JAKARTA (Realita)- Pemanggilan Bendum PBNU Mardani H Maming oleh KPK bak bola panas yang liar. Usai diperiksa KPK selama hampir 12 jam, Mardani pada Kamis (2/6/2022) malam langsung membuat pengakuan bahwa pemeriksaannya terkait Haji Andi Syamsuddin Arsyad atau Haji Isam pemilik PT Jhonlin Group
Namun pengakuannya menjadi terbantahkan setelah pada Sabtu (4/6/2022) malam, beredar di kalangan media surat pemanggilan KPK terhadap Mardani untuk dimintai keterangan terkait dugaan suap pengalihan Izin Usaha Pertambangan (IUP) Kabupaten Tanah Bumbu.
Baca Juga: MUI Minta Kenaikan Biaya Haji Ditinjau Ulang
Surat Pemanggilan KPK itu bernomor R.467/Lid.01.01/22/05/2022 yang dikeluarkan Selasa 24 Mei 2022, perihal ‘Permintaan Keterangan’ dalam kapasitasnya sebagai Bupati Tanah Bumbu periode 2010-2015 dan 2016-2018.
Pada surat pemanggilan KPK itu, Mardani yang juga Ketua Umum BPP HIPMI itu hendak diklarifikasi atau didengar keterangannya terkait dengan penyelidikan dugaan tindak pidana korupsi terkait pemberian perizinan usaha pertambangan (IUP) di Kabupaten Tanah Bumbu periode 2010-2022.
KPK mengundang Mardani H Maming untuk hadir di Gedung KPK pada Jumat 27 Mei 2022, meski ternyata Ketua DPD PDI Perjuangan Kalsel itu baru hadir pada Kamis (2/6/2022).
Sebenarnya saat ini, kasus dugaan suap pengalihan IUP batubara sedang digelar di Pengadilan Tipikor Banjarmasin dengan terdakwa mantan Kepala Dinas ESDM Tanah Bumbu Raden Dwidjono Putrohadi Sutopo yang dituding menerima gratifikasi Rp27,6 miliar dari PT PCN.
Lucky Omega Hasan, kuasa hukum Dwidjono, mengaku tidak mengetahui soal surat pemanggilan KPK terhadap Mardani H Maming tersebut.
“Kami Tim Kuasa Hukum tidak mengetahui atau ada informasi mengenai surat panggilan tersebut. Kami hanya mengetahui bahwa pemeriksaan Mardani H Maming di KPK pada Kamis itu berkaitan dengan peralihan IUP. Hal itu berdasarkan informasi yang kami terima dari klien kami bahwa dirinya menyatakan sudah pernah di datangi KPK di lapas dan dimintai keterangan perihal peralihan IUP dari PT BKPL kepada PT PCN di mana Mardani saat itu menjadi Bupati yang menerbitkan SK Peralihan IUP,” kata Lucky.
SK Peralihan yang dimaksud Lucky adalah SK Bupati Tanah Bumbu Nomor 296 Tahun 2011 tentang Persetujuan Pelimpahan Izin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi PT Bangun Karya Pratama Lestari (BKPL) Nomor 545/103/IUP-OP/D.PE/2010 ke PT Prolindo Cipta Nusantara (PCN) yang ditandatangani Bupati Mardani pada tahun 2011.
Padahal sebagaimana terungkap dalam persidangan Tipikor Banjarmasin, SK Bupati tentang pelimpahan atau pengalihan IUP jelas bertentangan dengan UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Minerba, khususnya Pasal 93 ayat 1 yang tegas melarang pemilik IUP untuk memindahkan IUP nya kepada pihak lain.
Curhatan Terdakwa Dwidjono
Baca Juga: KPK Buka lagi Kasus Kardus Durian yang Seret Nama Muhaimin, PBNU: Kami Apresiasi
Mardani H Maming sendiri terus berupaya membangun opini bahwa dirinya menjadi korban kriminalisasi terkait dugaan suap pengalihan IUP yang digelar di Pengadilan Tipikor Banjarmasin.
Pada Sabtu (4/6/2022) sore, Mardani melalui akun instagramnya @mardani_maming mengunggah screenshoot chat WA-nya dengan Dwijono pada 16 September 2021 yang curhat dan meminta bantuannya sebagai mantan atasan karena ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan oleh Kejaksaan Agung terkait pengalihan IUP.
Sebagai informasi, Dwidjono ditahan Kejaksaan Agung pada 2 September 2021 karena diduga menerima suap atau gratifikasi Rp27,6 miliar dari Dirut PT PCN Henry Soetio terkait pengalihan IUP dari PT BPKL ke PT PCN.
“Mohon bantuan pian (anda) Pak, kaya apa nasib ulun (saya) ini Pak,” tulis Dwidjono yang tidak dijawab Mardani.
Mardani memberinya narasi postingannya: “Semoga Pak Dwidjono berani membongkar siapa aktor kriminalisasi terhadap kasus yang menimpanya dan juga diri saya…”
Baca Juga: KPK Acak-Acak Perusahaan Mardani Maming
Curhatan Dwidjono saat baru ditahan seperti diposting Mardani, ternyata sangat bertolak belakang dengan sikap Dwidjono setelah menjadi pesakitan dan bersaksi pada persidangan di Pengadilan Tipikor pada Senin 23 Mei 2022.
“Selama persidangan ini seolah-olah faktor paling besar adalah rekomendasi Kepala Dinas sehingga Bupati (Mardani) menandatangani IUP tersebut… Itulah yang saya maksudkan Justice Collaborator, saya akan buka semuanya,” papar Dwidjono yang dalam persidangan pernah memohon menjadi justice collaborator.
Tak hanya itu, Dwidjono bahkan mengaku dipaksa Bupati Mardani untuk memproses permohonan pengalihan IUP dari PT BPKL ke PT PCN yang diajukan Dirut PT PCN Henri Soetio.
“Saya sudah tidak mau proses tapi dipaksa (Bupati Mardani) untuk memproses. Beda lho pak, perintah dengan paksa. Kalau perintah saja, saya masih belum melaksanakan. Ini dipaksa,” kata Dwidjono.
Persidangan dugaan suap pengalihan IUP menjadi heboh setelah pada Jumat 13 Mei 2022, saksi Christian Soetio yang menjabat Direktur PT PCN dan adik Dirut PT PCN almarhum Henri Soetio mengungkapkan tentang transfer Rp89 miliar dari PT PCN kepada Mardani.sah
Editor : Redaksi