MALANG (Realita)- Tim Gabungan Aremania (TGA) memiliki sederet catatan terkait tragedi di Stadion Kanjuruhan Malang, yang merenggut nyawa 132 Aremania, pada 1 Oktober 2022.
Sehingga, atas catatan itu, pihaknya menyimpulkan tragedi kemanusiaan di malam nahas itu bukan kerusuhan suporter, tapi peristiwa itu adalah pembunuhan massal.
Baca Juga: Sinergitas Polri Bersama Aremania Tampak Dalam Lomba Mural yang Digelar Polres Batu
"Peristiwa itu adalah pembunuhan massal yang dilakukan oleh aparat keamanan, ada Polri, ada TNI," kata Sekjen Federasi KontraS (Korban Tindakan Kekerasan) Andy Irfan, saat konferensi pers TGA di Gedung KNPI Kota Malang, Jumat (14/10) Malam.
Adapun catatan-catatan itu di antaranya adalah, pihaknya mengaku menerima keterangan bahwa beberapa waktu sebelum pertandingan Arema vs Persebaya dilaksanakan, Panitia Pelaksana (Panpel) telah berkoordinasi dengan Aparat Kepolisian. Penentuan kegiatan itu sepenuhnya telah disetujui oleh kepolisian. Dan institusi yang mempunyai kewenangan untuk mengiyakan atau membatalkan kegiatan itu adalah institusi kepolisian.
"Ada empat kali koordinasi antara Panpel dengan pihak aparat kepolisian dan Aremania yang kurang lebih tidak boleh ada sweeping kendaraan plat L, tidak ada represi. Sejak awal Panpel dan Aremania juga telah mengingatkan agar pihak kepolisian tidak menggunakan gas air mata," ucap Andy.
"Teman-teman sebelumnya telah mengalami adanya gas air mata, ada dua orang meninggal karena gas air mata. Itu cukup membuat Aremania traumatik dan teman-teman tahu betul tentang resiko gas air mata. Dan itu ditegaskan jangan menggunakan gas air mata," ucapnya lagi.
Selain itu, Andy mengatakan, pihaknya juga mendapat informasi bahwa Panpel Arema telah mengeluarkan biaya kepada pihak kepolisian sebesar 178 juta untuk biaya pengamanan.
Selanjutnya, kata Andy, pihaknya mendapat keterangan bahwa kepolisian telah mendapatkan soft copy tentang regulasi ketentuan FIFA.
"Artinya kepolisian sudah mengetahui. Itu fakta-fakta sebelum pertandingan. Ada fakta penting saat pertandingan. Ada Brimob dan Sabhara telah dibekali gas air mata sejak awal pertandingan. Artinya kesalahan itu sudah ada sejak awal. Kepolisian telah mengambil resiko atau mengambil tindakan yang salah yaitu mempersenjatai personilnya dengan gas air mata," beber dia.
Selain itu, menurut Andy, sudah menjadi tradisi atau kebiasaan penonton apabila pertandingan berakhir, mereka turun ke lapangan. Apabila menang, mengucapkan salah dan bila kalah memberikan semangat atau ungkapan keprihatinan.
Baca Juga: Lupakan Tragedi Kanjuruhan, Ibu Maryam Percaya Putusan Hakim Adalah yang Terbaik
Dari seluruh saksi, pihaknya tidak melihat adanya ancaman yang signifikan, baik kepada pemain maupun official ataupun kepada aparatur keamanan. Sampai kemudian ada peristiwa pemukulan.
"Beberapa menit kemudian tidak ada peristiwa apa-apa sampai ada personil Brimob yang menembakkan gas air mata ke tribun selatan. Itu kurang lebih pada pukul 22.08 WIB. Ini tidak bisa disangkal. Dan kami memperoleh keterangan bahwa ada perwira polisi yang memegang kendali komando itu memberi arahan atau sekurang-kurangnya tidak melarang personil Brimob yang melakukan tindakan kekerasan dengan penembakan gas air mata ke arah tribun," ungkap Andy.
Pada saat itu, arah angin berada di selatan. Tentu, kaya Andy, menjadi risiko bagi penonton yang berada di selatan dan sebagian penonton berada di tribun selatan.
"Dari sana kami mengambil kesimpulan, ini bukan kerusuhan, tapi pembunuhan. Ini bukan pembunuhan individual yang menyebabkan kematian satu orang, tapi ini adalah pembunuhan yang menyebabkan kematian banyak orang," ungkapnya.
"Maka bisa kita bilang ini adalah pembunuhan massal dalam konteks HAM (Hak Asasi Manusia) ini memenuhi apa yang tertuang di dalam Undang-Undang Pengadilan HAM unsur kejahatan HAM," ungkapnya lagi.
Baca Juga: Dua Polisi Divonis Bebas, Orangtua Korban Tragedi Kanjuruhan Pasrahkan pada Hakim
Dalam skema itu, lanjut Andy, ada struktur pemandu. Pihaknya meyakini bahwa sekurang-kurangnya perwira yang memimpin dan mengendalikan Brimob tidak melakukan pencegahan personilnya menggunakan gas air mata. Ada kemungkinan besar memberikan perintah untuk menembakkan gas air mata. Tapi dari semua saksi dan video yang beredar sekurang-kurangnya Perwira yang bertanggungjawab dalam memimpin Brimob tidak melakukan pencegahan untuk tidak menembakkan gas air mata.
"Kami meyakini penyebab utama kematian korban adalah gas air mata. Ada 2 jenis gas air mata yang ditembakkan oleh Brimob dan Sabhara, karena itu kami meyakini ini adalah peristiwa kejahatan manusia. Serangan aparatur keamanan kepada masyarakat sipil tidak bersenjata," ujar Andy.
Dari situlah TGA mempunyai tuntutan dan bisa diperdalam terkait hal itu.
"Kami minta Komnas HAM menangkap pelaku pelanggaran HAM," tegas dia.mad
Editor : Redaksi