WASHINGTON- Di era teknologi yang berkembang pesat, sebagian masyarakat mulai kehilangan rasa percaya terkait bobot berita yang kian merosot. Masa depan jurnalisme semakin samar dan tidak jelas, salah satunya karena AI (Artificial Intelligence) atau kecerdasan buatan yang mengubah kerja jurnalisme dan bagaimana cara konsumsinya.
Hal itu disampaikan oleh mantan Direktur Google News Jim Albrecht dalam tulisan kolomnya di The Washington Post, dirinya menyebut kecerdasan buatan ini selayaknya serigala yang dapat mengancam seekor kancil. Dalam artian, kecerdasan buatan bisa mengancam cara kerja jurnalisme dan lingkupnya.
Baca juga: Terkait Paten AI, Google Diwajibkan Bayar Rp 2,6 Triliun
Mengulas ke masa internet mulai gandrung, Albrecht menyebut dulu industri media memiliki gesekan dengan raksasa teknologi mengenai hasil pencarian dan model kompensasi. Kini, masalah baru pun hadir kembali.
"Bagi saya, melihat penerbit saling berdebat tentang pembayaran hasil pencarian, sementara Large Language Models berkembang dengan cepat dan hening. Seolah-olah seperti menonton orang bersitegang tentang urusan bunga di sebuah pesta pernikahan," kata Albrecht dikutip dari Futurism, Senin (26/2/2024).
Lanjutnya, di era sekarang banyak platform yang menaruh tulisan-tulisan berita tanpa menghubungkannya dengan media asal berita tersebut. Mereka dapat dengan mudah mengambil berita dan menulis ulang menggunakan robot, setelah itu menerbitkannya menjadi produk mereka.
Albrecht menegaskan jika chatbot menjadi cara utama konsumen untuk menentukan dan menginterpretasi berita. Dengan demikian, perselisihan mengenai kompensasi dan perubahan algoritma dianggap bukan masalah, karena pembaca tidak merasa tertarik untuk pergi ke situs penerbit.
Baca juga: Baterai LFP Memang Lebih Murah dari Nikel
Model pendapatan industri media saat ini tidak hanya terbalik, malahan hancur. "Lalu, dalam ekosistem berita yang ditopang oleh kecerdasan buatan ini, siapa yang menjadi penengah informasinya?" tanya Albrecht.
Mantan karyawan Google ini bukan orang pertama yang meragukan masa depan dunia jurnalistik. Sebelumnya, media The New York Times (NYT) melayangkan gugatan kepada OpenAI terkait hak cipta.
NYT mengklaim OpenAI telah mencatut produk mereka untuk membangun produk pesaing unggul. Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan Albrecht, produk yang dapat mengganti pekerjaan jurnalis dan memproduksi ulang untuk disebarluaskan.
Baca juga: Satu Pena Awards 2023, Beri Penghargaan untuk Putu Wijaya dan Komarudin Hidayat
Albrecht menerangkan selama bertahun-tahun, platform seperti Google dan Facebook telah membela diri terhadap tuduhan pencurian pendapatan dengan alasan bahwa mereka hanya kendaraan untuk distribusi berita. Kini dengan hadirnya Chat GPT, Microsoft Bing Search, dan Google Search Generative Experience ke dunia digital, tiba-tiba mereka menyebut mereka sebagai pencipta konten berita.
Dalam pandangan Albrecht, perusahaan media perlu memahami bahwa ekspektasi konsumen akan berubah secara dramatis dengan adanya kecerdasan buatan. Di masa lalu, penerbit membuat artikel, mencetaknya, dan mendistribusikannya kepada pembaca. Namun, dengan perubahan ini, fokus harus beralih pada interaksi dengan pengguna, bukan hanya pembaca.
"Di masa depan penerbit tidak perlu terlalu memikirkan artikel tersebut dan lebih memikirkan percakapan dengan pengguna. Pengguna akan semakin jarang berinteraksi dengan artikel aslinya dan malah membicarakan artikel tersebut dengan apa yang disebut oleh industri teknologi sebagai 'Intelligence Agents'," tutup Albrecht.ik
Editor : Redaksi