Ada Nota Fiktif dan Mark Up di Disparbud Bisa Dipidana? Ini Kata Akademisi FH Unisma

KABUPATEN MALANG (Realita)- Soal temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tentang adanya nota fiktif dan mark up harga di Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) Kabupaten Malang, Akademisi Fakultas Hukum Universitas Islam Malang (FH-UNISMA) Fahrudin A, SH, MH, menilai unsur pidananya sudah jelas. 

Pasalnya, adanya nota fiktif dan mark up harga tersebut diakui secara terang oleh pejabat di lingkungan Disparbud Kabupaten Malang. Bahkan tertuang di dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Kabupaten Malang tahun anggaran 2020, yang menyebabkan indikasi kerugian keuangan negara dengan nilai ratusan juta rupiah. 

Baca Juga: DPRD Sebut Pengakuan Ada Nota Fiktif di Disparbud Malang, Bisa Jadi Alat Bukti Pidana

"Unsur-unsurnya sudah jelas. Apalagi ada pengakuan, itu sudah jelas ada unsur pidananya. Misalkan ada nota fiktif, mens rea-nya sudah ada. Jadi niat jahatnya itu sudah ada. Apalagi ada dampak kerugian. Jadi BPK sudah bicara ada kerugian," kata Fahrudin saat diwawancarai media ini di Area Kampus UNISMA, Sabtu (05/02). 

Lebih lanjut, ia menyinggung soal temuan BPK. Biasanya sebelum LHP itu keluar, auditor BPK menyampaiakan kepada masing-masing pihak, dalam hal ini adalah Disparbud Kabupaten Malang. 

"Maka akan disampaiakn kepada Dinas Pariwisata kalau ada temuan. Lha temuan ini berdampak pada adanya kerugian keuangan negara. Maka di situ BPK akan memberikan rekomendasi agar kerugian keuangan segera dikembalikan kepada negara. Di laporan biasanya akan bunyi, kalau sudah dikembalikan ya bunyi sudah dikembalikan. Apakah itu dikembalikan oleh pihak dinas atau pihak ketiga," jelasnya. 

Meski kerugian sudah dikembalikan, menurut Fahrudin, aparat penegak hukum tetap bisa memproses temuan tersebut. Dasarnya adalah Undang-undang tindak pidana korupsi Pasal 4.

"Mengacunya pada Undang-undang Tipikor Pasal 4. Lex specialisnya ke sana. Menurut saya aparat penegak hukum sangat bisa untuk masuk melakukan tindak lanjut. Meskipun pengembalian kerugian negara sudah dilakukan. Dasarnya adalah tadi, pasal 4 Undang-undang tindak pidana korupsi. Pengembalian kerugian keuangan negara tidak menghapus dipidananya pelaku tindak pidana. Itu clear sudah, intinya di situ. Namun kembali kepada komitmen dari aparat penegak hukum, mau memproses ini atau tidak," jelasnya. 

Pria yang juga sebagai Dosen di Fakultas Hukum UNISMA itu juga menyebutkan, paska adanya putusan Mahkamah Konstitusi, Undang-undang tindak pidana korupsi itu bukan lagi delik formil, tapi delik materiil. "Maksudnya bagaimana, kerugian keuangan negara itu bukan potensi, tapi harus riil. Lha bukti di situ ada kerugian keuangan negara itu dari audit. Auditnya dari mana, bisa dari BPKP, BPK maupun audit eksternal," jelas dia.

Apabila ada aroma korupsi tercium, maka APH harus mencari aroma tersebut berasal dari mana. Biasanya APH itu menunggu ada yang melapor. 

"Korupsi itu tindak pidana khusu. Extraordinary crime. Polisi, kejaksan atau penegak hukum lainnya harus pro aktif, itu kuncinya. Nggak boleh nunggu," tegasnya. 

Kata Fahrudin, terkadang aparat penegak hukum masih meminta bukti-bukti dari pelapor. Padahal, pelapor itu akses datanya terbatas. Pelapor itu tidak punya kewenangan untuk memggeledah, kewenangan untuk memanggil seseorang. 

"Tapi aparat penegak hukum mempunyai kewenangan itu. Bahkan dengan adanya pemberitaan di media massa tentang dugaan korupsi, APH bisa langsung masuk untuk melakukan penyelidikan," tandasnya. 

Baca Juga: Ini Jawaban Inspektorat Kab. Malang Soal Dugaan Nota Fiktif dan Mark Up di Disparbud

Masih menurut Fahrudin, yang menarik adalah Undang-undang nomor 30 Tahun 2014, yaitu tentang administrasi pemerintahan. Di situ, mengatur soal penyalahgunaan wewenang yang dilakukan tentunya adalah oleh pejabat, dalam hal ini adalah Organisasi Perangkat Daerah (OPD). 

Cilegon dalam

"Penyalahgunaan wewenang tentunya bukan pihak ke tiga. Karena penyalahgunaan wewenang itu identik kepada siapa yang punya kekuasan. Dalam konteks ini adalah pejabat Dinas Pariwisata Kabupaten Malang. Yang perlu ditelusuri adalah, apakah Dinas Pariwisata melakukan penyalahgunaan wewenang atau tidak," beber dia. 

Terakhir, pria berkacamata itu mengatakan, temuan seperti ini pasti akan berulang kalau tidak ada penegakan hukum yang tegas. "Karena dia repetetion terus itu. Seolah dibiarkan. Sehingga nanti dampaknya akan besar," pungkasnya.

Senada dengan itu, Fauzia Irnani SH, MH, mengatakan, temuan adanya nota fiktif dan mark up harga di Disparbud itu, secara pandangan hukum ada dugaan tindak pidana korupsi yang lakukan, sesuai Undang-undang (UU) 31 tahun 1999, juncto UU no 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Unsur kesengajaan dalam "permufakatan jahat" yang merugikan negara disampaikan terang.

"Apalagi ini masih temuan satu perkara, namun kerugian sudah di atas 200 juta rupiah. Bagaimana jika dilakukan pengembangan dan ada temuan lebih banyak. Jika sanksi hanya sebatas sanksi administrasi dan bentuk teguran saja dari bupati dianggap sudah cukup, berapa banyak kerugian negara nantinya," tegasnya.

Dengan adanya temuan BPK itu, bisa sebagai bukti permulaan untuk dilakukan penyelidikan oleh APH. 

Baca Juga: Hadiri Wisuda di UNISMA, Ini Pesan Bupati Malang pada Wisudawan- Wisudawati

"Meski sudah ada pengembalian kan itu dari satu temuan. Dari pengembangan pasti ada temuan bukti baru di perkara lain dengan motif yang sama," tegas Fauzia. 

Selain itu, wanita dengan ciri khas model rambut pendek itu juga mengatakan, masyarakat bisa melaporkan dugaan tipikor, karena masyarakat berperan serta dalam pencegahan tipikor. Sedangkan APH berkewajiban dalam penegakkan hukumnya. Ia mendorong agar APH segera melakukan tindak lanjut apabila ada unsur tipikor. 

"Dalam upaya penegakan hukum, tidak semerta-merta dalam penyelesaian. Bagaimana kontrolingnya bisa dimaksimalkan. Dalam penanganan adanya novum (temuan bukti baru) bisa untuk melanjutkan proses penanganan perkara," pungkasnya. 

Sekadar diketahui, Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Lumbung Informasi Rakyat (LIRA) Malang Raya, M.Zuhdy Achmadi beberapa waktu lalu membeberkan pengakuan pegawai Disparbud Kabupaten Malang soal adanya nota fiktif dan mark up harga atas belanja barang dan jasa. 

Pengakuan tersebut, kata pria yang akrab disapa Didik itu, tertuang di Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Kabupaten Malang tahun anggaran (TA) 2020, yang menyebabkan indikasi kerugian keuangan daerah sebesar Rp 202.276.800,00.

Bahkan, Didik menilai, dengan adanya pengakuan tersebut, mens rea-nya sudah jelas. Sehingga pihaknya mendukung pihak aparat penegak hukum (APH) agar segera bertindak cepat untuk mengungkap permasalahan tersebut.mad

Editor : Redaksi

Berita Terbaru