BLITAR (Realita)- Sabtu (8/10/2022), Santuwi l, lelaki asal dusun Cepoko RT. 02/04 desa Bendowulung kelahiran Blitar, merasa sedih bercampur kalut melihat objek sawah peninggalan ibunya almarhum Sony bisa dikuasai orang lain seluas 462m2 atau sekitar 33 ru.
Hal tersebut baru diketahuinya setelah Santuwi dibantu didampingi Wiku Umboyono, dan jajaran LBH setempat mendatangi balai desa Bendowulung, hari ini.
Baca Juga: Lahan Dicaplok PT Swarna Cinde Raya, Masyarakat Desa Pangkalan Benteng Tuntut Keadilan
Mereka bermaksud klarifikasi bersama ketua LBH Cinta Lingkungan dan Pencari Keadilan Kabupaten Blitar Sodikin, yang beralamat di Lingkungan Jurang manjing Rt. 03/01 Kelurahan Garum kecamatan Garum. Namun maksud tersebut ditanggapi dengan nada menolak kehadirannya, seperti di jelaskan Sodikin melalui pesan WA pada realita.co.
"Saya sebagai ketua LBH menyayangkan perlakuan lurah terhadap saya dan teman yang akan mendampingi (klien) orang yang awam hukum dan diduga lahanya diserobot oleh orang yang belum diketahui oleh klien saya. Seharusnya lurah ketika mediasi tidak menolak kami, saya sangat kecewa dengan sikap lurah yang arogansi,"tulis Sodikin dalam keteranganya pada Realita.co.
Di tempat terpisah Wiku Umboyono menambahkan bahwa di dalam SHM hak milik no. 161 atas nama Sony (almarhum) adalah ibu kandung Santuwi.
SHM tersebut diterbitkan pada tahun 1985 dengan surat Ukur tanggal 5/1/1985 no. 146 dengan luas tanah : 1080m2 atau sekitar 77ru dan dikeluarkan pada tanggal 27 maret 1985 oleh Kepala Kantor Agraria kabupaten Blitar.
"Namun didalam SPPT PBB terdapat perbedaan yang menyolok terkait luas di SPPT hanya 618m2, satu objek beda luas,"ucap Wiku.
Kamituwo Bendowulung dikonfirmasi melalui sambungan telepon juga memberi keterangan soal pembeli yang memiliki bukti petok D dan SPPT.
Baca Juga: Rebutan Lahan, Ayah dan Anak Dibacok Ketua RT
Kepala desa Bendowulung Edi Subagyo di konfirmasi via telephone Sabtu, 8/10/2022, memberikan keteranganya terkait kronologi kasus ini. Bahwa para pihak sudah didamaikan dan tidak ada masalah.
Menurut Sodikin ada dua hal yang harus dipahami warga dengan apa yang dimaksud Sertifikat dan PBB.
Seperti kita ketahui Bersama terdapat beberapa dokumen yang melekat pada suatu objek berupa benda tidak bergerak seperti tanah dan bangunan, yaitu diantaranya Sertifikat, Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) dan Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang Pajak Bumi dan Bangunan (SPPT-PBB) yang berfungsi sebagai penanda sahnya secara hukum objek tersebut di mata hukum. Dimana masing-masing dokumen tersebut dikeluarkan oleh instansi yang berbeda dan memiliki fungsi yang berbeda pula.
SPPT-PBB (yang lebih kita kenal PBB). Untuk Sertifikat dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN), sedangkan SPPT-PBB manjadi domainnya Kantor Pelayanan Pajak (KPP), tapi saat ini pengelolaan sudah dilimpahkan ke Pemerintah Daerah masing-masing.
Baca Juga: Konflik Lahan Garapan di Desa Sukaharja, kian Memanas
Sebagai tindak lanjut kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal Berdasarkan PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, sertifikat adalah surat tanda bukti hak atas tanah dan bangunan. Sertifikat dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) melalui kantor pertanahan masing-masing wilayah. Biasanya sertifikat dicetak dua rangkap, yang satu rangkap disimpan di kantor BPN sebagai buku tanah dan satunya dipegang masyarakat sebagai tanda bukti kepemilikan atas tanah dan bangunan. Dalam Sertifikat tanah tersebut tercantum secara detil mengenai tanah, baik data fisik maupun data yuridis seperti luas, batas-batas, dasar kepemilikan, data-data pemilik dan data-data lainnya (data bangunan juga tidak dicantumkan dalam sertifikat, jika di atas tanah tersebut ada bangunan, maka dalam sertifikat hanya tertera bahwa di atas tanah tersebut ada bangunan). Sedangkan SPPT diatur dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). SPPT merupakan dokumen yang berisi besarnya utang atas Pajak Bumi dan Bangunan yang harus dilunasi oleh Wajib Pajak pada waktu yang telah ditentukan. Di dalam SPPT hanya menentukan bahwa atas objek pajak tersebut dibebankan hutang yang harus dibayarkan oleh subjeknya.SPPT PBB bukan merupakan bukti kepemilikan objek pajak, dan karenanya sering kita temukan adanya nama yang tercantum di sertifikat berbeda dengan nama yang tercantum dalam SPPT PBB, hal ini bisa terjadi karena pemilik tidak melakukan balik nama SPPT PBB setelah dilakukannya peralihan hak atau balik nama sertifikat atas tanah dan bangunan tersebut. Dalam pembayaran PBB yang perlu disesuaikan adalah Nomor Objek Pajak (NOP)-nya.
Dari hal – hal tersebut jelaslah dapat dipahami bahwa yang merupakan tanda bukti hak atas tanah dan bangunan yang sah adalah sertifikat.
Dikatakan Wiku, karena hal tersebut Santuwi akhirnya meminta LBH untuk melimpahkaan atau dengan kata lain meminta LBH sebagai kuasa atas persoalan hukum yang dialaminya.fe
Editor : Redaksi