Jangan Ngaku Calon Pemimpin Kalau Belum Punya Tujuh Kebiasaan Ini!

SERATUS hari pemerintahan yang baru telah berjalan. Berdasarkan riset yang dilakukan oleh berbagai lembaga survei, Kemendikdasmen menjadi salah satu kementerian yang menunjukkan sikap positif dalam 100 hari kerja pertama.

Tidak hanya itu, Mendikdasmen Abdul Mu'ti juga turut diapresiasi dan terpilih menjadi salah satu menteri dengan kinerja terbaik. Apresiasi ini bukan sekadar angka di atas kertas, melainkan harapan bahwa pendidikan Indonesia benar-benar bergerak ke arah yang lebih baik.

Tapi tunggu dulu, apa gunanya semua ini kalau generasi penerusnya justru makin jauh dari karakter pemimpin yang sebenarnya?

Di tengah era digital yang serba cepat, anak-anak Indonesia dihadapkan pada dua pilihan: menjadi generasi yang hebat atau sekadar penonton yang sibuk scroll media sosial.

Di sinilah pentingnya Tujuh Kebiasaan Anak Indonesia Hebat—bukan sekadar teori, melainkan bekal untuk mencetak pemimpin masa depan. Seperti yang dikatakan oleh Suharti, Sekretaris Jenderal Kemendikdasmen.

"Kami menyadari bahwa membangun generasi emas Indonesia memerlukan dukungan dari semua pihak. Sinergi antara keluarga, sekolah, masyarakat, dan media adalah elemen penting dalam memastikan keberhasilan gerakan ini," tegasnya.

Secara yuridis, penguatan karakter anak telah ditegaskan dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang menekankan pentingnya pembentukan karakter dalam pendidikan. Secara historis, kita tak bisa menutup mata bahwa para pemimpin besar bangsa ini tumbuh dengan karakter yang kuat, tidak manja, dan siap menghadapi tantangan.

Sementara dari aspek filosofis, membangun anak dengan tujuh kebiasaan ini adalah investasi jangka panjang untuk memastikan Indonesia tetap berdiri kokoh di tengah kompetisi global.

Dari sudut pandang sosiologis, kebiasaan ini menjadi benteng terhadap degradasi moral yang semakin nyata. Dan jangan lupakan sisi medis: karakter yang baik berkontribusi pada kesehatan mental yang stabil dan minim stres—sesuatu yang sangat berharga di era serba cepat ini (Ridha, 2020).

Strategi Untuk Mewujudkan Kebiasaan
Pertanyaannya, bagaimana strategi untuk mewujudkan kebiasaan ini? Jangan berpikir ini hanya tugas sekolah. Keluarga adalah pabrik pertama karakter anak. Jika orang tua masih sibuk bertengkar soal warisan, bagaimana anaknya bisa belajar menghargai kerja keras? Jika sekolah hanya mengejar angka tanpa menanamkan etika, bagaimana mungkin lahir pemimpin yang jujur? Pendidikan karakter harus lebih dari sekadar mata pelajaran. Harus ada role model yang nyata, baik dari keluarga, sekolah, hingga pemimpin bangsa.

Tak kalah penting adalah keterlibatan media dan lingkungan sekitar. Jangan harap anak akan terbiasa jujur jika setiap hari mereka melihat tayangan yang penuh dengan intrik dan tipu daya. Jangan berharap mereka bisa disiplin jika tidak pernah diajarkan untuk bertanggung jawab sejak kecil. Strategi untuk membentuk anak hebat ini harus melibatkan semua pihak.

Seperti yang diungkapkan dalam laporan Kemendikdasmen, "Gerakan 7 Kebiasaan Anak Indonesia Hebat diharapkan menjadi fondasi dalam mencetak generasi yang siap menghadapi tantangan global. Dengan nilai-nilai karakter yang kuat, generasi ini diharapkan mampu membawa Indonesia menjadi bangsa yang maju, sejahtera, dan berdaya saing di tahun 2045."

Dampaknya? Jika diterapkan dengan serius, tujuh kebiasaan ini bukan hanya mencetak anak-anak yang pintar, tapi juga berintegritas. Mereka bukan sekadar individu yang cakap dalam akademik, tetapi juga memiliki karakter yang kuat, siap bersaing, dan mampu membawa perubahan bagi masyarakat. Bayangkan jika setiap anak Indonesia memiliki kebiasaan untuk berpikir proaktif, bertanggung jawab, bekerja sama, dan terus belajar. Indonesia Emas 2045 bukan lagi sekadar mimpi, melainkan sebuah kepastian.

Namun, mari kita jujur. Apakah kita benar-benar siap menerapkan ini? Ataukah kita hanya senang membicarakan teori tanpa praktik nyata? Anak-anak tidak akan menjadi hebat hanya dengan slogan dan seminar. Mereka butuh contoh, mereka butuh sistem yang mendukung, dan yang paling penting—mereka butuh kita, orang-orang dewasa, untuk membimbing mereka. Jika kita tidak mulai sekarang, jangan salahkan generasi mendatang jika mereka tumbuh tanpa arah.

Jadi, sebelum mengaku sebagai calon pemimpin, tanyakan dulu pada diri sendiri: apakah kita sudah memiliki tujuh kebiasaan ini? Jika belum, maka saatnya berhenti bicara dan mulai bertindak!

Ditulis oleh Dilah Rifqi

Editor : Redaksi

Berita Terbaru