Ketua MA Didesak Awasi Ketua PN Batam Terkait Dugaan Mafia Hukum

JAKARTA (Realita) - Ketua Satuan Tugas   (Satgas) Anti Mafia Peradilan Merah Putih, Dr Joko Sasongko menyatakan, Ketua  Mahkamah Agung (MA) Prof. Dr. H. M Syarifuddin,SH., MH  dan Badan Pengawas MA untuk aktif melakukan pengawasan terhadap  perilaku Ketua Pengadilan Negeri (PN) Batam Wahyu Imam Santoso, yang diduga terlibat praktek mafia hukum  terkait “peradilan sesat yang menimpa Dedy Supriadi bersama anaknya, Dwi Buddy Santoso, pada Rabu (09/06). 

"Dedy dan Dwi merupakan korban dugaan Mafia hukum yang divonis bersalah dengan hukuman dia tahun penjara atas perbuatan yang tidak dilakukannya," ungkap Joko. 

Baca Juga: KPU Sudah Terima Salinan Putusan MA Soal Syarat Usia Minimum Cakada

Vonis tersebut berdasarkan Putusan majelis hakim yang diketuai oleh Dwi Nuramanu, SH di Pengadilan Negeri Batam, dengan   Nomor: 170/Pid.B/2020/PN.Btm pada tanggal 18 Mei 2020.

Dugaan peradilan sesat terhadap orang tua dan anak itu bermula adanya dugaan laporan palsu  oleh  Kasidi alias Ahok, pedagang besi tua di Batam yang juga  Direktur PT. Karya Sumber Daya,  melalui kuasa hukumnya bernama Minggu Sumarsono, sesuai  laporan polisi Nomor: LP-B/34/V/2019/SKPT-Kepri, dugaan tindak pidana pasal  372 KUHP, dengan terlapor adalah Jasid Shipyard & Engineering (M) SDN, BHD dan Dedy Supriadi, Dwi Buddy Santoso, dan Saw Tun alias Alamsyah  pada tanggal  2 Mei 2019. 

Secara ringkas,  Kasidi  alias Ahok (pelapor), mengkonstruksikan secara palsu dalam laporannya telah dirugikan sebesar  Rp. 3,6 miliar akibat Dedy Supriadi  dan Dwi Buddy Santoso “menggelapkan” barang, berupa  besi scrap crane noel seberat  125 ton besi dan 60 ton tembaga, dan diakui milik Kasidi yang dibeli dari Mohammad Jasa bin Abdullah.

Padahal permasalahan antara Kasidi alias Ahok dengan Mohammad Jasa bin Abdullah  telah selesai, dengan cara mengurangi jumlah hutang Kasidi kepada Mohammad Jasa, berdasarkan bukti Surat Kesepakatan Bersama Tentang Sisa Pembayaran Penjualan Besi Scrap Impsa 4 Unit Crane Container tanggal 24 Mei 2019.

Karena  permasalahan antara Kasidi dengan Mohammad Jasa sudah ada perdamaian, seharusnya laporan polisi Nomor: LP-B/34/V/2019/SKPT-Kepri tanggal 2 Mei 2019 dicabut. Namun oleh Kasidi laporan tersebut tidak dicabut setelah mengetahui ada sebagian besi tua milik Mohammad Jasa seberat 58.490 ton dibeli oleh Usman alias Abi dan Umar, musuh beratnya dalam perdagangan besi tua di Batam. 

Rupanya, syahwat Kasidi menggelora ingin memenjarakan kakak beradik Usman dan Umar dengan tujuan menghancurkan reputasi dan bisnis rivalnya itu. 

Kemudian dilakukan legal engineering secara sistemik dengan dugaan memanfaatkan jaringan yang dimilikinya di Polda Kepri, Kejati Kepri dan Pengadilan Negeri Batam,  dalam sebuah praktek yang sering disebut sebagai mafia hukum.

Pada tanggal 20 Januari 2020, JPU Kejati Kepri berdasarkan P-19 Nomor: B-74/L.10.4/Eoh.1/01/2020 memberi petunjuk kepada penyidik Polda Kepri agar menetapkan 3 orang sebagai tersangka, yakni Dedy Supriadi,  Dwi Buddy Santoso, dan Saw Tun alias Alamsyah. 

Nama Mohammad Jasa bin Abdullah, Direktur, Jasid Shipyard & Engineering (M) SDN, BHD yang menjadi terlapor utama dalam laporan polisi Nomor: LP-B/34/V/2019/SKPT-Kepri tanggal 2 Mei 2019 justeru tidak ikut ditetapkan sebagai tersangka dalam petunjuk JPU. Mohammad Jasa hanya menjadi saksi yang telah disumpah menjalani pemeriksaan.

“Ini maknanya pelaku rekayasa perkara tidak menghendaki Mohammad Jasa bin Abdullah menjadi hadir bersaksi di pengadilan. Karena kesaksiannya  dikhawatirkan dapat meruntuhkan bangunan konstruksi rekayasa yang sudah dibuat,“ lanjut Joko.

Dalam persidangan, JPU dari Kejati Kepri menuntut terdakwa  Dedy Supriadi bersama anaknya, Dwi Buddy Santoso dan Saw Tun dengan pasal 372 KUHP.

Padahal besi tua seberat  58.490 ton yang dijual para terdakwa kepada Sunardi dan Sunardi menjualnya kembali kepada Usman dan Umar, tidak ada kaitannya dengan Kasidi. 

Dedy Supriadi dan Saw Tun alias Alamsyah menjual besi tua seberat  58.490 ton kepada Sunardi atas perintah pemiliknya Mohammad Jasa bin Abdullah.

“Itu sebabnya besi scrap seberat seberat  58.490 ton tidak pernah disita penyidik untuk djadikan barang bukti  dalam perkara guna menguatkan tindak pidana yang dipersangkakan,”  ujarnya.

Masih segar dalam ingatan, pada 24 April 2019,  ketika tengah ngopi bareng,  kepada Dedy Supriadi koleganya bernama Saw Tun alias Alamsyah memperlihatkan dan membacakan  whatsapp messenger, yang baru diterimanya  dari Mohammad Jasa bin Abdullah, Direktur  Jasid Shipyard (M) SDN, BHD, bos  pedagang besi tua dari Negeri Jiran Malaysia di handphone merk Samsung J3 Pro.

”I also told Dedy to sell the old wheel scrap at 4500 rp per kilo” (Saya juga katakan kepada Dedy untuk menjual  besi tua dari roda-roda yang lama itu dengan harga Rp. 4500 per kilo).

Keesokan harinya, Jumat (26/4/2019) pukul 20.53, Mohammad Jasa bin Abdullah bertanya: “Alam scrap 5 lorries how many tons?  (Alam, besi tua 5 lorry itu berapa ton beranya?)“ lalu Alam menjawab pada pukul 20.58:” Asslamualaikum Sor, we able to out 4 lorries only Sir, totals 58.490 tons Sir, Rgds“ (Assalamualaikum, kami hanya dapat menjual keluar 4 lorry dengan seluruh berat 58.490 ton, Pak, Salam).

Percakapan lalu dilanjutkan melalui sambungan telepon. Pada pokoknya Mohammad Jasa bin Abdullah selaku pemilik barang besi tua roda-roda  yang ada Gudang PT. Ecogreen Oleochemicals yang disewanya, telah memerintahkan Dedy Supriadi pada tanggal 23 April 2019 untuk menjual seberat 100 ton, dengan harga  Rp 4500 per kilo gram, Kepada Saw Tun alias Alamsyah, Dedy Supriadi  membenarkan adanya perintah itu yang terkomfimasi dengan  bukti whatsapp messenger Mohammad Jasa bin Abdullah kepada Saw Tun alias Alamsyah pada tanggal 24 April 2019 tersebut. 

Dedy Supriadi melanjutkan kisahnya, Pada tanggal 26 April 2019 sekira pukul 8.00, ia memerintahkan anaknya Dwi Buddy Santoso untuk melakukan pemotongan besi tua crane noel. Dan mengeluarkannya dari lokasi pergudangan PT Ecogreen Oleochemicals, Lalu Saw Tun  meminta 4 Gate Pass Out dari PT. Ecogreen Oleochemicals, dengan tujuan pengiriman tertulis PT. Royal Standar Utama. 

Berdasarkan perintah dari   Mohammad Jasa bin Abdullah  tersebut, Dedy Supriadi lalu menjual besi seberat  58.490 tons kepada Sunardi  seharga      Rp. 263.205.000.

“Uang hasil penjualan besi tua tersebut diberikan kepada Mohammad Jasa bin Abdullah melalui stafnya Saw Tun alias Alamsyah sebesar 10.000 ringgit, sisanya dipakai oleh Dedy Supriadi untuk kepentingan operasional Jasid Shipyard (M) SDN, BHD di Batam” ujarnya.

Namun dalam penyidikan dengan tersangka Dedy dan Dwi,  handphone merk Samsung J3 Pro milik Saw Tun alias Alamsyah diambil oleh penyidik bernama Briptu Jefry R Simanjuntak, akan tetapi tidak untuk disita. 

Namun untuk disembunyikan, diduga untuk mendukung dugaan rekayasa persangkaan palsu. 

Baca Juga: Soal Putusan MA Kabulkan Gugatan Partai Garuda, Pengamat: Bertentangannya di Mana?

Kuasa hukum Dedy Supriadi telah melaporkan sejumlah penyidik Polda Kepri ke Karopaminal Div Propam Mabes Polri.  

Cilegon dalam

Dalam laporan tersebut terungkap pada tanggal 29 September 2020, Wadir Reskrimum Polda Kepri, AKBP Ruslan Abdul Rasyid, S.I.K, MH, memanggil penyidik Briptu Jefry R Simanjuntak terkait penyitaan Handphone Samsung milik  Saw Tun yang  melakukan penyitaan tanpa ada Surat Perintah Penyitaan dan hanya memberikan Tanda Terima kepada Saw Tun. 

Handphone tersebut disita dari Saw Tun setelah yang bersangkutan telah menjalani proses hukuman di Rutan Batam sekitar bulan Juni 2020. 

Bukti Surat Kesepakatan Bersama Tentang Sisa Pembayaran Penjualan Besi Scrap Impsa 4 Unit Crane Container tanggal 24 Mei 2019 juga disembunyikan penyidik.

Tatkala menjalani pemeriksaan oleh atasannya, Briptu Jefry R Simanjuntak tidak dapat menjawab apa tujuan penyitaan Handphone milik Saw Tun tersebut yang tidak pernah dilaporkan kepada pimpinan atau dibuatkan Penetapan dari Pengadilan Negeri. 

Sementara itu Ipda Ridho Lubis, SH dan Briptu Jefry R Simanjuntak mengakui kepada Wadireskrim Polda Kepri,  AKBP Ruslan Abdul Rasyid, SIK, MH, bahwa apabila Handphone tersebut dijadikan barang bukti dalam proses penyidikan LP-B/34/V/2019/SPKT – KEPRI, tanggal 02 Mei 2019  dilakukan maka unsur pasal 372 KUHP dan/ atau pasal 363 KUHP tidak akan terbukti.

Meskipun JPU menuntut memakai pasal 372 KUHP, namun majelis hakim memvonis para  terdakwa Dedy Supriadi, Dwi Buddy Santoso dan Saw Tun alias Alamsyah bersalah melanggar pidana “Pencurian dalam Pemberatan” sebagaimana  yang dimaksud Pasal  363 ayat (1) ke-4 KUHP. 

Pasal ini diduga merupakan “pesanan” Kasidi alias Ahok agar  dapat sekaligus menjerat  rivalnya dalam perdagangan besi tua di Batam yakni Usman alias Abi dan bersama adiknya yang bernama  Umar, dengan dikenakan Pasal 480 KUHP, dalam praktek dugaan mafia hukum. 

Tanpa ada laporan polisi dari siapapun, tiba-tiba pada tanggal 20 Januari 2020, berdasarkan P-19  Nomor: B-74/L.10.4/Eog.1/01/2020, JPU memberikan petunjuk  kepada penyidik agar  ditetapkan 3 orang menjadi tersangka yakni Usman Alias Abi, Umar dan Sunardi, dengan dikenakan pasal 480 KUHP.

Penambahan pasal 363 KUHP sebagai pasal alternatif tanpa melewati proses gelar perkara dan setelah Ipda Ridho Lubis, SH dan Briptu Jefry R Simanjuntak dipanggil di ruang kerja mantan petinggi Polda Kepri. 

Pada tanggal 30 Juli 2020 saat sebuah acara keagamaan, petinggi Polda Kepri memanggil seorang perwira penyidik karena ditelpon oleh mantan petinggi Polda Kepri dimana saat itu mempertanyakan perkara dugaan tindak pidana Pasal 480 KUHP yang  belum dilakukan percepatan oleh Ditreskrimum Polda Kepri agar dapat segera P-21.  

Akhirnya pada tanggal 5 Mei 2021, berkas perkara atas nama Usman alias Abi, Umar dan Sunardi dinyataka P-21 oleh Kejati Kepri, yang kemudian ternyata mengandung maladministrasi.

Baca Juga: Wacana Duet Anies-Ahok di Pilgub DKI Jakarta Bisa Jadi Kenyataan, Pengamat: Lupakan Masa Lalu!

Menurut Dr. Joko Sasongko, konon berkas atas nama tersangka Usman bin Abi dan Umar sudah dinantikan oleh KPN Batam, Wahyu Imam Santoso, SH, MH, yang telah berhasil “mengawal”  Dedy Supriadi dan anaknya Dwi Buddy Santoso hingga divonis 2 tahun penjara, seperti harapan Kasidi alias Ahok.

Padahal berdasarkan hasil TPM tanggal 27 April 2021, KPN Batam, Wahyu Imam Santoso, SH, MH sudah harus berangkat mutasi menjadi KPN Denpasar, dan telah keluar SK nya pada tanggal 7 Juni 2021.  

Menurut informasi, Wahyu Imam Santoso, SH, MH meminta agar serah terimanya ditunda hingga tanggal 7 Juli 2021, dengan dalih gerbong mutasi belum dapat berjalan, lantaran Wakil Ketua PN Jakarta Pusat yang akan diduduki Ketua PN Denpasar belum bergeser. Diduga ia memang hendak menunggu pelimpahan berkas perkara atas nama Usman bin Abi dan Umar, sesuai permintaan Kasidi alias Ahok.

“Kasus ini harus mendapat perhatian dari Jaksa Agung RI, Ketua Mahkamah Agung RI, dan Kapolri, agar langkah para mafia hukum di Batam ini terhenti," ujarnya.

Kasidi alias Ahok sudah berkoar-koar ke sejumlah koleganya akan mengkondisikan di Kejati Kepri agar Usman alias Abi dan Umar ditahan.

Ketika ditanya wartawan bagaimana cara membuktikan adanya hubungan antara Kasidi alias Ahok dengan Wahyu Imam Santoso, SH, MH, Ketua PN Batam? Ketua  Satgas Anti Mafia Peradilan Merah Putih ini menegaskan tidak sulit.” Cukup membuka Call Data Records no HP atas nama Kasidi alias Ahok dan Wahyu Imam Santoso, SH, MH. Berdasarkan itu akan ditemukan fakta intensitas komunikasi keduanya," ujannya.

Dia mengungkapkan suatu hari, Kasidi alias Ahok  mengalami hubungan telepon  salah sambung.  

Awalnya ia berpikir hakim yang menerima sambungan telponnya adalah Wahyu Imam Santoso, SH, MH. Ternyata telpon yang tersambung milik seorang hakim di PN Batam bernama YAP, SH.M.H.

“Kalau bisa Bapak jangan keluar dari PN Batam dulu. Tunggu perkara yang itu masuk dulu,” ujar Kasidi alias Ahok ditirukan hakim YAP, SH, M,H. Ahok lalu menutup sambungan teleponnya.

Presiden Joko Widodo pernah mengultimatum aparat hukum agar tidak menggigit orang yang tidak bersalah, karena dapat merusak iklim investasi.  Namun tampaknya, titah Presiden tersebut tidak digubris oleh jajaran penegak hukum di Kepulauan Riau. Praktek mafia hukum yang diorganisir secara sistemik oleh pelapor itu kini malah berlanjut. 

Sementara itu Kasidi alias Ahok ketika konfirmasi wartawan melalui komunikasi WhatsApp (WA) membantah telpon itu.

"Saya aja tidak kenal pak," Kata Ahok, Rabu (09/06) malam. hrd

Editor : Redaksi

Berita Terbaru