PENDERITA kusta masih menghadapi stigma dan diskriminasi yang terkait dengan kondisi kusta. Meskipun penanganan kusta di Indonesia telah meningkat baik dari segi medis maupun sosial, stigma terhadap penderita kusta masih ada.
Demikian diungkapkan dr Dinda Yuliasari, selaku Dokter Umum di RS Wates Husada Gresik sejak tahun 2016.
“Dalam lingkungan sekitar kita, sudah sangat jarang melihat pasien kusta. Hal ini disebabkan karena penanganan kusta di negeri kita baik dari aspek medis maupun sosial sudah sangat bagus,” kata dr. Dinda Yuliasari.
Namun, fakta menunjukkan bahwa Indonesia masih menduduki peringkat ketiga di dunia dalam jumlah penderita kusta, setelah India dan Brasil. Target penanganan kusta di Indonesia adalah mengurangi jumlah penderita menjadi kurang dari 1 per 10 ribu penduduk, namun target ini masih belum tercapai.
“Dulu, kusta dianggap sebagai kutukan karena gejalanya yang mengerikan. Penderita seringkali dikucilkan dan tidak dapat hidup dengan layak,” tambahnya.
Di beberapa tempat di Indonesia, masyarakat bahkan membangun tempat isolasi yang dikhususkan bagi penderita kusta. Kondisi ini menunjukkan jika mereka takut berinteraksi dengan para penderita kusta. Akibatnya, ini menghambat proses penemuan kasus kusta secara dini dan dengan sendirinya berdampak pada pengobatan yang semakin sulit.
Ketakutan dan stigmatisasi terhadap penderita kusta juga menyebabkan masalah psikologis bagi mereka. Mereka merasa kecewa, takut, malu, tidak percaya diri, merasa tidak berguna, dan khawatir akan dijauhi atau dikucilkan oleh masyarakat.
Dokter Dinda Yuliasari menjelaskan bahwa kusta, juga dikenal sebagai Morbus Hansen, adalah penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae. Bakteri ini menyerang saraf pada bagian kaki, tangan, hidung, wajah, dan mata, menyebabkan mati rasa dan hilangnya sensasi pada bagian tubuh tersebut.
Penularan kusta terjadi melalui pernapasan, udara, dan kontak langsung dengan penderita yang belum diobati. Meskipun kusta termasuk penyakit menular, penularannya sulit terjadi dan lebih cenderung terjadi pada orang yang memiliki kontak erat dan lama dengan penderita.
Sebagian besar orang memiliki kekebalan alami terhadap kusta, dan penularannya tergantung pada imunitas tubuh individu.
Gejala awal kusta, kata dr. Dinda, meliputi perubahan warna atau bercak putih ringan pada kulit disertai dengan hilangnya sensasi pada kulit, bintil kemerahan pada kulit, kesemutan, dan pembengkakan pada tangan dan wajah.
Untuk pengobatan kusta, tersedia multi drug treatment (MDT) yang efektif dan gratis di Puskesmas dan beberapa rumah sakit. Durasi pengobatan bervariasi tergantung tipe kusta, dengan lama pengobatan selama 6 bulan untuk tipe pausibasiler (PB) dan 12 bulan untuk tipe multibasiler (MB).
“Perubahan warna kulit biasanya mulai membaik setelah pengobatan MDT selesai, dan kulit akan pulih sepenuhnya dalam waktu satu tahun,” jelas dr. Dinda Yuliasari.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa imunisasi BCG melindungi imunitas terhadap kusta, selain juga melawan tuberkulosis. Oleh karena itu, penting bagi setiap anak untuk diimunisasi dengan BCG.
Stigma dan diskriminasi terhadap penderita kusta masih menjadi tantangan yang perlu diatasi di Indonesia. “Perlu adanya pemahaman yang lebih baik dalam masyarakat tentang kusta bahwa dengan penanganan dini dan baik maka kusta dapat disembuhkan dan tidak menyebabkan kecacatan, sehingga penderita dapat hidup tanpa diskriminasi dan mendapatkan perawatan yang tepat,” tutup dr. Dinda Yuliasari.
Editor : Redaksi