Sengketa Puncak Permai, Johanes Dipa: Bukti Tergugat Tidak Ada Relevansinya

SURABAYA (Realita)- Sidang gugatan tanah di Puncak Pernai III Surabaya antara Mulyo Hadi (penggugat) dan Widowati Hartono isteri bos Djarum (tergugat) kembali bergulir di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Selasa (2/11/2021). Kali ini Widowati melalui kuasa hukumnya mengajukan bukti terkait kepemilikan hak atas objek sengketa.

Bukti tersebut diantaranya adalah Surat Hak Guna Bangunan (SHGB), dan juga bukti Pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang diklaim sudah terbayarkan sejak tahun 2016 silam. 

Baca Juga: Sidang Dugaan Penggelapan CV MMA, Saksi: Tidak Ada Uang Untuk Kepentingan Pribadi Terdakwa Herman

“Intinya kalau ada pihak-pihak yang menyatakan bahwa kami memiliki hak tersebut dengan cara yang tidak baik, itu sudah kami buktikan. Sekarang tinggal pengadilan dalam hal ini majelis hakim yang akan menilainya,” ujar Sandi Kurniawan kuasa hukum Widowati.

Sandi menambahkan, pihaknya juga menyerahkan bukti berupa surat jual beli dari PT Darmo Permai ke Widowati pada tahun 1996. Sandi juga mengklaim bukti SHGB yang dimiliki penggugat masih berlaku dan baru habis pada 2022 mendatang.

Terkait adanya permohonan pengukuran objek sengketa yang dilakukan BPN pada Selasa 26 Oktober 2021, Sandi menyangkal pihaknya yang mengajukan. Sebab, menurut dia pihaknya merasa tidak perlu untuk mengajukan permohonan pengukuran.

“Kalau ada pengukuran, silahkan dikonfirmasi siapa yang mengajukan. Karena kami tidak mengajukan, buat apa pengukuran karena sertifikat masih hidup sampai sekarang. Buat apa dilakukan pengukuran,” ujarnya usai sidang.

Terpisah, kuasa hukum penggugat Mulyo Hadi yakni Johanes Dipa Widjadja  menyatakan terkait bukti yang diajukan pihak tergugat tidak ada relevansinya dengan gugatan yang diajukan pihaknya.

Sebab, bukti-bukti yang diajukan pihak tergugat entah itu SHGB ataupun PBB tersebut tidak merujuk lokasi yang saat ini sedang diuji yakni Darmo Puncak Permai Lontar sementara SHGB yang dimiliki Tergugat menunjuk pada Pradah Kalikendal.

Baca Juga: Thomas Michael Leon Lamury Hadjon Diadili Perkara Pencurian Atas Laporan Tantenya

Sementara terkait pengukuran yang dilakukan BPN, Johanes Dipa meyakini bahwa itu atas permohonan Tergugat. Sebab, pihaknya mendapat informasi bahwa BPN ada permohonan terkait objek sengketa tersebut dan diadakan rapat koordinasi pada 25 Oktober 2021 di Polrestabes Surabaya.

Cilegon dalam

“Kami tidak diundang, dan kami juga sudah menyampaikan surat ke KaPolrestabes Surabaya yang isinya memohon perlindungan hukum agar tidak dilakukan pengukuran tanah karena masih dalam sengketa perkara 374/Pdt.G/2021/PN.Sby,” ujarnya.

Lebih lanjut Johanes Dipa menyatakan, pada saat kliennya menjadi terlapor penyidik saat itu sudah jelas bahwa tanah tersebut dalam status quo artinya kedua belah pihak tidak diperbolehkan melakukan tindakan apa-apa. 

“Disamping itu adanya peristiwa penyerbuan pada 9 Juli 2021 yang dilakukan oleh kurang lebih 200 orang dilakukan di objek itu juga. Artinya, patut diduga tempat tersebut merupakan tempat pidana atau locus delictinya,” ujarnya.

Baca Juga: Didakwa Penggelapan, Penasihat Hukum Herman Budiyono Menilai Dakwaan Jaksa Prematur

Harusnya lanjut Johanes Dipa, kalau pihak kepolisian dalam hal ini Porestabes Surabaya mau bertindak profesional mestinya sudah dipasang police line. Disini Johanes Dipa merasa bagaimana keberpihakan dari kepolisian.

“Saya merasa demikian karena permohonan perlindungan hukum tidak digubris, saat rapat koordinasipun saya tidak diundang. Pada saat saya disana, katanya rapat dibatalkan tapi nyatanya rekan saya yang ada disana bilang, rapat tetap berlangsung dan buktinya pengawalan tetap dilakukan,” ujarnya.

Johanes Dipa sangat menyayangkan hal ini, sebab kasus ini masih dalam proses peradilan tapi para pihak tidak menghormati proses hukum yang berjalan.

"Jangan melakukan tindakan hukum selama produk hukum ini sedang diuji,” ujarnya.ys

Editor : Redaksi

Berita Terbaru