Guru Besar Unipma Nilai Putusan MK Soal AMJ Untungkan Incumbent

MADIUN (Realita) - Bagai mendapat durian runtuh. Perumpamaan ini layak menggambarkan nasib Wali Kota dan Wakil Wali Kota Madiun, Maidi-Inda Raya (MaDa). Selain memiliki kesempatan menjabat hingga 29 April 2024, masa tunggu MaDa untuk macung pemilihan kepala daerah (pilkada) dipastikan terpangkas.

‘’Tentu, empat bulan yang sangat berarti bagi Wali Kota dan Wakil Wali Kota,’’ kata Guru Besar Universitas PGRI Madiun (Unipma), Prof Parji, Rabu (27/12).

Baca Juga: Ruang Satu Kota Madiun, Pergi Untuk Kembali

Menurut Prof Parji, ada sejumlah keuntungan besar yang diterima MaDa pasca Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian gugatan terkait masa jabatan beberapa waktu lalu. Ya, MaDa memiliki hak menjabat tuntas selama lima tahun meski tembus 2024. Dengan catatan, tidak diperbolehkan sampai satu bulan sebelum pelaksanaan pemungutan suara Pilkada serentak.

 ‘’Ini sebuah keuntungan yang harus dimanfaatkan dengan baik,’’ tuturnya.

Prof Parji menyebutkan, MaDa juga menerima keuntungan dalam menuntaskan program populis. Sebab, waktu empat bulan cukup bagi Wali Kota untuk mengakselerasi program yang sebelumnya telah disusun dalam APBD 2024. 

Kemudian, lanjutnya, masa tunggu Pilkada 2024 Wali Kota petahana terpangkas seandainya macung kembali. Nah, kondisi ini sangat berbeda jika dibandingkan akhir masa jabatan (AMJ) pada 31 Desember 2023. Semula masa tunggu nyaris satu tahun, kini hanya sekitar lima hingga enam bulan saja.

 

 ‘’Semakin pendek masa tunggu, semakin menguntungkan bagi incumbent. Karena, masyarakat bakal masih teringat program incumbent,’’ ungkapnya.

Baca Juga: Wali Kota Maidi: KORPRI Mengantar Saya Membawa Keberhasilan Kota Madiun

 

Prof Parji menilai masa tunggu bagi kepala daerah petahana untuk macung kembali tidak dapat dipandang sebelah mata. Pasalnya, memori masyarakat ihwal program-program petahana bakal perlahan hilang bila masa tunggu terpaut lama. Apalagi, karakter pemilih saat ini yang cenderung pragmatis.

 ‘’Seiring waktu masyarakat akan ‘’lupa’’ meski posisi incumbent. Alhasil, seakan kembali mulai dari nol,’’ ujarnya.

Selain itu, Prof Parji menemukan fakta mengejutkan. Meski Wali Kota meninggalkan legacy atau warisan populis, bukan tidak mungkin pemilih akan berpaling hati. Berdasarkan risetnya, sekitar 38 persen masyarakat mataraman masih kental dengan politik transaksional. Tak hanya di kalangan menengah ke bawah, politik praktis atau politik sarat juga menyasar kalangan menengah ke atas. 

Baca Juga: Gerindra-NasDem Beri Sinyal Dukungan ke Maidi, PKS “Ngambang”

‘’Angka 38 persen ini cukup besar. Semua kalangan berpotensi dipengaruhi politik transaksional,’’ bebernya.

Sekadar diketahui, sidang perdana Perkara Nomor 143/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh tujuh kepala daerah selaku pemohon ini digelar di MK pada 15 November lalu. Ketujuh kepala daerah dimaksud adalah Gubernur Maluku Murad Ismail, Wakil Gubernur Jawa Timur Emil E. Dardak, Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiarto, Wakil Wali Kota Bogor Didie A. Rachim, Wali Kota Gorontalo Marten A. Taha, Wali Kota Padang Hendri Septa, dan Wali Kota Tarakan Khairul.

Kala itu, kuasa hukum para pemohon mendalilkan Pasal 201 ayat (5) UU Pilkada berpotensi memotong masa jabatan hingga tidak utuh lima tahun lantaran diakhiri pada 2023. Oleh karena itu, dalam petitum, para pemohon tersebut meminta MK menyatakan ketentuan Pasal 201 ayat (5) UU Pilkada bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai: “Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil pemilihan dan pelantikan tahun 2018 menjabat sampai dengan tahun 2023 dan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang dilantik tahun 2019 memegang jabatan selama lima tahun terhitung sejak tanggal pelantikan sepanjang tidak melewati pemungutan suara serentak nasional tahun 2024.’’ adi

Editor : Redaksi

Berita Terbaru