Ganja Untuk Medis, Ahli Sepakat Narkotika Untuk Pengobatan Berbasiskan Penelitihan

SURABAYA- Sidang lanjutan permohonan uji materl pelarangan narkotika medis untuk pelayanan kesehatan kembali digelar di Mahkamah Konstitusi (MA), Senin (30/8/2021). Sidang kali ini mendengarkan keterangan ahli dari pihak pemohon.

Tiga ahli itu antaranya, Dr. iur. Asmin Fransiska, merupakan Dekan Fakultas Hukum Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya  yang memiliki keahlian dalam bidang kebijakan hukum narkotika dan hak asasi manusia. Prof. David Nutt, yaitu Psikiatri dan Guru Besar Neuropsychopharmacology dari Imperial College London, Inggris yang telah menuliskan 500 lebih jurnal/artikel ilmiah, buku/literatur dari melakukan penelitian klinis terkait bahaya kandungan obat-obatan/narkotika dan respon kebijakan yang  juga telah dirujuk berbagai pemerintah seperti di Amerika Serikat, Finlandia, Norwegia, Belanda, New Zealand, dan Prof. Musri Musman, merupakan Guru Besar Kimia Bahan Alam dari Universitas Syah Kuala, Banda Aceh, yang telah melakukan penelitian meta analisis terhadap ratusan artikel/jurnal ilmiah terkait kandungan tanaman ganja.

Baca Juga: Setuju MA Periksa Ulang Putusan PTUN, Pansus BLBI: Obligor Terindikasi Sembunyikan Aset

Dalam sidang yang digelar secara virtual ini,  Dr. Asmin Fransiska menyampaikan bahwa konvensi tunggal narkotika 1961 sejatinya mengatur bahwa narkotika dapat digunakan untuk kepentingan kesehatan yang mana juga menjadi salah satu hal yang ditekankan dalam konvensi tunggal 1961. 

"Sayangnya, penggolongan narkotika di Indonesia justru berbanding terbalik dengan tujuan konvensi tersebut, karena Indonesia justru melarang penggunaan narkotika golongan I untuk kepentingan kesehatan. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia telah salah menafsirkan ketentuan dalam konvensi tunggal 1961 yang sama sekali tidak melarang penggunaan narkotika termasuk yang masuk dalam golongan I, melainkan memastikan negara agar mempu mengontrol penggunaan dan peredaran Narkotika untuk kepentingan kesehatan,"terang Dr. Asmin.

Tidak hanya itu, larangan penggunaan narkotika golongan I untuk pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud Pasal 8 ayat (1) dan penjelasan pasal 6 ayat (1) huruf a juga bertentangan dengan pasal lainnya dalam Undang-Undang narkotika itu sendiri seperti Pasal 7 yang menyebutkan bahwa, “Narkotika hanya dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi”, serta melanggar hak atas kesehatan sebagaimana diamanatkan dalam pasal 28H UUD 1945.

Dalam mengantisipasi peluang penyalahgunaan Narkotika, Dr. Asmin juga menekankan pentingnya kontrol dari negara, dalam arti negara mengawasi dan mengendalikan peredaran Narkotika agar tidak dikuasai oleh pasar gelap. 

Contoh dari skema regulasi kontrol ini misalnya pada Drug Consumption Room yang diterapkan oleh beberapa negara, atau pada narkotika jenis methadone yang saat ini digunakan untuk terapi oleh Kementerian Kesehatan. 

"Yang terpenting adalah negara harus memiliki perspektif kesehatan publik yang seharusnya memang menjadi perspektif utama dalam melakukan regulasi tentang Narkotika,"katanya.

Sementara, dalam keterangan Prof. David Nutt memaparkan bahwa banyak negara yang sudah memanfaatkan ganja untuk kepentingan kesehatan selama 5000 tahun. Di negara Inggris, ganja dapat diresepkan oleh dokter sepanjang memang ada bukti yang jelas mengenai keamanan dan efektivitas dari penggunaan ganja untuk kondisi pasien tersebut. 

THC dan CBD sama-sama memiliki manfaat medis, walaupun THC dalam kadar tertentu memiliki dampak psikoaktif bagi penggunanya. Di sisi lain, CBD sama sekali tidak memiliki dampak psikoaktif. Kendati demikian, THC memiliki manfaat medis yang palik baik jika dibandingkan dengan zat lain seperti metadhone, duloxetine, atau tremadol dan secara umum masih lebih aman dibandingkan zat lainnya, kecuali ibuprofen. 

"Pengobatan pasien dengan sindrom kejang dengan menggunakan produk obat berbasis cannabis juga terbukti memberikan hasil yang baik secara signifikan, dan ini juga berlaku bagi kondisi cerebral palsy yang dimiliki oleh anak-anak dari para pemohon,"kata Prof. David.

Baca Juga: MA Akan Periksa dan Pertimbangkan Ulang Soal Putusan-Putusan Soal Kasus BLBI

Saat ditanya oleh hakim mengenai adanya kekhawatiran negara akan potensi penyalahgunaan, Prof. David menekankan bahwa pelarangan tidak akan berpengaruh pada angka penyalahgunaan Narkotika. 

"Isu utama dalam pemanfaatan ganja adalah pengobatan, sehingga cara yang paling tepat adalah memberdayakan para dokter untuk memanfaatkan obat-obatan yang ada. Termasuk ganja secara benar,"jawab Prof. David.

Masih kata Prof. David, risiko adiksi bagi pengguna ganja untuk kesehatan juga sangat rendah, karena pasien menggunakan ganja murni untuk kebutuhan medis dan sama sekali tidak ada keinginan untuk “high”. Pada intinya, Prof. David menyatakan bahwa pemanfaatan ganja medis tepat untuk dilakukan sesuai dengan keahlian dan pengetahuan ilmiah berdasarkan penelitian.

Ahli ketiga yaitu Prof. Musri Musman menyampaikan bahwa ganja memiliki dua komponen utama, yakni CBD dan THC. Kadar komponen CBD pada ganja dipengaruhi oleh banyak faktor misalnya waktu panen, suhu, atau oksigen, sehingga memungkinkan untuk melakukan rekayasa biogenetik terhadap kandungan yang terdapat pada ganja. 

Dengan demikian, Prof. Musri menyatakan bahwa kekhawatiran mengenai THC pada ganja di Indonesia yang lebih tinggi dibandingkan dengan negara lain sebagai kekhawatiran yang tidak beralasan, karena tingkat kandungan THC dan CBD dalam ganja pada dasarnya dapat diatur/direkayasa sedemikian rupa yang terbentuk melalui banyak faktor.

"Setidaknya terdapat 72 kondisi kesehatan yang dapat ditangani oleh kandungan CBD pada ganja, termasuk penyakit dengan sindrom kejang, HIV/AIDS, maupun penyakit kanker. Masing-masing didukung dengan berbagai penelitian yang telah membuktikan hal tersebut,"kata Prof. Musri.

Baca Juga: Terdakwa Ganja Ajukan Kasasi, Singgih: Putusan PT Diduga Tak Sesuai Fakta Hukum

Prof. Musri juga memberi contoh berbagai obat-obatan yang memiliki komponen dari ganja dan telah disetujui oleh FDA, misalnya Nabilone, Marinol, Sativex, dan bahkan Epidiolex yang berasal dari CBD murni. Jika mendapatkan izin dari pemerintah, CBD di Indonesia juga dapat diekstraksi sehingga memperoleh kandungan yang sama dengan Epidiolex yang telah diizinkan oleh FDA tersebut atau sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan.

Dalam keterangannya, Prof, Musri juga menyampaikan bahwa meskipun pada dasarnya, ganja memang dapat digunakan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan, akan tetapi, pada praktiknya penelitian terhadap zat tersebut sulit untuk dilaksanakan. 

"Di Indonesia tidak pernah ada riset dari hulu ke hilir sampai tuntas karena adanya hambatan pada regulasi dan perizinan yang sangat tergantung pada insitusi lain khususnya penegak hukum ketika hendak memperoleh sampel data/bahan penelitiannya,"terang Prof, Musri.

Hambatan ini dialami Prof. Musri sendiri pada saat mengajukan penelitian penggunaan CBD untuk penyakit diabetes pada 2015 lalu. 

Diakhir keteranganya, Prof. Musri menekankan bahwa tidak ada gunanya melakukan penelitian untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi jika tidak dapat diaplikasikan.ys

Editor : Arif Ardliyanto

Berita Terbaru