JAKARTA (Realita)- Gagasan Denny JA tentang “agama sebagai warisan kultural bersama” dapat dipandang sebagai mazhab baru dalam sosiologi agama. Ini disiplin ilmu yang dirintis oleh Emile Durkheim dan Max Weber, Kemudian muncul dalam karya-karya Peter L. Berger, Robert N. Bellah, dll.
Mereka melihat agama sebagai realitas sosial, sementara Denny JA melihatnya sebagai warisan kultural.
Baca juga: BP4 Jateng Tegas Menolak Perkawinan Beda Agama
Demikian dikatakan Ahmad Gaus dalam diskusi buku "Era Ketika Agama Menjadi Warisan Kultural Milik Bersama: Sembilan Pemikiran Denny JA Soal Agama di Era Google" yang diadakan oleh Laboratorium FISIP Universitas Bangka Belitung (UBB), pada Kamis, 14 Desember 2023.
Selain Gaus, tampil pula sebagai narasumber Michael Jeffri S.. dosen Sosiologi UBB, dan Rozi, dosen Agama Islam UBB sebagai moderator.
Diskusi yang dihadiri puluhan peserta dan berlangsung di Balai Besar Peradaban itu dibuka oleh Dr. Diana selaku Wakil Dekan FISIP dan Abdul Fatah, MA selaku Kepala Laboratorium FISIP
Wajah Agama lebih Humanis
Menurut Gaus, Denny JA menawarkan paradigma yang utuh mengenai cara beragama di era baru yang ia sebut sebagai Era Google. Cara beragama di era Google jelas berbeda dengan cara beragama di era sebelumnya. Sebab Google mengubur realitas lama, melahirkan realitas baru. Dan agama harus menyesuaikan diri.
Sebagai sebuah paradigma, ungkapnya, pandangan Denny JA menawarkan cara pandang yang sama sekali berbeda dengan cara pandang yang pernah ada dalam sejarah perjumpaan agama-agama.
Cara pandang lama mengedepankan agama sebagai kebenaran mutlak. Masing-masing agama mengklaim keselamatan sebagai miliknya sendiri. Di luar agama mereka semuanya sesat dan masuk neraka.
Cara pandang lama seperti ini, lanjut Gaus, kini telah mengalami anomali. Ia tidak bisa lagi menjelaskan realitas di era Google yang memberi tempat kepada semua tradisi keimanan untuk muncul dan menegaskan diri dengan dukungan nilai-nilai baru seperti toleransi, kesetaraan, kebebasan dan hak asasi manusia.
“Saat ini yang paling cocok dengan era sekarang ialah pandangan Denny JA, yang menarik agama dari wilayah dogma yang tertutup ke ranah budaya yang terbuka," tegasnya.
Ia menambahkan bahwa selama ini agama dilihat sebagai sesuatu yang multak, final, dan tidak dapat berubah. Maka kehidupan beragama menjadi kaku. Tidak rileks.
Bahkan agama menjadi mudah ditransformasikan menjadi kekuatan konfliktual. "Sebaliknya, pandangan Denny JA membuat wajah agama menjadi lebih humanis. Ini yang relevan untuk kehidupan beragama saat ini," imbuh Gaus lagi.
Menerobos Pemahaman Umum
Sementara itu Michael Jeffri S..mengatakan bahwa di dalam tradisi agamanya sendiri, Kristen, terjadi pergulatan dalam memosisikan keimanan Kristen ketika bertemu dan berinteraksi dengan tradisi keimanan yang lain.
Bahkan di dalam internal Kristen sendiri, ujarnya, muncul denominasi dan pandangan yang berbeda-beda. Namun sejauh ini perbedaan-perbedaan itu dibiarkan saja.
"Saya tidak tahu apakah ini lahir dari pandangan teoogis atau kesadaran kultural," tegasnya. Ia menambahkan, gagasan Denny JA menawarkan jalan baru.
Gagasan itu mempertemukan segala sesuatu yang dulu dianggap berbeda, ternyata sebenarnya tidak. Asalkan kita mau masuk dari pintu yang sama, yaitu pintu budaya, alih-alih pintu teologi yang secara apriori menegaskan perbedaan.
Menurut Jeffri, pemikiran Denny JA menerobos pemahaman umum yang meyakini agama sebagai milik komunal. Padahal banyak nilai-nilai agama yang bisa di-share dan diperjuangkan bersama seperti keadilan, kesetaraan, toleransi, perdamaian. dsb.
“Dengan pemahaman seperti itu, maka dapat dikatakan bahwa agama memang warisan kultural milik bersama," pungkasnya.
Baca juga: Dispendukcapil Surabaya Catat Akta Perkawinan Beda Agama setelah Putusan Pengadilan
Sembilan Pemikiran Denny JA
Buku “Era Ketika Agama Menjadi Warisan Kultural Milik Bersama: Sembilan Pemikiran Denny JA Soal Agama di Era Google., diterbitkan oleh Cerah Budaya Indonesia (CBI), Maret 2023.
Di dalamnya terdapat sembilan bab yang masing-masing membahas mengenai aspek-aspek pemikiran Denny JA seputar femomena agama mutakhir dan spiritualitas, yakni:
Bab 1, Iman Berbasis Riset. Bab 2, Manusia: Dengan atau Tanpa Agama. Bab 3, Kitab Suci di Abad 21. Bab 4, Moderasi Beragama dan Kesetaraan Warga.
Bab 5, Hijrah Menuju Demokrasi. Bab 6, Perebutan Tafsir Agama. Bab 7, Menggandeng Sains dan Jalaluddin Rumi.
Bab 8, Spiritualitas Baru Abad 21, dan Bab 9, Agama: Warisan Kultural Milik Bersama Umat Manusia.
Gaus juga meringkas pemikiran Denny JA seputar agama di era Google dalam sembilan butir sbb:
1. Pentingnya pendekatan kuantitatif untuk membuat perbandingan soal peran agama di masyarakat.
2. Para arkeolog berjasa mengkonstruksi ulang kisah agama.
3. Setelah Nabi tiada, tiada pula tafsir tunggal agama. Yang tersisa adalah perebutan tafsir. Penting kita memilih tafsir yang sesuai dengan prinsip HAM.
Baca juga: Nikah Beda Agama Sama dengan Zina Seumur Hidup
4. Muslim Eropa memgembangkan tafsir Islamnya sendiri yang sesuai dengan kultur Eropa. Kita pun di Indonesia tak perlu terikat dengan tafsir kultur Timur Tengah.
5. Bagi yang tak meyakini agama, agama dapat dinikmati sebagai sastra. Apa yang terjadi pada kitab suci La Galigo dapat juga terjadi pada agama lain.
6. Pentingnya mencari intisari semua agama berdasarkan the science of happiness dan neuro science. Denny JA mengembangkan spirituality of happiness.
7. Mendekati agama sebagai kekayaan kultural milik bersama. Merayakan hari besar agama lain sebagai social gathering lintas agama.
8. LGBT sebagai isu HAM masa kini. Pentingnya mengembangkan tafsir agama yang tidak mendiskriminasi kaum LGBT.
9. Perlunya menggandeng Science dan Jalaluddin Rumi.
Itulah ringkasan sembilan pemikiran Denny JA dari sembilan esai dalam buku yang ditulis oleh Ahmad Gaus.
Di antara pemikiran Denny JA yang terpenting dan sangat dibutuhkan saat ini, ujar Gaus, ialah pandangannya bahwa agama perlu didekati sebagai kekayaan kultural milik bersama umat manusia.
Pandangan semacam ini menjadi modal sosial dan modal kultural untuk membangun masyarakat yang damai dan toleran.tom
Editor : Redaksi