JAKARTA (Realita) - Ada yang berkomentar, apa tidak salah meminta Jokowi mencopot Luhut Binsar Panjaitan? Bukankah, otoritas Luhut jauh lebih besar melampaui Jokowi? Alih-alih memecat Luhut, Jokowi bisa dipecat Luhut ?
Tidak salah, komentar tersebut keluar disebabkan selama ini Luhut lebih mendominasi di dalam kabinet Jokowi. Mungkin saja, secara substansi itu Kabinet Luhut - Jokowi, walaupun secara formal kabinet Jokowi-Ma'ruf.
Baca Juga: Luhut Kesal pada Pengkritik, Pengamat: Miris dan Tak Sejalan Marwah Demokrasi
Tapi ada hal yang tidak dibaca publik, tentang makna dari sebuah komunikasi publik. Sebuah tulisan, meskipun ditujukan pada orang tertentu, jika bentuknya artikel yang dapat diakses publik, esensinya itu adalah bahasa komunikasi publik.
Alhasil, yang hendak dituju dari bahasa komunikasi itu adalah publik, bukan orang yang disebut dalam artikel. Sejumlah nama dalam artikel, hanyalah media komunikasi publik.
Lalu, apa yang hendak dikomunikasikan kepada publik ? khususnya dibalik tuntutan Luhut agar dicopot dari jabatannya ?
Pertama, agar publik paham bahwa aspirasi yang ada dibenak mereka sebenarnya dirasakan semua orang. Bahasa artikel, sebenarnya bukan bahasa penulisnya. Melainkan, upaya seorang penulis menuturkan kembali apa yang dirasakan oleh segenap pembaca.
Perasaan dan pemikiran yang sama, yakni dongkol dengan kekuasaan yang tega berbisnis dengan rakyat ditengah pandemi, tega mencekik rakyat dengan tarif PCR yang melangit jauh lebih mahal dari negara lainnya, bertujuan untuk melakukan konsolidasi. Selama ini, perasaan dan pemikiran yang sama tidak terkonsolidasi sehingga masing-masing merasa sendirian dengan rasa jengkel kepada rezim Jokowi.
Kedua, konsolidasi ini memiliki tujuan pendek dan jangka panjang. Dalam tahap yang pendek, tulisan bertujuan mengkonsolidasi kekuatan untuk memperkuat kritikan kepada penguasa.
Bagaimanapun kekuasaan berdiri di atas pilar legitimasi. Dengan mengkonsolidasikan kekuatan untuk mendelegitimasi kekuasaan, jelas keadaan ini akan menjadi faktor 'pemaksa' agar kekuasaan menuruti aspirasi publik.
Baca Juga: Soal Pajak Hiburan, Luhut Dukung Pengusaha Lakukan Uji Materiil ke MKĀ
Tahap awal, bisa saja opini umum kejengkelan kepada kelakuan pejabat yang berbisnis PCR ini memaksa terjadinya reshuflle kabinet. Ketimbang rontok seluruh tandan kekuasaan, lebih baik menggugurkan salah satu buah busuk yang sudah digalah berulangkali.
Tahap lanjutan, investasi legitimasi. Konsolidasi jangka panjang akan menjadi investasi legitimasi untuk isu-isu perubahannya yang lebih substansial. Bukan sekedar tuntutan copot menteri, tetapi juga copot instalasi demokrasi sekulerisme, ganti dengan instalasi syariah dan khilafah.
Ketiga, menggugurkan kewajiban dakwah. Ini adalah hal yang tidak mungkin lepas dari motivasi mengkritik dan bersuara pada kepongahan pejabat berbisnis di era pandemi namun masih mencoba menggunakan topeng filantropi.
Dakwah adalah aktivitas mulia yang diemban para Rasul dan Ambiya. Dakwah, adalah kewajiban sekaligus kebutuhan bagi umat ini.
Baca Juga: Haris Azhar dan Fathia Bebas, Luhut: Kami Hargai Proses Hukum
Dalam perspektif dakwah, orientasinya pada amal bukan pada hasil. Meskipun tuntutan Luhut tidak dipenuhi, tetapi pahala atas amalan dakwah sudah pasti diberikan kepada siapa yang niat berdakwah karena Allah SWT.
Jadi, tidak ada urusan Jokowi mau copot atau tidak. Urusan kita, terus ajukan kritik. Pada titik tertentu, buah busuk yang berulang kali digoyang pohonnya, akan terpisah dari tangkainya, akan jatuh juga.
Oleh : Ahmad Khozinudin
Sastrawan Politik
Editor : Redaksi