JAKARTA (Realita) - Banyak pihak yang ingin melanggar konstitusi terkait masa jabatan presiden. Mereka ingin mempertahankan Jokowi tetap berkuasa, meskipun tahu bahwa itu melanggar konstitusi.
Caranya, melalui perpanjangan masa jabatan presiden, misalnya sampai 2027, atau presiden tiga periode, artinya Jokowi diperkenankan mengikuti proses pemilihan presiden untuk ketiga kalinya.
Baca Juga: Pidato Perdana Presiden Prabowo Menampar Jokowi
Tetapi, semua upaya mempertahankan Jokowi sebagai presiden setelah 2024 pasti tidak sah dan melanggar konstitusi.
Pertama, pintu perpanjangan masa jabatan presiden atau presiden tiga periode harus melalui MPR, karena hanya MPR yang bisa mengubah konstitusi. Hal ini hanya bisa dilakukan kalau MPR secara terang-terangan menjadi kaki-tangan otoritarian, ‘memperkosa’ demokrasi dan kedaulatan rakyat.
Dalam hal ini, MPR akan menjadi aktor utama kudeta konstitusi, bisa dianggap subversif dan pengkhianat demokrasi dan kedaulatan rakyat, membawa Indonesia menjadi negara otoritarian dan tirani. Sehingga, kalau terjadi perubahan kekuasaan, maka mereka semua harus bertanggung jawab secara individu
Kedua, ada yang berpendapat, penundaan pemilu juga bisa dilaksanakan tanpa melalui MPR, tetapi melalui presiden, dengan mengeluarkan PERPPU (Peraturan Presiden Pengganti Undang-Undang) atau dekrit presiden, dengan alasan ada kondisi darurat, sehingga pemilu 2024 tidak dapat dilaksanakan.
Kedua manuver ini lebih fatal lagi, karena melanggar konstitusi secara terbuka dan terang-terangan.
Presiden memang bisa mengeluarkan PERPPU dalam kondisi kegentingan yang memaksa. Tetapi isi PERPPU, yang hierarkinya setara dengan undang-undang, jelas tidak boleh melanggar konstitusi.
Artinya, PERPPU dalam kondisi kegentingan apapun tidak bisa memperpanjang masa jabatan presiden, tidak bisa mengubah periode jabatan presiden dari dua periode menjadi tiga periode.
Artinya, PERPPU tidak bisa membatalkan atau mengubah periode pemilu setiap 5 tahun, yang jatuh tempo 2024.
Baca Juga: Keabsahan Gibran Dipertanyakan
Kalau sampai presiden mengeluarkan PERPPU yang melanggar konstitusi, misalnya memperpanjang masa jabatan presiden, dengan cara menunda pemilu, maka presiden bisa dicap kudeta konstitusi, masuk kategori subversif?
Selain itu, tentu saja kegentingan yang memaksa dalam PERPPU harus dirinci secara jelas apa yang dimaksud dengan keadaan genting atau keadaan darurat, yang tidak bisa ditangani oleh undang-undang yang ada, sehingga presiden harus mengeluarkan PERPPU.
PERPPU juga harus disahkan oleh DPR, yang secara normal tidak akan menyetujui PERPPU yang melanggar konstitusi. Kalau sampai disahkan maka berarti DPR bersama presiden, berkomplotan?, membuat UU yang melanggar konstitusi secara terang-terangan, atau undang-undang otoritarian dan tirani. Dalam hal ini, rakyat mempunyai hak kedaulatan untuk melawan segala tindakan parlemen yang melanggar konstitusi.
Begitu juga dengan dekrit presiden, tidak boleh melanggar konstitusi sebagai hukum tertinggi di sebuah negara. Sedangkan presiden baik sebagai kepala negara _(head of state)_ maupun kepala pemerintah _(state of government)_ justru wajib taat konstitusi. Maka itu, dekrit presiden secara otomatis juga harus taat konstitusi: tidak boleh melanggar konstitusi.
Dengan demikian, dekrit presiden tidak bisa mengubah konstitusi: tidak bisa mengubah masa jabatan presiden atau periode jabatan presiden dari dua periode menjadi tiga periode. Artinya, dekrit presiden bukan supremasi hukum yang berada di atas konstitusi. Karena presiden tidak bisa mengganti konstitusi.
Baca Juga: Dualisme Ibu Kota Membahayakan Indonesia dan Merugikan Keuangan Negara
Terakhir, konstitusi Indonesia tidak membolehkan presiden mengeluarkan dekrit. Artinya, dekrit presiden tidak sah sama sekali dalam hukum konstitusi Indonesia. Dalam kegentingan memaksa, presiden hanya bisa mengeluarkan PERPPU, bukan dekrit, yang keduanya pada prinsipnya identik, dan setara dengan undang-undang.
Topik ini akan dibahas dalam tulisan selanjutnya.
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa semua upaya untuk memperpanjang masa jabatan presiden, atau mengubah periode jabatan presiden menjadi tiga periode, akan melanggar konstitusi, atau kudeta konstitusi.
Maka itu, rakyat Indonesia, yakinlah, pemilu 2024 pasti terlaksana, dan wajib dilaksanakan. Beb
Oleh: Anthony Budiawan - Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)
Editor : Redaksi