JAKARTA (Realita)-Narges Mohammadi, seorang aktivis dan pejuang hak asasi manusia asal Iran mendapatkan Nobel perdamaian tahun ini upayanya memperjuangkan banyak hal, di antaranya diskriminasi terhadap kaum perempuan.
“Walau di penjara berulang kali, itu tidak menghalangi saya untuk memperjuangkan hak asasi manusia. Itu tidak menyetop saya melawan diskriminasi atas kaum perempuan,” ujar Narges Mohammadi.
Baca Juga: Menangkan Capres Lima Kali Beruntun, Denny JA Raih "The Legend Award"
Perempuan kelahiran Zanjan, Iran, 21 April 1972, menerima hadiah Nobel perdamaian saat dirinya kini masih ada di dalam Penjara Evin di Teheran. Sejak usia belasan tahun, Narges Mohammadi sudah menjadi aktivis asasi manusia dengan berbagai risiko yang dia hadapi.
Narges ditangkap dan dipenjara sebanyak 13 kali. Total hukuman yang dia terima 31 tahun. Ia tak hanya dipenjara, namun juga dicambuk yang totalnya sebanyak 151 kali. Bahkan, suami serta anaknya akhirnya hidup terpisah darinya di negara lain.
Ketua Umum Esoterika, Denny JA, mengatakan, pada 2011, Narges Muhammadi mendirikan Hafes, lembaga yang membela hak asasi manusia. Mereka menentang hukum cambuk, apalagi terhadap perempuan di Iran.
"Mengapa seorang perempuan dicambuk? Ada banyak sebabnya. Antara lain itu bisa disebabkan oleh pelanggaran cara berpakaian. Misalnya tidak memakai jilbab," kata Denny dalam perayaan Hari Santo Fransiskus Asisi di BBPK Jakarta, Sabtu, 7 Oktober 2023 kemarin.
Menurut Denny, hukuman cambuk juga bisa diberikan kepada perempuan dan lelaki yang melakukan hubungan seks di luar nikah. Padahal, saat ini, gaya hidup mengenai seks sangat beragam. Namun di Iran, seks di luar nikah pun bisa dikenakan hukuman cambuk.
Baca Juga: Lacak Jejak Digital Lembaga Survei Itu, Denny JA: untuk Menilai Kredibilitasnya!
Narges Mohammadi dan kelompoknya sudah membantu dan mendampingi ratusan perempuan yang dicambuk.
Denny menuturkan, di negara otoriter, mereka yang yang berjuang membela hak asasi manusia bisa diartikan sedang melawan dan menunjukkan kelemahan kebijakan pemerintah.
"Itu hal yang tak disukai dan dianggap berbahaya di negara otoriter. Tapi kita tahu juga dari sejarah bahwa penjara tak pernah membuat jera seorang pejuang hak asasi yang sejati," ungkapnya.
Baca Juga: Gibran Wapres Prabowo dan Soal Dinasti Politik, Denny JA: Isu yang Basi
Rani Anggraeni Dewi, seorang pengarang, memberikan persembahan saat perayaan Hari Santo Franciskus dari Asisi dan Milad Maulana Rumi dari Konya Turki.
Menurut Rani, Saint Francis dan Maulana Rumi menyikapi clash of civilitation atau aksi terror, konflik kepentingan politik, dan korupsi di berbagai bidang akibat perubahan situasi kondisi sosial dan ekonomi. Juga kemajuan sains serta teknologi dengan melihat ke dalam diri atau disebut inner journey.
"Bukan berarti mengisolasi diri atau menjadi pertapa. Mereka tetap aktif hadir berinterkasi di tengah masyarakat. Namun memperbanyak berdoa, bermeditasi, kontemplasi untuk mendapatkan kedamaian, serta keseimbangan hidup antara yang sacred dan profane," ucap Rani.tom
Editor : Redaksi