Ini Keterangan Ahli Pidana Atas Penghentian Perkara Wakil Bupati Bojonegoro

SURABAYA (Realita)- Prof. Dr. Sardjijono, SH., M.Hum dihadirkan sebagai saksi ahli pidana oleh Wakil Bupati Bojonegoro Drs. H. Budi Irawanto, M.Pd dalam sidang praperadilan terkait penghentian proses penyelidikan yang dilakukan penyidik Polda Jatim.

Prof. Dr. Sardjijono, SH., M.Hum  memberikan pandangan hukum serta penilaian hukum atas tindakan yang sudah dilakukan penyidik, sehingga laporan Wakil Bupati Bojonegoro terkait dugaan pencemaran nama baik terhadap Bupati Bojonegoro Anna Mu'awanah tidak dilanjutkan.

Baca Juga: Mediasi Gagal, Sidang Sengketa Tanah Rangkah Kidul Lanjut ke Pokok Materi

Dalam penjelasannya, Sardjijono mengatakan, tindakan yang sudah dilakukan Bupati Bojonegoro Anna Mu'awannah di grup What'sApp itu masuk dalam pencemaran nama baik.

Sebelum membahas tentang pencemaran nama baik, Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Bhayangkara ini menjelaskan tentang Peraturan Kapolri (Perkap) nomor 6 tahun 2019 pasal 10 ayat (1).

Tentang pasal 20 ayat 1 Perkap nomor 6 tahun 2019 ini, Sardjijono mengatakan, dirumuskan bahwa kegiatan penyidikan tindak pidana terdiri atas penyelidikan, dimulainya penyidikan, upaya paksa, pemeriksaan, penetapan tersangka, pemberkasan, penyerahan berkas perkara, penyerahan tersangka dan barang bukti, dan penghentian penyidikan.

"Kemudian, pasal 11 Perkap No. 6 tahun 2019 tentang penyidikan tindak pidana menyatakan, penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 ayat (1) huruf (a) dilakukan apabila belum ditemukan tersangka dan/atau barang bukti, pengembangan perkara dan/atau belum terpenuhi alat bukti,' kata Sardjijono di ruang sidang Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Jum'at (22/4/2022).

Penjelasan pasal 10 ayat (1) huruf (a) tersebut, lanjut Sardjijono, sebagai bentuk ambigu dengan adanya penegasan yang terurai di pasal 11, karena belum ditemukan tersangka dan atau barang bukti.

Muhammad Sholeh, salah satu kuasa hukum Wakil Bupati Bojonegoro, meminta pendapat ahli tentang penghentian proses penyelidikan. Pada pasal 10 ayat (1) huruf (a) UU Nomor 6 tahun 2019 tersebut juga mengatur tentang mekanisme penghentian penyelidikan, tidak hanya penghentian penyidikan.

"Ahli, kami minta tanggapan tentang penghentian penyelidikan. Meski tidak diatur dalam Perkap nomor 6 tahun 2019, namun perkap ini dapat dipakai sebagai pintu masuk obyek praperadilan, apakah penghentian penyelidikan tersebut sah atau tidak. Bagaimana pendapat ahli," tanya Sholeh.

Berkaitan dengan pintu masuk, Sardjijono mengatakan, pintu masuk yang dimaksud kuasa hukum pemohon tersebut tidak hanya dari penghentian penyelidikan maupun penghentian penyidikan sehingga dapat dimohonkan praperadilan.

"Dari waktu ke waktu perkembangan obyek praperadilan itu tidak akan statis, tapi dinamis. Kalau dibilang sebagai pintu masuk, penghentian proses penyelidikan maupun penghentian proses penyidikan, hanyalah salah satu dari sekian obyek yang dapat dimohonkan praperadilan," ungkap Sardjijono.

Sholeh kembali meminta pendapat Sardjijono terkait dengan suatu surat penghentian yang didasarkan pada pendapat ahli yang bukan ahli pidana tetapi ahli ITE.

"Ada ketetapan yang menyebutkan bahwa ini adalah bukan peristiwa pidana, namun argumentasi yang digunakan berdasarkan pendapat ahli ITE, bukan ahli pidana. Bagaimana menurut pendapat ahli?," tanya Sholeh lagi.

Berkaitan dengan itu, Sardjijono kemudian menjelaskan, terkait expert atau keahlian, hal itu bertujuan untuk memenuhi kebutuhan, ketika hendak menginterpretasikan suatu masalah hukum.

"Dan ahli atau expert tersebut haruslah sesuai dengan kompetensi keilmuannya, sehingga interpretasi atau penafsiran yang akan dilakukan ahli tersebut akan menjadi tepat, akurat serta mempunyai nilai validitas terhadap sesuatu yang hendak ditafsirkan tersebut," papar Sardjijono.

Untuk masalah penafsiran, menurut Sardjijono, setiap orang bisa melakukannya asalkan orang itu tahu tentang hukum, tetapi penafsiran itu jauh akan bernilai serta akurat apabila ditafsirkan oleh orang yang mempunyai kompetensi dibidang itu.

Sholeh, kemudian meminta Prof. Dr. Sardjijono, SH., M.Hum untuk menjelaskan tentang pencemaran nama baik, sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Dosen hukum forensik Universitas Airlangga (Unair) Surabaya ini mengatakan, bahwa pencemaran nama baik tersebut diatur dalam pasal 310 dan pasal 311 KUHP.

"Berkaitan dengan pasal 310 KUHP, khususnya ayat (1) normanya secara tegas telah dirumuskan, barangsiapa sengaja merusak kehormatan atau nama baik seseorang dengan jalan menuduh dia melakukan sesuatu perbuatan dengan maksud yang nyata akan tersiarnya tuduhan itu, dihukum karena menista, dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp.4.500," kata Sardjijono.

Untuk unsur-unsur hukum pasal 310 ayat (1), Sardjijono tidak menguraikannya. Guru Besar yang pernah menjadi anggota Kepolisian ini menerangkan, yang ingin Sardjijono ulas adalah adanya bestandelen delicts atau delik utamanya.

Sardjijono kemudian menguraikan, pencemaran nama baik berkaitan dengan bestandelen delicts atau delik utamanya, bahwa disitu ada tuduhan tentang suatu hal kepada orang lain.

"Ada mens rea atau adanya niat seseorang untuk melakukan kejahatan disitu. Tuduhan itu dimaksudkan agar diketahui umum atau orang banyak," jelas Sardjijono.

Baca Juga: Sidang Gugatan Sederhana, PT Dove Chemcos Indonesia Anggap PT Sapta Permata Buat Kesepakatan Sepihak

Bestandelen delict pada pasal 310 KUHP ada dua, sambung Sardjijono, pertama adalah menuduh seseorang terhadap suatu hal, yang kedua adalah dan dalam tuduhan itu ada mens rea, agar tuduhan itu diketahui orang banyak. 

Cilegon dalam

Sholeh kemudian bertanya, lalu bagaimana jika tuduhan itu dilakukan di medsos? Apakah hal ini masuk ruang lingkup delik pencemaran nama baik?

Guru Besar dibidang Ilmu Hukum Administrasi ini kembali menjelaskan, yang namanya pencemaran nama baik itu konsep dasarnya adalah lisan maupun tulisan.

Sardjijono kemudian ditanya tentang Surat Keputusan Bersama (SKB) yang ditanda tangani Polri, Menkominfo dan Kejaksaan Agung terkait dengan UU ITE ketika bentuk penghinaan tersebut disampaikan di grup WhatsApp, maka hal tersebut tidak termasuk dalam ruang lingkup yang diatur dalam pasal 27 ayat 3 UU ITE. 

Menanggapi hal ini, Sardjijono menjelaskan, esensi dari Surat Keputusan tersebut tidak mengikat untuk umum. Yang memiliki ikatan hukum secara umum adalah peraturan.

"Sejak peraturan itu ditetapkan  kedepannya. Peraturan itu bersifat abstrak yang artinya belum terjadi. Dan jika nantinya terjadi sesuatu, maka peraturan inilah yang akan mengikatnya," jelas Sardjijono.

Masih berkaitan dengan SKB, Sardjijono mengatakan bahwa SKB merupakan hukum yang tidak bersifat nasional. 

"SKB sendiri bersifat teknis bukan membuat suatu norma. Undang-Undang yang dibuat secara normatif, akan diketahui bagaimana teknis pelaksanaannya, dalam melaksanakan Undang-Undang itu,' tandasnya.

Jika kemudian SKB menganulir suatu norma, didalam konsep dan teori hukumnya, maka hal tersebut sangatlah bertentangan.

Kembali ke pasal 27 ayat 3 Undang-Undang nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), Sardjijono menegaskan bahwa penjelasannya ada pada UU No. 19 tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

"Pada pasal 27 ayat 3 UU No. 11 tahun 2008 mengacu pada ketentuan pencemaran nama baik dan atau fitnah yang diatur dalam KUHP,"jelasnya.

Baca Juga: Hakim Peringatkan Agar PT. Sapta Permata Hadirkan Direktur Yenny Widya

Oleh karena itu, Sardjijono mengatakan, jenis pasal 27 ayat 3 UU No. 11 tahun 2008 itu terdapat pada pasal 310 dan pasal 311 KUHP.

Dengan pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 50/PUU-VI tahun 2008, Sardjijono menerangkan, dapat ditarik kesimpulan bahwa bukan sebuah delik pidana yang melanggar pasal 27 ayat 3 UU ITE jika muatan konten yang ditransmisikan, didistribusikan dan dapat diaksesnya itu berupa penghinaan dengan kategori cacian, ejekan dan atau kata-kata tidak pantas. Dan hal ini diatur dalam pasal 315 KUHP.

Salah satu kuasa hukum Wakil Bupati meminta pendapat ahli, apakah WA itu tidak termasuk dalam SKB? 

Ahli menjawab, bukan merupakan delik penghinaan dan atau pencemaran nama baik dalam hal konten disebarkan melalui sarana grup percakapan yang bersifat tertutup atau terbatas.

"Kalau orangnya yang ada di grup itu jumlahnya satu juta, maka grup tersebut masuk kategori umum," kata Sardjijono.

Sardjijono kemudian menjabarkan tentang penerapan hukum pidana, kategori perbuatan pidana itu adalah perbuatan yang melawan hukum.

Untuk menentukan apakah perbuatan yang dilakukan itu adalah perbuatan pidana, haruslah diperhatikan syarat formilnya seperti alat bukti. 

Kasus ini berawal dari perseteruan Bupati Bojonegoro dan wakilnya di grup WhatsApp. Anna disebut menulis sesuatu di grup WA yang dinilai menyudutkan Budi Irawanto atau Wawan.

Tersinggung dengan ucapan Anna, Wawan melayangkan pengaduan ke polisi terkait dugaan pencemaran nama baik. Surat pengaduan itu ditandatangani Wawan pada 9 September 2021. Di dalam surat pengaduan itu juga dilampirkan sejumlah alat bukti yakni adalah transkrip percakapan di sebuah grup WhatsApp.

Dalam surat pengaduan, Wabup Wawan mengadukan Bupati Anna yang menulis beberapa hal yang dianggapnya telah menuduh serta memberikan informasi kepada publik yang belum pasti kebenarannya.ys

Editor : Redaksi

Berita Terbaru