Pengamat: Jaga Profesionalitas, Militer Harus Lepas dari Kepentingan Oligarki

JAKARTA (Realita) - Pengamat militer dan pertahanan dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi merasa prihatin dengan adanya pengaruh oligarki di tubuh militer. Adanya oligarki tentu menjadi problem yang serius. Karena hampir semua sektor di negara Indonesia ada peran oligarki.

"Untuk menghindari oligarki maka kuncinya ada di pusat kekuasan," ujar Khairul Fahmi di Jakarta, Senin (25/4/2022).

Baca Juga: Dua Pasangan Capres Hanya Untungkan Oligarki

Khairul memaparkan, dari masa ke masa sejak zaman kuno, praktik orang yang berpengaruh untuk menempatkan seseorang di suatu institusi atau lembaga sulit dihindari. Begitu pun dalam lembaga militer, pihak yang berpengaruh bisa membuat bintang seseorang di tentara bisa bersinar cemerlang.

"Kalau soal anggota keluarga (yang berperan menempatkan posisi), ya itu hanya salah satu faktor saja. Karena bagaimanapun dalam realitas ketimuran kita, soal bibit, bebet dan bobot selalu jadi pertimbangan," jelasnya.

Khairul menegaskan, walaupun ada peran dari pihak-pihak yang berpengaruh, namun sepanjang proporsional dan tak mengabaikan kapabilitas personal maupun aturan main maka hal ini (pihak yang berpengaruh) masih bisa dipahami. Karena pada dasarnya para pemimpin, para tokoh pasti mempunyai kriterianya sendiri juga dalam memilih menantu. 

"Seperti kiai, tentu berharap punya menantu santri yang cakap dan menonjol, yang dapat diproyeksikan akan membanggakan dikemudian hari," tandasnya.

Khairul mengakui soal adanya oligarki memang menjadi problem atau masalah yang serius. Karena hampir semua sektor di negara Indonesia ada peran oligarki. Hal ini tentu menjadi ancaman bagi sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini. Untuk menghindari oligarki maka kuncinya ada di pusat kekuasan.

Baca Juga: Hujani Gawang Myanmar dengan 5 Gol, Indonesia di Puncak Klasemen

"Sepanjang para oligarki diberi ruang, ya akan selalu terbuka peluang bagi mereka untuk mengambil peran signifikan alias cawe-cawe. Ditambah dengan masih kuatnya praetorianisme di kalangan militer yang dipantik juga oleh kegenitan rezim dan para politisi, ya sulit untuk menghilangkan peran dan pengaruh oligarki, di tubuh militer sekalipun. Ini yang memprihatinkan," tandasnya.

Terpisah, pengamat politik dari Universitas 17 Agustus 45 (Untag), Fernando Emas mengakui, belakangan ini muncul dugaan pengangkatan beberapa petinggi di TNI terkesan sangat tidak mengedepankan profesionalitas. Para petinggi militer diangkat karena hubungan kekerabatan dan keluarga dengan para petinggi negeri atau yang memiliki kedekatan dengan penguasa.

"Sehingga sangat wajar kalau banyak pihak menganggap bahwa oligarki menguasai TNI dalam menentukan jabatan penting dan strategis," jelasnya.

Fernando menilai, dengan adanya oligarki di militer maka dampaknya sangat minim prestasi. Diantaranya persoalan KKB di Papua, yang sampai saat ini masih belum berhasil dan gagal dalam diselesaikan.

Baca Juga: Waspadai Capres Oligarki, Rela Bayar Berapapun demi Kuasai Indonesia

Padahal saat ini  aksi KKB telah menewaskan warga sipil dan TNI. Hal ini tentu menjadi pertanyaan dimana kemampuan dan strategi TNI untuk menyelesaikan persoalan Papua.

"Dampak dari oligarki di TNI merusak reformasi TNI yang dibangun sejak jatuhnya pemerintahan Orde Baru," tandasnya.

"Pengangkatan yang bukan mengedepankan profesionalitas akhirnya hanya untuk kepentingan ambisi pribadi sehingga institusi berpotensi disalahgunakan untuk kepentingan pribadi," pungkasnya.Beb

Editor : Redaksi

Berita Terbaru