wilayah Indonesia Timur, karena hambatan pasokan dari sentra farmasi dan industri oksigen di Jawa dan sekitarnya.
Informasi yang diperoleh KPPU di lapangan, pengaturan HET banyak dikeluhkan apotek dan toko farmasi. Keluhan didasarkan pada penetapan HET yang berimplikasi pada pembatasan margin yang relatif kecil, sehingga memberatkan apotek atau toko farmasi di daerah.
Beberapa apotek menyebutkan, penurunan penyediaan obat terjadi karena kecilnya margin yang tidak mencerminkan biaya serta resiko operasional yang dihadapi. Selain itu, Pedagang Besar Farmasi (PBF) lebih mengutamakan pasokan ke rumah sakit dan klinik, karena pasien yang dirawat di rumah sakit pada umumnya memiliki gejala yang lebih berat.
Baca juga: Pengambilalihan Saham Semen Grobogan oleh PT Indocement Timbul Perkara
Juga, beberapa obat diproduksi dengan porsi bahan baku impor lebih dari 90%, sedangkan saat ini terjadi beberapa larangan ekspor bahan baku dan obat jadi pada negara penyedia bahan baku tersebut. Larangan ekspor dapat disebabkan oleh kenaikan kebutuhan di negara pengimpor, sehingga menghambat produksi dalam negeri.
Pemicu lain adalah adanya kewajiban dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) untuk melaporkan distribusi harian, sehingga menjadi salah satu alasan bagi para apotek untuk tidak mengadakan obat-obat tersebut.
Stok obat pada aplikasi farmaplus juga bukan merupakan data realtime. Karena industri farmasi dan pedagang besar farmasi menyampaikan data H-1, sehingga dapat terjadi perbedaan data yang disajikan dengan yang ada di lapangan.
Baca juga: KPPU Ungkap Penjualan LNG di Makassar Hanya Bisa Dari Pertamina
Menyikapi kondisi tersebut, KPPU memandang ada beberapa opsi yang dapat dipertimbangkan oleh Pemerintah, yakni reformulasi HET dengan penyesuaian margin yang wajar bagi pelaku farmasi ritel, memberlakukan HET dengan menyediakan insentif seperti subsidi untuk menutup sebagian biaya distribusi.
Selain itu, tetap dengan besaran HET sekarang, tetapi dengan menggunakan jaringan apotek BUMN dan/atau faskes pemerintah pusat dan daerah sebagai jalur utama distribusi dan penjualan obat-obatan yang dimaksud. Asumsinya, jaringan apotek dan faskes pemerintah dapat memenuhi sebagian besar permintaan produk obat esensial Covid-19 tersebut.
Terhadap permasalahan persaingan, KPPU akan memfokuskan penelitiannya kepada jenis obat yang ketersediaannya cukup besar dari kebutuhan namun sulit ditemukan di pasar. Penelitian akan difokuskan pada daerah yang memiliki persentase ketersediaan obat yang tinggi, tetapi masih ditemukan harga di atas HET dan pasokan yang sedikit.gan
Editor : Redaksi