Hari Eksploitasi Kashmir: Akademisi Kecam Pelanggaran HAM

JAKARTA (Realita)-  5 Agustus 2021 diperingati Hari Eksploitasi Kashmir. Kashmir yang mulanya dikenal dengan surga karena potensi wisata alam yang indah berubah menjadi tempat mengerikan.

Prof. Darni M Daud dosen di Universitas Syahkuala Aceh dalam webinar bersama Kedutaan Besar Pakistan di Indonesia hari ini menuturkan baik Pakistan dan India telah berperang tiga kali atas Kashmir.

Baca Juga: Komnas HAM Berangkat ke Swiss, Temui Para Pejabat FIFA

Perselisihan tersebut telah menjadi titik nyala nuklir dan dapat menelan wilayah yang lebih luas yang mengarah ke Perang Dunia III.

"Oleh karena itu, dia mengimbau kepada seluruh pemangku kepentingan untuk bekerja sama mencari solusi damai atas sengketa tersebut," kata Prof Darni.

Senada dengan Prof Darni, Drs. Nur Munir, Kepala Pusat Penelitian Islam dan Timur Tengah, Universitas Indonesia dalam sambutannya menyoroti ajaran Islam dalam menghadapi penindasan dan ketidakadilan serta menyatakan bahwa politik luar negeri Indonesia didasarkan pada prinsip-prinsip ketertiban internasional berbasis aturan dan keadilan sosial.

"Dia memikirkan prinsip-prinsip Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan prinsip universal kebebasan, keadilan dan perdamaian di dunia," kata Munir.

Dia juga menyinggung tentang laporan Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia di Dewan Hak Asasi Manusia (HRC) pada Februari 2021 dan Undang-Undang Amendemen Kewarganegaraan India yang diskriminatif terhadap minoritas dan Kashmir.

Kemudian, Prof. Dr. Yusny Saby, Akademisi Unggulan menyatakan bahwa prinsip dasar Pancasila Indonesia menolak ketidakadilan dan penindasan dan orang Indonesia mendukung hak warga Kashmir untuk menentukan nasib sendiri.

Dr.  Zahir Khan, Ketua Forum Solidaritas Kashmir menyatakan bahwa India adalah negara teroris dan masyarakat internasional harus menyadari tindakan ilegalnya terhadap warga Kashmir yang tidak bersalah.

Baca Juga: Soal Tragedi Kanjuruhan, Komnas HAM: 6 Tersangka Saja Tak Cukup

Pada kesempatan yang sama, Khairunnissa Simbolon Dosen Jurusan Hubungan Internasional Universitas Lampung dan Astiwi Inayah Dosen Jurusan Hubungan Internasional Universitas Lampung membahas tragedi hak asasi manusia yang terjadi di Jammu & Kashmir, dan kemungkinan solusi dari perselisihan tersebut.

Cilegon dalam

Duta Besar Pakistan di Indonesia Muhammad Hassan, dalam pidato utamanya, memberikan gambaran singkat tentang sejarah sengketa Kashmir. Dia menyebutkan tentang tindakan ilegal yang diambil oleh India terutama setelah 5 Agustus 2019 dalam upaya untuk merampas hak warga Kashmir untuk menentukan nasib sendiri, yang telah ditolak oleh warga Kashmir dan juga Pakistan.

Mencabut Pasal 370 dan 35A konstitusi berarti bahwa India secara resmi menyatakan resolusi DK PBB, menyerukan referendum yang bebas dan adil di Jammu dan Kashmir, sebagai batal demi hukum yang merupakan tamparan di wajah PBB dan anggotanya.

Ia menyatakan bahwa dengan mengizinkan non-Kashmiri Hindu (bukan Kristen atau Muslim) untuk memperoleh properti dan menetap di negara bagian, India telah mulai menerapkan program sistemik untuk mengubah mayoritas Muslim di negara bagian menjadi minoritas.

Undang-undang ini membuka jalan bagi apartheid demografis di IIOJK dan secara langsung bertentangan dengan hukum internasional, khususnya Pasal 49 Konvensi Jenewa Keempat.

Baca Juga: Soal Botol di Kanjuruhan: Polisi Bilang Miras, Komnas HAM: Itu Obat Sapi

Duta Besar juga menarik kesamaan antara tindakan ilegal India di Kashmir dan upaya Israel untuk mencabut hak warga Palestina dan mengurangi penduduk Yerusalem dari penduduk aslinya. "Tidak hanya Pakistan tetapi juga semakin banyak komunitas internasional, termasuk PBB, Genocide Watch, Amnesty International, OKI dll mengutuk tindakan ilegal ini," kata Hassan.

The Genocide Watch mengeluarkan peringatan genosida untuk IOJK.  DK PBB telah mengadakan tiga dengar pendapat sejak 05 Agustus 2019 tentang masalah ini.  Konsultasi ini telah menegaskan kembali peran Dewan dalam perselisihan tersebut, menyangkal posisi India bahwa tindakan mereka di IIOJK adalah “urusan internal”.

"Pakistan terus berdiri dengan saudara-saudara kita di Kashmir dan kami akan memberikan semua dukungan politik, moral, dan diplomatik kepada mereka sampai penyelesaian akhir sengketa Kashmir sesuai dengan aspirasi rakyat untuk diungkapkan melalui jalan bebas dan bebas, plebisit yang adil di bawah naungan PBB," pungkasnya.

Webinar ini dihadiri lebih dari 275 akademisi, cendekiawan, intelektual, peneliti, anggota organisasi politik dan keagamaan, serta mahasiswa.tom

Editor : Redaksi

Berita Terbaru