Hanya Pentingkan Dapur Rumah, Kursi 30% Kuota Perempuan di Parlemen Tak Terpenuhi

LAMONGAN (Realita) - Jika dilihat secara kasap mata angka keterwakilan perempuan dalam politik Indonesia terus meningkat. Salah satu yang tampak jelas adalah tren peningkatan keterwakilan perempuan di badan legislatif. Namun secara peningkatan tidak mencapai kuota keterwakilan perempuan pada kursi parlemen dengan harapan di 30% keterwakilanya. 

Hal ini nampak jelas ketika diketahui dari salah satu riset Badan Pusat Stastistik  (BPS) yang mempunyai presentasi kursi perempuan di DPR pada pemilu tahun 1999 hanya ada 8,80 persen perempuan di badan legislatif, pada pemilu tahun 2004 naik menjadi 11,82 persen. Namun jika pada pemilu tahun 2009 melonjak hingga 17,86 persen, pada pemilu 2014 angkanya agak turun di 17,32 persen, dan baru naik stabil kembali pada pemilu 2019 yaitu di 20,87 persen. Meski berbagai kebijakan telah dilaksanakan salah satunya adalah melalui dorongan dari berbagai undang- undang guna memaksimalkan dalam capaian kuota 30 persen perempuan.

Baca Juga: Hitung Suara KPU, Perebutan Kursi Dapil III Ponorogo Ketat, Petahana Terancam Tumbang

Sejak tahun 2003 yang mana dilahirkan berbagai aturan hukum guna mendorong kesamaan kedudukan antara laki-laki dan perempuan di setiap organisasi sosial politik ataupun badan perumusan kebijakan, serta menjamin persamaan hak memilih dan dipilih, hingga menempati posisi jabatan birokrasi. Selain aturan kuota 30 persen untuk keterwakilan perempuan dalam politik, diterapkan pula “zipper system” yang mengatur agar setiap tiga bakal calon di badan legislatif atau eksekutif sekurangnya satu orang perempuan yang ada pada nomor urut jadi, yaitu pada tiga nomor urut pertama, tidak di bawah nomor urut tersebut.

Hingga di tahun 2008 diterapkannya kebijakan afirmasi atau kuota 30 persen untuk perempuan, tapi pada saat ini representasi perempuan di DPR hanya 21 persen atau berarti hanya 121 dari 576 kursi di DPR berarti sistem kuota bukan jaminan. Puskapol UI pernah membuat penelitian yang hasilnya menunjukkan faktor nomor urut atas dan politik dinasti masih mendominasi keterwakilan perempuan.

Maka sebagai masyarakat yang peduli terhadap demokrasi bangsa seharusnya mengkaji  berbagai faktor-faktor untuk mendorong hal tersebut. Apakah pendidikan politik tidak memadai? atau memang karena sistem elektoral yang kurang menguntungkan bagi perempuan di Indonesia, dan jika demikian maka sistem elektoral mana yang paling bisa mengakomodasi kepentingan perempuan? Apa dikarenakan Kultur Partai Politik Perlambat Keterwakilan Perempuan di DPR?

Baca Juga: Beredar Hasil Perolehan Kursi Legislatif Lamongan 1, Ini Penjelasan Bawaslu!

Peningkatkan jumlah keterwakilan perempuan berjalan sangat lambat, jika pada umumnya partai politik sebagai hulu semua upaya meningkatkan jumlah dan kualitas politisi perempuan, seharusnya parpol mensuport penuh untuk mengajak para kader perempuanya  ikut serta memenuhi persyaratan kuota 30 persen agar lolos untuk mengikuti pemilu misalnya.

Jika pun 30 persen itu ada, bisa di cek 30 persen ini perempuannya ada di mana? Apakah sekadar gelondongan 30 persen ada di partai atau 30 persen perempuan yang mengambil keputusan? Apakah perempuan memang menduduki posisi sebagai ketua umum, sekjen dan seterusnya, posisi-posisi perumus keputusan yang signifikan atau sebatas “paket gelondongan” untuk memenuhi syarat 30 persen ketika diperiksa oleh KPU.

Bagaimana dengan Kultur dalam partai politik dan politisasi anggaran. “Apakah nilai-nilai internalisasi demokrasi di partai politik sudah berkembang sehingga perempuan cukup terfasilitasi, ada tidak mekanisme yang mengakomodasi perbedaan dan kepentingannya? Juga politik anggaran. Berapa persen yang digunakan untuk menciptakan ruang bagi politisi perempuan bisa meningkatkan kualitas dan kemampuan lain yang dibutuhkan untuk menjadi politisi yang unggul. Bantuan politik resmi dari pemerintah untuk partai politik seringkali tidak sampai untuk menguatkan perempuan di partai politik. Sehingga masyarakat yang melek dan peduli akan demokrasi bangsa mengajak gerakan masyarakat sipil sepuluh tahun terakhir ini harus mendorong agar APBN yang diberikan kepada partai politik harus ada sekian persen diperuntukan untuk menguatkan politisi perempuan. Sehingga sejak dari dulu sudah adanya kesiapan perempuan untuk mempersiapkan diri dalam kontestasi di partainya sendiri, maupun antar partai.

Baca Juga: H+1 Coblosan Pileg, Ini Prediksi Peta Legislator DPRD Ponorogo

Penting bagi seluruh perempuan di seluruh Indonesia, kalau saja sesama perempuan itu saling mendukung, saling memotivasi, saling menginspirasi, kemungkinan kuota 30 persen keterwakilan perempuan dalam politik itu akan bisa tercapai, yang mana harus mulai dari para perempuan itu sendiri. Akan tetapi kuota keterwakilan perempuan tidak akan efektif jika pengetahuan, pemahaman, dan keterampilan politik serta kesetaraan gender perempuan masih minim. Seluruh pihak perlu bahu-membahu membuka ruang seluas-luasnya, bukan hanya kesempatan bagi perempuan untuk terlibat, namun juga memperoleh pengatahuan, memperluas pemahaman, dan meningkatkan keterampilan politiknya. Sehingga kelak ketika mereka duduk di kursi-kursi kekuasaan akan lahir kebijakan-kebijakan yang lebih responsif, inklusif dan humanis. 

Penulis : Imamatus Shobariyah (Ketua PPK Lamongan Kota & Sekretaris Fatayat NU Lamongan)

Editor : Redaksi

Berita Terbaru

Kantor Nasdem Disita KPK

SUMUT– Kantor DPC Partai Nasdem yang beralamat di Kelurahan Kartini, Kecamatan Rantau Utara, Kabupaten Labuhan Batu, Sumut, akhirnya disita Komisi …