JAKARTA (Realita)- Praktisi hukum dari LQ Indonesia Law Firm menyoroti belum dijalankannya putusan Mahkamah Agung (MA) yang mencabut dan membatalkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012, atau yang dikenal dengan PP Pengetatan Remisi Koruptor, oleh Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM (Ditjen Pas Kemenkumham).
Dalam PP 99 itu, koruptor bisa mendapatkan remisi dengan syarat lebih ketat dibandingkan dengan narapidana lainnya.
Baca juga: Digempur Ribuan Demonstran, DPR Tunda Rapat Paripurna RUU Pilkada
Menurut Kabag Humas dan Protokol Ditjen Pas Kemenkumham, Rika Aprianti, pemerintah atau pihaknya, menghormati putusan dimaksud, dan akan segera menindaklanjutinya.
"Kementerian Hukum dan HAM dalam hal ini Ditjenpas sudah membentuk tim dan sedang mempelajari amar putusan dimaksud, dan selanjutnya akan menyusun perubahan peraturan menteri sebagai aturan pelaksanaan pemenuhan hak remisi, asimilasi maupun integrasi," ujar Rika Aprianti, Senin (22/11/2021).
Menurut Rika, berdasarkan Peraturan MA Nomor 1 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil pada Pasal 8 ayat 2, yang mengatur tentang Pelaksanaan Putusan Uji Materi, disebutkan bahwa pemerintah masih memiliki waktu 90 hari terhitung dalam menyikapi pencabutan PP 99.
"Terhitung sejak 28 Oktober 2021 hingga 28 Januari 2022, untuk menyusun kembali perubahan Permenkumham No 3 tahun 2018 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti mengunjungi keluarga Pembebasan bersyarat, cuti menjelang bebas dan cuti bersyarat," paparnya.
Sebelumnya, Ketua Pengurus LQ Indonesia Law Firm Alvin Lim menyoroti masih belumnya dilaksanakan keputusan MA tersebut oleh pihak Ditjen Pas Kemenkumham.
"Saya bukannya membenarkan perbuatan para koruptor, namun sejatinya ketika divonis di pengadilan, majelis hakim sudah memberikan vonis yang menurut pengadilan putusan yang tepat, sehingga dengan dihilangkan haknya lagi untuk mendapatkan remisi oleh peraturan pemerintah merupakan hal yang salah dan melawan hukum," ujar Pendiri LQ Indonesia Law Firm itu.
Baca juga: Masyarakat Peradilan Dikomandoi Prof Yulius Bantu Pendidikan Anak Korban Banjir Galado
Menurut Alvin, apabila hukuman koruptor dianggap terlalu ringan, maka hakim atau lembaga yudikatif yang bertugas memperberat vonis. Bukannya menjadi kewenangan dari pemerintah atau lembaga eksekutif, melalui penerbitan PP 99.
"Apabila sudah ada putusan dari MA selaku pengadilan tertinggi maka semua wajib menghormati dan melaksanakan putusan tersebut seketika setalah dibacakan dan berlaku saat itu," tuturnya.
"Dalam teori hukum trias politika, sudah sangat jelas tugas masing-masing badan eksekutif, legislatif dan yudikatif," imbuh Alvin.
Ia pun mengimbau agar para warga binaan kasus tindak pidana korupsi yang masih belum mendapatkan remisi, agar keluarganya bisa menghubungi LQ Indonesia Law Firm di nomor 0818-0489-0999. Sehingga bisa dibantu untuk memperoleh haknya.
Baca juga: KPU Sudah Terima Salinan Putusan MA Soal Syarat Usia Minimum Cakada
Sebab, kata Alvin, kesengajaan untuk tidak memberikan hak warga negara sesuai undang-undang adalah perbuatan melawan hukum, yang diatur dalam Pasal 421 KUHP, yaitu penyalahgunaan wewenang dan diancam pidana kurungan.
Apalagi, PP No 99 tahun 2012 tentang perubahan atas PP No 32 tahun 1999 sebelumnya, dipandang dibuat secara sembrono dan tidak mempertimbangkan dasar hukum lain yaitu UU Permasyarakatan.
"Jangan sampai para pejabat negara dalam hal ini Dirjen Pas justru malah melakukan perbuatan melawan hukum. Apa pun isi putusan pengadilan, apalagi MA yang sudah inkrah, jika kita langgar dan abaikan, apa bedanya Dirjen Pas dengan para pelaku kejahatan jika seperti itu?," tandas mantan Vice President Bank of America ini.kik
Editor : Redaksi