Semua SMA/SMK Negeri di Sidoarjo, Diduga Tabrak Aturan Kadindik Jatim

SIDOARJO (Realita) - Pada Tahun 2019, Dinas Pendidikan Jawa Timur mengeluarkan surat edaran nomor 420/3846/101.1/2019 agar sekolah tidak memaksakan siswa baru untuk membeli seragam melalui koperasi sekolah atau komite sekolah, kecuali atas permintaan orangtua/wali peserta didik. Hal tersebut dilakukan karena Dinas Pendidikan Jatim kala itu, kembali memberikan fasilitas seragam baru bagi peserta didik baru tahun ajaran 2019/2020 di SMA/SMK negeri dan swasta.

Lalu, pada tahun 2020, Kepala Dinas Pendidikan (Kadindik) Jatim Wahid Wahyudi pernah mengatakan kepada media jika SMA dan SMK Negeri di Jawa Timur dilarang melakukan pungutan, iuran atau bentuk lain yang bersifat wajib kepada peserta didik baru. Hal ini menanggapi adanya sejumlah informasi tentang kewajiban membayar sejumlah uang pada sekolah-sekolah negeri. Wahid menegaskan, Dinas Pendidikan akan segera melakukan klarifikasi kepada sekolah-sekolah tersebut.

Baca Juga: Wahid Wahyudi Beri Sinyal Dukungan ke Yuhronur Efendi

"Penggalangan dana dalam bentuk sumbangan sukarela hanya dapat dilakukan oleh Komite Sekolah sesuai amanat Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016. Bentuknya berupa bantuan dan atau sumbangan sukarela, bukan pungutan," paparnya.

Kemudian terkait banyaknya keluhan tentang biaya seragam sekolah yang dibebankan kepada peserta didik, Wahid meminta sekolah memberi keleluasaan kepada peserta didik untuk membelinya di luar dan tidak harus di koperasi sekolah. Wahid berharap koperasi sekolah memberikan keringanan mekanisme pembayaran berupa pembayaran dengan cara mengangsur.

Sayangnya praktik di sekolah-sekolah tidaklah demikian, saat daftar ulang, wali murid tidak diberikan edukasi seperti di atas. Seharusnya wali murid bebas memilih, beli kain seragam di koperasi atau di luar sekolah asalkan warnanya sama.

Baca Juga: PPDB SMPN Surabaya 2024 Lebih Berkeadilan: Ada Penyesuaian Daya Tampung Jalur Zonasi

Dari penelusuran Realita.co, hampir di semua sekolah saat proses daftar ulang, setelah pengisian data siswa, petugas lalu mengarahkan wali murid ke petugas koperasi.

Lalu petugas koperasi hanya memberi dua opsi, kain seragam untuk ukuran biasa atau ukuran jumbo. Dan nyatanya, hampir semua wali murid beli di koperasi, dan hanya sebagian kecil wali murid yang beli seragam di luar. Kebanyakan beli di koperasi karena takut warnanya tidak sama, takut dikira perhitungan, dan sebagian tidak sempat kalau harus pergi ke toko kain. Padahal jika dihitung-hitung, harga di pasaran jauh lebih murah dari harga yang dipatok koperasi sekolah.

Baca Juga: Dispendik Surabaya Gencarkan Pembekalan Guru Kelas 1 yang Bakal Dampingi Siswa Inklusi

Menurut penuturan salah satu wali murid yang namanya disamarkan, proses tersebut sudah berjalan bertahun-tahun dan mengalami banyak modifikasi sehingga pihak sekolah tidak bisa disalahkan.

"Ini semacam strategi menyiasati aturan, yang diracik oleh pihak sekolah dan pihak koperasi, agar bisa menjual suatu barang dengan harga jauh lebih mahal dari harga pasaran, yang menentukan warna seragam dan motif seragam ya pihak sekolah, tapi agar sesuai aturan yang menjual harus koperasi sekolah yang bersertifikat NIK. Wali murid pun tidak tahu detail kainnya warnanya apa, kalau ke koperasi hanya untuk sekedar minta sampel kain pasti pada malu, jadi wali murid terpaksa beli di koperasi meski harganya mahal," pungkas narasumber.hk

Editor : Redaksi

Berita Terbaru