SURABAYA (Realita)- Syahrial Martanto, S.H, ahli Penilai Restitusi dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dihadirkan dalam dugaan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dengan Terdakwa Lettu Laut (K) dr. Raditya Bagus Kusuma Eka Putra. Ahli menyebut korban dokter Maedy layak untuk mendapatkan restitusi atau gantirugi.
Pada persidangan, ahli diminta oleh kuasa hukum dokter Maedy selaku pemohon yakni Mahendra Suhartono untuk menerangkan tentang restitusi dan siapa yang berhak menerima restitusi tersebut.
Baca Juga: Terdakwa Lettu dr. Raditya Bagus Gagal Hadirkan Saksi Mama Korban, Lanjut Pemeriksaan Terdakwa
Menurut ahli, masalah restitusi atau ganti kerugian, hal itu tercantum dalam pasal 4 Perma nomor 1 tahun 2022 yang menyebutkan bahwa korban berhak mengajukan restitusi berupa ganti kerugian atas kehilangan kekayaan, ganti kerugian berupa materil maupun imateriil yang timbul akibat penderitaan tidak langsung karena tindak pidana lain, seperti penggantian biaya perawatan medis maupun biaya perawatan psikologis.
Semua itu lanjut ahli, merujuk pada pasal 7 (a) UU Nomor 31 tahun 2014. Dipasal ini disebutkan, korban suatu tindak pidana berhak mengajukan restitusi, dimana komponen yang diterima sebagaimana diatur dalam pasal 4 ayat 1 Peraturan Mahkamah Agung (Perma) nomor 1 tahun 2022
Lalu, apakah korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) juga berhak mengajukan restitusi? Ahli kembali menyebutkan, berdasarkan pasal 4 Perma nomor 1 tahun 2022 tentang tindak pidana lain, maka korban KDRT masuk dalam kategori perkara tindak pidana lain.
Ahli kembali menerangkan, dalam perkara KDRT, kerugian yang dialami biasanya konkrit sehingga dari sekian banyak permohonan restitusi yang diajukan, akan dikabulkan majelis hakim.
Meski sering mendapatkan pengajuan permohonan restitusi dari korban KDRT, untuk peradilan militer ahli mengaku jarang sekali menanganinya namun ahli juga menjelaskan bahwa peradilan militer dijakarta juga ada yang mengajukan tuntutan restitusi yang saat ini dalam tahap persidangan.
Mahendra Suhartono kembali bertanya, apakah Perma nomor 1 tahun 2022 itu hanya mengikat untuk peradilan umum saja ataukah termasuk peradilan militer?
Ahli kemudian menjawab, Perma nomor 1 tahun 2022 ini adalah mandat dari UU Nomor 31 tahun 2012.
Berdasarkan Undang-Undang tersebut, ketentuan tentang perlindungan anak dan korban itu mengikat untuk semua peradilan, bukan hanya peradilan umum.
Pada persidangan ini pula, ahli diminta untuk menjelaskan urut-urutan mulai dari pengajuan permohonan restitusi hingga akhirnya diputuskan hasil restitusi dari LPSK.
Sebelum menjawab pertanyaan ini ahli kemudian menyebutkan adanya peraturan berupa PP nomor 7 tahun 2018 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban, serta adanya PP nomor 43 tahun 2017 tentang Pelaksanaan Restitusi Bagi Anak Yang Menjadi Korban Tindak Pidana, yang juga khusus mengatur tentang pemberian restitusi bagi anak yang menjadi korban tindak pidana.
"Untuk Perma nomor 1 tahun 2022 itu merupakan pedoman teknis yang dianut LPSK dalam hal restitusi," kata ahli di Pengadilan Militer Surabaya, Rabu (4/5/2024).
Baca Juga: Oknum Polisi Halut Diduga Aniaya Istri, Laporan Tak Kunjung Diproses
Dan masih berdasarkan Perma nomor 1 tahun 2022 itu, sambung ahli, disebutkan bahwa korban dapat mengajukan restitusi melalui LPSK, penyidik maupun penuntut umum.
"Hal itu diatur dalam pasal 8 ayat 1 yang mana mekanisme permohonan restitusi ada dua, yaitu belum mempunyai kekuatan hukum tetap, yang menjadi pemohon adalah korbannya sendiri, pengajuan restitusinya melalui LPSK, penyidik, maupun penuntut umum atau oditur,"kata ahli.
Berkaitan dengan prosedur pengajuan restitusi, korban menyampaikan permohonan tertulis kepada ketua LPSK untuk diajukan permohonan kepada majelis hakim yang memeriksa perkara.
Begitu menerima permohonan tertulis dari korban sebagai pemohon restitusi, LPSK lalu menelaah permohonan tersebut.
"Korban sebagai pemohon saat mengajukan permohonan kepada LPSK, harus pula mencantumkan informasi tentang korbannya, informasi tentang siapa tersangka atau terdakwanya, menceritakan pula uraian kronologis peristiwanya, menguraikan pula besarnya kerugian yang timbul dan yang terakhir adalah tentang berapa besar restitusi yang diminta," ujarnya.
Surat permohonan pengajuan restitusi yang berisikan data-data tersebut kemudian diserahkan kepada tim penilai di LPSK untuk dilakukan telaah.
"Jika permohonan yang diajukan itu disetujui, ketua LPSK kemudian menerbitkan sebuah surat keputusan yang isinya tentang identitas korban sebagai pemohon restitusi lalu tentang besarnya restitusi yang diminta beserta dengan rinciannya," tegas ahli.
Baca Juga: Komnas Perempuan Akan Pantau Perkara dr. Maedy
Ahli juga menjelaskan prosedur eksekusi dari restitusi tersebut yakni berdasarkan Perma nomor 1/2022, ketika sudah diputus dikabulkan oleh majelis hakim.
Terdakwa harus segera menjalankan putusan tersebut, Pemberian Restitusi dilaksanakan paling lambat 30 hari sejak pelaku tindak pidana dan/atau Pihak Ketiga menerima salinan putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
“Apabila dalam jangka waktu tersebut terdakwa tidak menjalankan putusan tersebut, LPSK/Pemohon melaporkan hal tersebut kepada Jaksa Agung/Jaksa/Oditur dengan tembusan kepada Ketua/Kepala Pengadilan. dan Jaksa Agung/Jaksa/Oditur memerintahkan pelaku tindak pidana dan/ atau Pihak Ketiga untuk melaksanakan pemberian Restitusi paling lambat 14 (empat belas) hari sejak tanggal surat perintah diterima,” ujar ahli.
Jaksa Agung/Jaksa/Oditur dapat menyita harta kekayaan pelaku tindak pidana dan/ atau Pihak Ketiga dan melelang harta kekayaan tersebut untuk memenuhi pembayaran Restitusi dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari atau 14 (empat belas).
Ahli juga menjelaskan bahwa dalam prakteknya apabila dalam pembayaran restitusi tidak cukup, untuk tindak pidana lain selain yang diatur Perma 1 tahun 2022, dimungkinkan terdakwa dijatuhi hukuman subsidair, putusan penjara pengganti atau pidana kurungan.ys
Editor : Redaksi