JAKARTA (Realita) - Paradigma Aparatur Pengawasan yang berperan sebagai watchdog yang hanya mencari-cari kesalahan, kini telah bergeser menjadi Consultant dan Catalyst.
"Sebagai Consultant, Aparatur Pengawasan berperan melayani klien dengan baik dan mendukung kepentingan klien dengan tetap mempertahankan loyalitasnya. Sedangkan sebagai Catalyst, Aparatur Pengawasan bertindak sebagai fasilitator yang terlibat aktif dalam melakukan penilaian resiko yang terdapat dalam proses bisnis organisasi," ujar Wakil Jaksa Agung RI, Setia Untung Arimuladi, Rabu (6/10/2021).
Baca Juga: Wakil Jaksa Agung Paparkan Kunci Keberhasilan Tingkat Kematangan SPIP
Pada Selasa (5/10/2021), mantan Kabadiklat Kejaksaan itu memberikan pengarahan pada Rapat Kerja Teknis (Rakernis) pada Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan (Jamwas) Kejaksaan RI. Untung menekankan terjadinya perubahan paradigma di lingkungan pengawasan.
Perubahan paradigma di Bidang Pengawasan itu, kata Untung, harus dilaksanakan secara optimal dalam menunjang pelaksanaan tugas dan fungsinya.
“Tidak hanya menjadi semboyan tanpa disertai adanya tindakan nyata. Fokus hanya mencari kesalahan sudah kurang relevan seiring dengan kebutuhan organisasi,” tandas Untung.
Dalam pengarahannya, Untung juga menyinggung tentang manajemen resiko. Dia menyebut ada empat elemen yang perlu diperhatiakan terkait manajemen resiko ini.
Elemen pertama, kewenangan menjadi dasar penentuan penerapan manajemen risiko untuk seluruh organisasi, baik unit yang menjadi koordinatornya, kewajiban menerapkan untuk berbagai tingkat organisasi, standar yang menjadi acuan, maupun keselarasan untuk seluruh organisasi pemerintahan.
Elemen kedua, risk governance dan akuntabilitas memberikan panduan bagaimana mekanisme dan struktur pengelolaan risiko harus dilakukan. Kejelasan struktur dan tanggung jawab setiap pimpinan pada tiap level beserta kewenangannya dalam menangani risiko, harus diuraikan dengan tegas.
“Bagian ini harus cukup rinci dalam menjelaskan akuntabilitas, tanggung jawab dan kewenangan masing-masing pejabat, sehingga tidak terjadi kerancuan ataupun tumpang tindih,” ujarnya.
Elemen ketiga, hierarki risiko (risk hierarchy) ditentukan oleh sistem perencanaan kegiatan organisasi yang terintegrasi, dimana rencana tersebut akan dijabarkan secara berjenjang ke unit-unit kerja di bawahnya.
Misalnya Rencana Jangka Panjang Kementerian dan Lembaga akan dijabarkan menjadi rencana kerja masing-masing Direktorat Jenderal, yang selanjutnya akan dijabarkan lagi menjadi rencana kerja masing-masing Direktorat.
"Dengan demikian maka akan terjadi hirarkhi risiko sesuai dengan peringkat sasaran dari rencana-rencana tersebut," terangnya.
Baca Juga: Di Rakernis Pembinaan, Wakil Jaksa Agung Inginkan Jaksa Berkualitas, Kreatif dan Inovatif
Elemen keempat adalah sistem manajemen risiko yaitu komponen-komponen manajemen risiko sesuai standar AS/NZS ISO 31000, yaitu proses manajemen risiko, teknik dan metode yang dipakai, dan cara pelaporan risiko.
Berkaitan dengan hal itu, jelas Untung, Kemenpan RB telah mengeluarkan peraturan Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pedoman Evaluasi Kelembagaan Instansi Pemerintah, yang salah satu poinnya menekankan adanya proses organisasi dapat ditinjau dari sisi keselarasan, tata kelola dan kepatuhan, perbaikan dan peningkatan proses, manajemen resiko dan teknologi informasi.
Aspek manajemen resiko berperan penting dalam rangka mencapai tujuan organisasi.
“Manajemen resiko merupakan langkah mengidentifikasi kejadian yang berpotensi dapat mempengaruhi kinerja organisasi, dan mengelola risiko agar dapat dikontrol untuk mencapai tujuan perusahaan,” kata Untung.
Dari aspek manajemen resiko, Kejaksaan melalui bidang pengawasan telah menyusun beberapa terobosan yaitu pengendalian gratifikasi yang tertuang dalam Peraturan Kejaksaan R.I. Nomor 03 Tahun 2019 tentang Pengendalian Gratifikasi di Lingkungan Kejaksaan RI, penerapan Whistle Blowing System dan pembentukan Satuan Tugas (Satgas) 53.
Untung menjelaskan, manajemen resiko di tubuh internal Kejaksaan berfungsi sebagai penguatan pengawasan dan penegakan disiplin internal Kejaksaan RI guna menjadi role model penegak hukum yang bersih, profesional, akuntabel, dan berintegritas.
Baca Juga: Wakil Jaksa Agung Apresiasi Aplikasi Pemantau Perkara Pidum saat Rakernis
“Di samping itu, tujuannya adalah untuk mengoptimalkan pengawasan internal, pencegahan dan melakukan deteksi dini terhadap oknum Jaksa dan/atau pegawai Kejaksaan yang berpotensi akan melakukan penyimpangan, penyalahgunaan kewenangan ataupun perbuatan tercela lainnya yang dipandang akan merusak citra dan wibawa Kejaksaan,” tuturnya.
Pada kesempatan itu, Wakil Jaksa Agung RI ini kembali menyampaikan dan mengingatkan beberapa kebijakan sebagaimana dalam Instruksi Jaksa Agung RI Nomor 15 tahun 2020 tentang Pelaksanaan Hasil Rapat Kejaksaan Republik Indonesia Tahun 2020 tanggal 16 Desember 2020, sebagai bentuk dan arah kebijakan Kejaksaan yang bersifat mengikat dan wajib diimplementasikan oleh seluruh bidang.
"Bidang Pengawasan Kejaksaan memiliki 7 poin yang menjadi fokus pembenahan yakni optimalisasi pengawasan melekat (Waskat), optimalisasi pelayanan masyarakat berbasis teknologi informasi, harmonisasi penjatuhan hukuman disiplin berat dengan UU ASN, pelaksanaan inspeksi khusus dan review keuangan, pelaksanaan audit/reviu pengelolaan keuangan, harmonisasi tindak lanjut laporan pengaduan dengan Komisi Kejaksaan dan penyusunan pedoman pengawasan melekat," jelasnya.
Rakernis Bidang Pengawasan tahun 2021 ini diharapkan agar jajaran Bidang Pengawasan Kejaksaan melaksanakan upaya maksimal terkait tindak lanjut Rekomendasi Rapat Kerja Kejaksaan Tahun 2020.
"Tujuannya, tujuh rekomendasi tersebut dapat memberi dampak yang signifikan bagi pengembangan institusi Kejaksaan yang akuntabel dan kredibel dan terciptanya Public Trust," ujarnya. hrd
Editor : Redaksi