61 Persen Anggota DPR Pebisnis, ICW Ingatkan Resikonya

realita.co
Pelantikan anggota DPR RI, Selasa (1/10) lalu. Foto: Setpres

JAKARTA- Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat bahwa 61% dari anggota DPR 2024–2029 yang baru saja dilantik merupakan pebisnis.

Sekadar informasi, terdapat 580 anggota DPR yang telah dilantik awal pekan ini, Selasa (1/10/2024).

Baca juga: Rahmat Effendi Diduga Terima Suap Rp 10 Miliar

Adapun temuan ICW soal dominasi pebisnis di Parlemen Senayan itu merupakan hasil penelusuran cepat/pendahuluan sebagaimana tercantum dalam Keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) No.1206/2024.  

Sebesar 61% anggota DPR yang dimaksud ICW dalam temuannya itu setara dengan 354 orang. Mereka diketahui memiliki latar belakang atau afiliasi dengan sektor bisnis.  ICW menilai temuan permasalahan itu tidak jauh dari permasalahan laten DPR, yakni 'lingkaran setan' korupsi politik.

Biaya politik yang harus dikeluarkan untuk berpartisipasi dalam kontestasi elektoral di Indonesia dibuat menjadi begitu mahal, baik untuk biaya kampanye resmi maupun politik uang. 

  "Oleh karenanya, mereka yang mampu turut serta dalam politik praktis maupun pemilihan umum hanyalah individu-individu yang memiliki sumber daya material yang kuat atau setidaknya harus memiliki kedekatan dengan para pemodal-pemodal kaya," demikian dikutip dari keterangan resmi ICW, Minggu (6/10/2024).  Situasi tersebut dinilai ICW akan menimbulkan perburuan rente.

Artinya, biaya politik yang mahal akan 'dilunaskan' melalui kebijakan-kebijakan partisan atau bahkan tidak jarang melalui korupsi anggaran-anggaran publik. 

ICW lalu menyitir data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), bahwa DPR bahkan menjadi salah satu lembaga terkorup. Sejak 2004 hingga 2023, terdapat 76 kasus korupsi yang melibatkan anggota DPR. 

Selain biaya politik yang terlewat mahal, transparansi pengelolaan dana partai politik yang minim serta tidak memadainya regulasi yang dapat menangkal masuknya kepentingan-kepentingan oligarki melalui sumbangan-sumbangan legal maupun ilegal kepada partai politik menjadikan terjadinya pembajakan demokrasi di Indonesia.  "Ketergantungan partai politik dan para calon peserta pemilu kepada big donors menyebabkan politik transaksional menjadi suatu hal yang lumrah," papar lembaga studi dan aktivisme antikorupsi itu.

Baca juga: Terima Suap dari Perusahaan Konstruksi, Wapres Ditahan

Konsekuensinya, situasi tersebut ikut memengaruhi fungsi legislasi DPR. Misalnya, DPR dinilai cenderung lebih kilat dan secara tidak partisipatif dalam membahas RUU yang jelas-jelas ditentang oleh publik dan mengabaikan sejumlah RUU yang bertahun-tahun mandek sekalipun telah didesak untuk segera disahkan. 

Dari total 263 RUU di Prolegnas 2019–2024, hanya 26 RUU yang berhasil disahkan hingga akhir masa jabatan DPR 2019–2024.  Melihat temuan sementara ini, ICW memperkirakan tren buruk di atas bakal terus berlanjut.

"Dengan banyaknya latar belakang politisi pebisnis di DPR periode ini, konflik kepentingan antara kepentingan privat  (mengakumulasi keuntungan bisnis) dan kepentingan publik (yang mungkin tidak secara langsung 'menghadirkan uang') menjadi sulit terhindarkan," tulis ICW. 

Untuk itu, ada lima rekomendasi yang diberikan oleh ICW untuk menyelesaikan persoalan-persoalan di atas.

Pertama, adanya mekanisme manajemen konflik kepentingan melalui Kode Etik DPR atau setidak-tidaknya diatur secara internal oleh setiap partai politik.

Baca juga: Bupati Muara Enim Nonaktif Diwajibkan Kembalikan Uang Suap Rp 3 M

Kedua, penguatan kelembagaan partai politik, baik melalui proses kaderisasi yang lebih demokratis maupun dengan mengupayakan independensi sumber pembiayaan politik agar tidak tersandera kepentingan pendonor besar. 

Ketiga, reformasi skema pendanaan politik agar lebih transparan dan tidak terlalu mahal.

Keempat, mendorong Undang-undang atau paket regulasi yang komprehensif guna menangani konflik kepentingan di jabatan publik. 

Kelima, pengawasan secara kolektif yang lebih intens oleh masyarakat terhadap anggota DPR dan proses pengisian jabatan di komisi-komisi nantinya agar tidak sarat akan konflik kepentingan.bis

Editor : Redaksi

Politik & Pemerintahan
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru